Salah satu kunci dari pengabdian adalah hati harus luas seperti lautan

Minggu, 25 Februari 2022
MT Al Kautsar – Tawaqufan

بِسْمِ اللهِ الرَّحْمٰنِ الرَّحِيْمِ

Barangsiapa orang yang senang mengabdikan dirinya (berkhidmah) kepada Allah, maka segala sesuatu akan senang, gembira mengabdikan pada dirinya.

Kita ini semua merupakan hamba-hambanya Allah. Kita ini manusia lemah jika disandingkan dengan kekuatan Allah. Oleh karena itu, kalau kita mau tau kelemahan kita, kita harus tau siapa kita?

Dan kalau mau tau kekuatan Allah, kita harus tau siapa Allah. Maka kita harus tahu dimana posisi kita dan dimana posisi Allah.

Kita ini hamba, tapi banyak dari kita tidak tau menjadi hamba yang seperti apa. Oleh karena itu kita seringkali mengabaikan tanggungjawab kita kepada Allah SWT dan mengentengkan ancaman-ancaman dari Allah.

Kita seringkali mengaku kalau kita hamba, tapi sejatinya kita mengaku hamba yang bagaimana ? karena kita mengabdinya tidak benar-benar serius kepada Allah.

Kunci Pengabdian

Padahal Ulama mengatakan, “Barangsiapa orang yang senang mengabdikan dirinya (berkhidmah) kepada Allah, maka segala sesuatu akan senang menjadi kaki tangannya“. Kuncinya adalah kita dulu yang harus mengabdi kepada Allah.

Apa arti pengabdian yang sesungguhnya ? kuncinya khidmah ada 2

  1. Luaskan hati
  2. Tutup telinga

Kalau kita lagi mengabdi kepada Allah, hati kita harus luas, jangan banyak “mengitung“. Kita jangan pernah perhitungan sama apa yang kita buat untuk Allah. Bagaimana bisa dikatakan mengabdi kita benar kalau hati kita ternyata sempit, yang ada “ngedumel”.

Kita sebagai istri tau harus nurut sama suami, tapi kenapa banyak istri yang “ngedumel“? Karena hatinya tidak luas, tidak lapang. Kalau hatinya lapang, kekurangan suami tidak dijadikan masalah.

Ada anak yang berantakin rumah, bukannya “dipegelin”, tapi tinggal dirapikan kembali, beres. Kalau hatinya sempit, merasa capek, hatinya gampang ternodai.

Begitu juga mengabdi kepada Allah, mengabdi kepada orangtua. Kita sudah mengikuti apa yang dia inginkan tapi tetap saja salah dimatanya. Padahal orangtua makin tua banyak tingkahnya, harusnya kita tau hal itu. Kenapa bisa begitu ? karena hati tidak luas.

Ibaratnya hati hanya setakar kolam ikan, kejatuhan tinta bisa berubah. Tapi kalau kejatuhan tinta se-ton dilautan, airnya tidak berubah karena luas dan dalam. Maka kalau mengabdi kepada Allah, harus punya hati lapang. Shalat yang diperintahkan, kewajiban yang dipertanggungjawabkan, itu (seharusnya) dijalaninya dengan hati yang luas. Kalau menjalani dengan hati yang luas, diperintahkan apa aja ringan menjalaninya.

Suami bawelnya seperti apa, istri tetap aja ridho. Padahal kita udah mati-matian buat dia, tapi di komplain, istri tetap ridho kalau hati luas.

Yang kedua tutup telinga, terkadang permasalahan kita bukan hanya seberapa luasnya hati kita, tapi kadang kita juga mudah tergoyahkan karena banyaknya omongan sekitar kita.

Kita mengabdi, sebagai hamba kepada Allah. Ada teman yang (pengetahuan) ‘islam’ nya dibawah kita, berkata “Kamu ga capek ngaji mulu ?” . Padahal itu omongan singkat, ringan, tapi mampu menggoyahkan iman kita.

Apalagi masukan yang buruk. Salah-salah dapat masukan, maka salah dalam bertindak.

Seperti istri yang sedang mengabdi kepada suami, tau-tau suami “megelin”, padahal hatinya sudah lapang tapi kalau mendengar suara-suara sekitar, “Jadi orang jangan bego-bego banget.. Kalo gue jadi elo udah lama gue tinggalin..!!”.

Maka kunci dari pengabdian, luas seperti lautan . “Ana tidak akan terpengaruh dengan adanya bisikan apapun. Mau dibilang alim, sok wali, maka ana tetap sama Allah.”

Meskipun ada banyak godaan, tapi Ibadah, ngajinya, shalatnya, tutup aurat, tetap dilakukan untuk Allah. Karena tutup aurat tanggung jawab setiap muslimah.

Ada seorang yang bertanya, “Saya mau tiap hari ngaji, tapi ipar-ipar saya nyahut, bilangnya saya ga ngurusin suamilah, padahal suami saya baik-baik aja“. Kalau memang suami baik-baik aja, maka hal-hal yang seperti ini tutup telinga dan tetap ngaji. Karena ipar tidak punya otoritas terhadap rumah-tanggamu, Yang punya otoritas itu suami.

Kalau suami keberatan istri mengaji, mungkin ada manajemen waktu yang belum bisa dikelola istri. Artinya apa? ada tanggungjawab yang kamu tinggalkan. Kalau mengabdi, harus tahu mana yang di prioritaskan.

Begitu juga ketika mengabdi sama orangtua. Udah dilapangin hati ini dari cacian makinya, terkadang bisikan suara-suara datangnya dari saudara sendiri atau bahkan suami. “Ibu kamu ternyata bawel ya..”

Hati-hati kalau ngomongin orangtua. Suami kamu baru ketemu gede, walaupun kedudukan suami lebih tinggi dari Ibu, tapi hati-hati dalam menjelekkan nama orangtua. Kira-kira kalau kamu melakukan yang serupa apa dia akan bereaksi yang sama ? belum tentu.

Begitu juga ketika mengabdi pada Guru, karena adakalanya Guru senyum, adakalanya Guru tidak senyum. Adakalanya tidak ditanya kabar, kalau hati kamu tidak luas baru tidak ditegur udah mental.

Makanya sering kita dengar, tadinya mengabdi sama Ustadzah fulan, tau-tau pindah sekarang sama si “ini”. Kalau kamu mau tau mengabdi sesungguhnya, kamu jauh dari kata khidmah, dari kata ngabdi. Karena baru ketemu sebentar. Mungkin ada sikap muamalah Guru yang tidak sesuai, ada sikap yang tidak disukai Guru maka dia mental.

Kisah

Sohiburratib Al Habib Umar bin Abdurrahman Al-Attas punya murid namanya Syekh Ali Baros, pekerjaannya di dapur pembuat kopi. Ada orang menegur, “Ente ga iri liat orang dudukan (ikut ta’lim), nempel sama Guru, Ente ngapain disini aja?”. Kalau kupingnya dibuka, “bener juga, ngapain ane ngaduk kopi berlama-lama”.

Tapi apa jawabannya Syekh Ali Baros? begitu ada yang bersuara seperti itu, kuping beliau di tutup. Dia perbaiki hatinya, prasangka sama Gurunya dijaga.

Orang yang ingin dekat dengan Guru itu naluri fitrah. Tapi kalau kamu mau bicara khidmah, kamu bukan mau ngikutin fitrahnya kamu. Tapi kamu ngikutin posisi yang semestinya.

Lalu bagaimana dengan Syekh Ali Baros? dia menahan keinginannya, dia tetap berada di kompor (di dapur membuat kopi) dan ngurusin tamu. Dia tetap tidak pernah mengungkapkan maunya dia, dan tidak pernah mengurangi rasa hormatnya kepada Al Habib Abdurrahman Al-Attas atas perbuatannya, tidak pernah sedikitpun. Lalu apa yang terjadi ? Al Habib Umar yang mengkasyaf dia, “Ali gapapa Ente ga deket sama Ane. Gpp Ente setiap hari didapur. Orang-orang lagi dengerin taklim, Ente berkutat sama kopi dan gahwa. Ente ngurusin hidangan tamu-tamu saya yang berkunjung. Tapi asal kamu tau, ga akan ada orang yang bisa sampai kirim ke saya kalau ga kirim Fatehah dulu ke kamu.”.

Syekh Ali Baros mendengar statement tersebut dari Gurunya, merasa itu sudah cukup, saya tidak perlu apa-apa. Tidak mengharap ilmu gurunya. Terkadang ilmu itu tidak diturunkan dengan belajar tatap muka dengan Guru.

Syekh Abu Bakar bin Salim sebagian ilmunya diturunkan kepada keturunannya tanpa belajar langsung dengan beliau, sebagian ditimbun bersama jasadnya. Artinya keberkahan ilmu, untuk hubungan murid dan Guru. Ini bukan soal (belajar dengan) tatap muka, jika berkhidmah. Keberkahan bisa diraih dengan berbagai macam caranya.

Itulah yang saya petik dari Guru Mulia Habib Umar, dikala orang bertanya “Habib, bagaimana kita orang-orang yang jauh ingin belajar sama engkau, ingin dapat berkah, kita tetap ingin mengambil ilmu sanad dari engkau, tapi kita terpentok dengan jarak, kita bukan di Tarim“. Maka jawaban dari Habib Umar apa ? “Kamu bisa mendengarkannya melalui online“. Artinya apa? makin kuat tarikan hatimu untuk mendekat untuk belajar, memahami itu yang menunjukkan hubungan kamu dengan sang Guru. Bukannya duduk repot (belajar) didepan Guru.

Kalau Syekh Ali Baros tidak tutup kuping tidak akan menjadi seorang Syekh Ali Baros , tapi beliau membesarkan hatinya dengan menutup kupingnya.

Dulu, Syekh Abu Bakar bin Salim punya murid belajar mati-matian, setelah beliau wafat, muridnya ingin mendapatkan ilmunya Syekh Abu Bakar Bin Salim, tapi tidak diberi. Ilmu itu bukan diminta dengan haus. Karena sebagian Ilmu Syekh Abu Bakar bin Salim ditimbun bersama jasadnya, maka kuburan Syekh Abu Bakar bin Salim dan sekitar tanahnya menjadi obat. Beliau sendiri yang mengatakan bahwa “tanahku ini menjadi obat“. Dan ini caranya pengabdian yang sesungguhnya.

Sebentar lagi Rajab menyingsing, datanglah Sya’ban. Di penghujung akhir bulan Rajab ini semoga kita bisa terus menjadi hamba-hambanya Allah yang mengabdi kepada Allah dengan pengabdian yang sesungguhnya.. menjadi istri yang mengabdi kepada suami dengan pengabdian yang sesungguhnya, menjadi anak yang mengabdi kepada orangtua dengan pengabdian yang sesungguhnya, dan menjadi murid dengan pengabdian yang sesungguhnya pada guru-guru kita, InsyaAllah.. Aamiin Ya Rabbal Alamin

والله أعلمُ ﺑﺎ ﻟﺼﻮﺍﺏ