Tanggal : Senin, 14 Mei 2024
Guru : Ustadzah Aisyah Farid BSA
Tempat : MT Al Humairo, Condet Jakarta Timur
بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيْمِ
Sebagaimana firman Allah saat mengutarakan kepada kita semua tentang kemuliaan orang-orang yang nanti akan dekat dengan Nabi Muhammad. Allah berfirman, “Sesungguhnya orang- orang yang nanti di akhirat sama Nabi disebut نُوْرُهُمْ يَسْعَىٰ بَيْنَ أَيْدِيهِمْ ”
Saat ulama tafsir mensyarahkan tentang cahaya yang bersinar-sinar di antara tangan-tangan mereka. Ulama mengatakan,
“Oh itu bekas wudhu.”
Tapi ada lagi yang mengatakan,
“Oh bukan bekas wudhu, itu bekas amalnya.”
Jika dulu di dunia amalnya benar, cahayanya di sana benar.
Semakin bagus kualitas amalnya di sini (dunia), semakin bersinar cahayanya di sana (akhirat).
Jadi orang masak itu bikin telur aja pada bisa, tapi jika tentang indah tampangnya, tidak gosong, tidak semua orang bisa. Orang mungkin disuruh bikin hari ini indomie, bisa semua. Tapi jika untuk soal rasa, tidak bisa sama, tergantung keahliannya.
Hari ini disuruh numis kangkung, insyaAllah pada bisa semuanya. Tapi apakah tumisan kangkungnya sedap? Belum tentu. Jika ahli, hanya memotong bawang merah, bawang putih apa saja jadi. Semakin ahli, semakin enak masakannya. Semakin pintar, semakin lezat yang bisa dicicipi dari hidangannya. Sama seperti ibadah.
Ibadah yang kita kerjakan, semakin baik, semakin benar, maka yang didapat pahalanya semakin besar, semakin banyak, semakin sempurna.
Tapi jika kita di sini mengerjakannya asal-asalan, asal yang penting, yang penting sholat, yang penting ngaji, yang penting pakai kerudung, yang penting hadir ngaji, yang penting saja, sama seperti orang yang penting menumis saja, enak tidak enak, tidak peduli.
Tapi masalahnya, biasanya orang yang bikin asal-asalan, ke makan apa tidak? Ada yang mau nikmati apa tidak?
Orang yang di dunianya hidupnya amalnya asal-asalan, takut di akhirat amalnya tidak bisa dinikmati sama sekali.
Dia tahunan hidup dikasih sama Allah kesempatan, 60 tahun, 50 tahun, mungkin lebih. Tapi karena yang dibuat asal-asalan, akhirnya pada saat dia punya amal mau dihidangkan, pahalanya mau disuguhkan, tapi ternyata satupun dari itu tidak mampu memberikan kita suguhan yang dapat kita nikmati di sana. Akhirnya kosong sholatnya, kosong puasanya, kosong ngajinya, kosong taatnya, kosong selama ini nutup auratnya.
Maka dari itu kita semua yang datang menuntut ilmu, kita mau menyempurnakan sholatnya agar benar, puasanya agar benar, sedekahnya agar benar, nutup auratnya agar makin benar, semua dari seluruh aspek kehidupan kita mau tata, kita mau benarkan agar semuanya menjadi benar.
Inilah diingatkan oleh Nabi ﷺ. Nabi mengingatkan kepada kita, jika banyak orang hari ini tidak sadar. Jika ditanya tentang harta yang paling berharga itu apa? Atau jika ditanya kamu punya aset apa?
Bayangannya kan,
“Oh aset itu tanah”
“Oh aset itu rumah kontrakan.”
“Oh aset itu adalah tentang uang, emas.”
dan lain sebagainya.
Tapi ada seorang ulama ditanya oleh temannya, “Kamu punya aset apa?”
Lalu dijawab, “Saya punya aset yang pertama ridho sama Allah dan yang kedua saya merasa cukup dari manusia, engga butuh apa-apa dari manusia.”
Aset paling mahal yang pernah ada di dunia, aset ridho sama Allah, aset merasa cukup dari manusia.
Salah seorang ulama pernah berkata seperti ini,
“Kalau kamu ngaji tasawuf, kamu bakal jarang nemuin bab pelit di sana.”
Tidak ada di kitab Tasawuf bab bakhil, hampir tidak ada (mungkin ada di sebagian). Kenapa ulama tidak sisipkan bab pelit? Padahal Nabi sampaikan beberapa hadits tentang pelit. Tapi kenapa tidak membicarakan tentang pelit? Karena masalah utamanya orang bukan pelit, masalah utamanya orang adalah tamak. Masalah utamanya orang bukan pelit, tapi rakus.
Terlalu besar harapannya, terlalu besar maunya, terlalu besar angan-angannya, terlalu besar keinginannya.
“Ustazah, kalau ada orang pelit gimana?”
Biasanya orang pelit itu takut habis hartanya. Sebetulnya yang jadi pangkal masalah bukan pelitnya, tapi tamaknya akan hartanya, tamaknya dia sama dia punya harta.
Dari situ kita belajar, ya Allah masalah seperti ini banyak dari kita tidak sadar. Sepanjang kita hidup, kita belajar disuruh minta ridho sama Allah.
Terkadang, rumah bocor saja kita ngegerutu, lampu mati saja kita ngegerutu, air mati saja kita ngegerutu, ini belum perkara yang lain. Terkadang punya anak lima, saat melirik di sosial media ada orang memajang anaknya, lima-limanya wisuda, lima-limanya berhasil, kita langsung bicara sama anak kita,
“Tuh enak banget jadi itu emak punya anak lima enggak ada yang megelin. Emak punya anak tiga aja sudah kayak 3.000.”
Hal kecil seputaran hidup kita saja masih banyak yang terkadang kita tidak paham dari situ banyak hal yang akhirnya hilang syukurnya, hilang terima kasihnya, hilang ngerasa cukupnya, yang ditakutkan adalah banyak keluh kesahnya.
Coba perhatikan, orang hari ini banyak yang berkata,
“Enggak ada orang hidup yang enggak stres”
Itu kan kata-kata baru belakangan ini.
Jika kita mundur zaman dulu, zaman dulu tidak ada orang stres, adanya orang girang semua. Tapi jika zaman sekarang kalimatnya diubah,
“Kagak ada orang yang enggak stres.”
Hari ini, anak kecil pun butuh healing, anak kecil ikut-ikutan stres. Memangnya dari mana itu stres?
Apa karena Allah tidak cukupkan nikmatnya?
Dari dulu sampai sekarang, Allah tidak pernah mengurangkan jatah nikmat setiap hamba yang memang sudah dijatahkan nikmatnya. Nikmat tidak pernah dikurangi batas jatahnya. Dan segala bentuk kebaikan lainnya, hakikatnya tidak pernah dikurangi.
Tapi yang jadi masalahnya itu adalah manusianya, manusianya stresan. Ternyata, bukan karena masalahnya yang banyak, tapi karena dalam hatinya tidak ada ridho sama Allah, di dalam hatinya tidak ada ridho dengan ketetapan Allah. Padahal itu adalah puncak masalah yang paling dasar dalam hidup kita hari ini.
Orang pada nanya,
“Kapan nih kita punya rumah sendiri? Kapan nih kita punya rumah hasil jeri payah sendiri? Capek ngontrak mulu. Sampai kapan hidup begini mulu?”
Kata ibu-ibu durhaka yang bicara kepada suaminya.
Jika menerima sesuatu, yang ditanyakan, “Sampai kapan begini mulu?”
Yang jadi masalah bukan tentang nominal atau sesuatu yang diberinya, tapi yang jadi masalah memang dasarnya diri kurang ridho sama apa yang Allah tetapkan dalam hidupnya.
Setiap orang punya nasib,
Jika mau senang hidupnya, maka kurangi keinginannya, ridho saja dengan apa yang didapat.
Kurangi keinginannya, masalah selesai.
Dan kita juga belajar, ingin punya harta yang juga tidak kalah luar biasa besarnya, aset yang paling berharga dalam hidup, kita ingin merasa cukup dari manusia. Manusia mau bagaimana saja kita cukup. Maksudnya cukup apa?
Ada golongan orang dengan manusia tergopoh-gopoh.
Saya tidak sengaja kemarin melihat ada orang pasang status, dia sedih ceritanya. Yang disedihi apa? Dia sedih karena chatnya tidak dibalas-balas sama orang.
Remaja-remaja di chat tidak dibalas-balas dari pagi ngechat, dikirai siang dibalas, tidak. Sampai mau meram lagi, tidak dibalas juga. Yang tidak tidur yang ngechat. Kenapa itu manusia bisa seperti itu? Merasa butuh. Sepatutnya umumnya orang yang ngechat itu adalah dia yang ingin berbaik sikap, nanya kabar, nyapa, “Apa kabar? Kemana aja udah lama engga kelihatan? kangen nih.”
Sama teman arisan, sama saudara misalnya, bukan sama orang yang salah. Tidak dibalas. Yang tidak bisa tidur yang ngechat, kesal, terganggu dengan respon orang. Orang tidak jawab dia pegal. Hatinya mulai berkata-kata dan pikirannya mulai negative thinking,
“Sengaja nih sengaja nih. Masa dari pagi sampai malam engga juga kebuka? Engga dilihat apa notice chat saya? Sengaja. Heran sama ini orang, ada masalah apa ya sama saya?”
Hatinya belum selesai sampai malam, dia tidak tidur, hatinya dongkol, hatinya kesal, berasa dirinya tidak dianggap, tidak dihargai. Itu sebabnya dari mana? Salah orang?
Jika ada orang tidak mau jawab chat kita, jangan tersinggung. Tidak apa-apa orang tidaka jawab chat, jangan tersinggung. Ini terkadang jama’ah majelis, Ustadzah tidak jawab chat, sangat tersinggung itu. Ustadzah dichat tidak dijawab sangat tersinggung, “Ada salah apa saya sama Ustazah?“
Dengan siapa saja terkadang kita chat tidak dibalas. Tidak dibalas sama orang, tidak merusak kita, karena kita yang ngechat sudah unggul satu poin. Kenapa? Karena kita yang memulai percakapan. Adapun sikap orang sama kita, jangan bikin sikapnya orang justru mempengaruhi hati kita, mempengaruhi kejernihan tujuan kita, niat baik kita menjadi rusak hanya karena tidak dijawab, tidak direspon.
Maka dari itu, orang-orang yang suka memasang status galau seperti itu tidak mengajarkan yang benar. Mau ngapain sedihnya dibagi-bagi? Pintarnya orang, diambil kata-katanya, diposting juga yang merasakan perasaan yang sama,
“Wah pas nih perasaannya sama saya. Saya juga udah dua hari engga dijawab-jawab. Saya sudah dua hari engga direspon.”
Seperti orang menagih hutang, tapi tidak dijawab-jawab. Yang menagih kesal.
Perasaan bergantung kepada manusia sering menyiksa diri kita sendiri. Itu baru bergantung soal jawaban pesan, bagaimana kira-kira jika bergantung lebih daripada itu?
Orang yang bergantung kepada manusia, orang yang paling merana hidupnya, orang yang paling banyak kecewanya.
Kenapa orang hari ini banyak yang butuh healing, perasaan hidupnya banyak suntuknya, banyak mumetnya? Boleh jadi karena terlalu butuh kepada manusia.
Kepada suami saja kita tidak boleh sangat butuh, sama teman tidak boleh sangat butuh. Sama orang tua kita boleh butuh benar, surga kita itu. Tapi diatas segalanya, kepada Allah mestinya kita merasa paling butuh, sama Rasulullah mestinya kita merasa paling butuh.
Ini kita di majelis ingin membuang perasaan itu pelan-pelan. Selain memupuk rasa ridho sama Allah, kita mau memupuk rasa butuh kita sama manusia.
Ingat,
Tugas kita bukan memperdulikan sikap manusia, tapi tugas kita hanya berbuat baik kepada manusia.
Adapun manusia mau berbuat apa sama kita, bukan urusan kita. Urusannya serahkan kepada Allah.
Tapi percaya, siapa orang yang berbuat baik, pasti bertemu dengan yang baik.
Jika seseorang memang dasarnya baik, akan bertemu dengan yang baik. Dalam pertemanan, jika seseorang berteman baik, maka pasti didekatkan dengan teman-teman yang baik. Dalam keluarga, kita baik. Maka Allah akan dekatkan kita sama orang-orang yang baik. Dari keluarga kita maupun darimana pun juga.
Maka kuncinya bukan,
“Ane cuma mau duduk sama yang baik.”
“Ane cuma mau temenan sama orang yang baik.”
Tujuannya bukan itu, tapi tujuannya jadikan diri kita orang baik, maka Allah antarkan kita duduk sama teman-teman yang baik. Jadikan diri kita orang baik, maka Allah antarkan kita duduk ditengah keluarga yang baik.
Jadikan diri kita orang baik, maka Allah akan antarkan semua hal baik dalam hidup kita.
Maka yakinkan itu saja. Jika kita yakin dalam hidup seperti itu, insyaAllah hidup kita tidak ada yang berantakan.
Kalau hari ini banyak orang yang hidupnya merana, sedih, galau, banyak urusan, banyak punya masalah kehidupan, itu bukan tentang bebannya yang terlalu banyak tapi memang kadar ukur syukurnya yang belum ada, ridhonya sama Allah belum ada.
KISAH SEORANG NABI DENGAN BATU
Seorang Nabi pernah melewati batu. Pada saat Nabi melewati batu, didapati batu itu tiba-tiba mengeluarkan air. Nabi tahu jika batu tersebut sedang menangis. Lalu ditanya, “Apa yang bikin ini batu nangis?”
Maka akhirnya Allah mengizinkan batu tersebut untuk menjawab pertanyaan Nabi tersebut. Dijawab oleh batu itu,
“Semenjak aku mendengar bahwa batu adalah salah satu bahan bakunya neraka, sampai hari ini aku tak berhenti menangis karena takut jika aku menjadi salah satu bahan baku neraka tersebut.”
Padahal jika kita mengaji di Al-Qur’an, batu itu nomor dua. Yang pertama menjadi bahan bakunya adalah manusia. Harusnya yang paling banyak menangis itu kita, yang paling harus lebih merasa takut itu kita daripada batu itu. Kenapa? Karena Allah mengawali dengan kalimat,
“Saya jadiin bahan bakunya itu manusia dan batu.”
Maka Nabi tersebut merasa tersentuh dengan sebuah batu yang menangis lantaran takut dia menjadi salah satu bahan bakunya neraka. Didoakan oleh Nabi tersebut, “Ya Rab, selamatkan dia.”
Maka Allah pun mengijabah doa Nabi tersebut, dengan dia dibebaskan dari salah satu bahan bakunya neraka. Allah jadikan dia bukan batu yang akan menjadi bahan bakunya neraka.
Kemudian pergi Nabi tersebut. Tak selang berapa lama, Nabi itu lewat lagi. Pada saat Nabi itu lewat, didapati batu yang sama mengeluarkan air mata lagi. Bingung Nabi ini. Maka dia pun bertanya-tanya,
“Lah kemarin saya lewat, dia nangis juga. Loh kok sekarang sudah didoain, sudah dibebasin, nangis juga.”
Maka Nabi tersebut bertanya lagi kepada Allah, “Ya Rab, kenapa ini batu?”
Allah pun mengizinkan lagi batu ini berbicara,
“Wahai Nabi Allah, bila kemarin aku menangis lantaran firman Allah yang menjadikan salah satu bahan baku neraka adalah batu, maka hari ini aku menangis lantaran rasa syukurku kepada Allah karena telah membebaskan aku dari bahan baku itu. Maka air mata hari ini yang kau lihat adalah air mata syukur kepada Allah yang sudah memilih aku untuk bebas dari bahan baku neraka.”
Air mata syukur. Hari ini, jika seseorang senang galau, senang menangis, senang sedih, harusnya diganti vibesnya (suasananya). Bukan sedih karena merasa hidupnya paling sedih atau nasibnya paling sedih atau garis hidupnya paling sedih. Tapi apa? Harusnya hari ini air matanya menangis karena bersyukur menjadi generasi akhir, yang kau adalah umatnya Nabi. Nabinya adalah nabi terakhir, nabi terkasih, nabi yang paling dijunjung, Nabi Muhammad Sallallahu Alaihi Wasallam.
Mau bersyukur nikmatnya menjadi umatnya Nabi berapa lama? Seumur hidup kita sujud di atas bara sekalipun, untuk bersyukur menjadi umatnya Nabi, tidak bisa. Balas gantinya nikmat Allah yang menjadikan kita umatnya Rasulullah ﷺ.
Maka jika lagi sedih hari ini, jika lagi ingat masalah dalam hidup kita selama ini, ingat-ingat kamu umatnya Nabi,
Sepatutnya dalam hidupnya umat Nabi adanya tangisan air mata syukur karena telah dipilih menjadi umatnya Nabi, bukan air mata sedih hanya karena problematika hidup hari ini.
Mudah-mudahan Allah angkat semua urusan-urusan kita, masalah-masalah kita, derita-derita kita, perih-perihnya rasa sakit kita dengan digantikan besarnya luasnya rasa syukur kita yang Allah pilihkan kita menjadi umatnya Nabi Muhammad, amin amin ya rabbal alamin.
والله اعلم بالصواب