بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيْمِ
Setiap orang punya cerita dalam hidup. Tapi, cerita itu bebas—mau kita bawa ke mana, mau jadi alur sedih atau bahagia—semuanya tergantung kita sebagai pemilik cerita.
Masing-masing dari kita sudah diberikan skenario oleh Allah, dan kita yang memerankannya. Terserah kita mau memerani peran itu sebagai lawan, arogan, antagonis, atau melankolis.
Siapa yang punya pilihan? Kita sendiri.
Namun, banyak orang memilih untuk menjadi si “melankolis”, gemar membungkus hidupnya dengan drama. Padahal, meskipun dramanya tidak habis-habis sampai ajal menjemput, kita sudah tahu bahwa ada cerita yang berakhir bahagia, ada yang berakhir sedih. Ada yang nyambung, ada yang terputus di tengah. Ada cerita yang dijadikan pelajaran, ada yang biasa-biasa saja, bahkan ada yang sekadar fantasi.
Ini hidup kita. Pilihannya pun ada di tangan kita.
Kamu mau jadikan hidupmu sebagai inspirasi orang lain, atau hanya cerita fiksi biasa?
Kalau saya, saya memilih menjadikannya kisah yang menggugah—kisah yang menginspirasi, yang membuat orang lain terdorong untuk menjalani hidup lebih baik.
Begitu juga kalian.
Kalian ingin menjadikan alur cerita hidup seperti apa?
Pesannya, sisipkan selalu kebaikan di dalamnya.
Saat cerita hidup kita selesai dan jasad terkubur, biarlah kisah itu tetap terkenang selamanya oleh yang membacanya.
Lihat saja, ada film lama yang tetap diingat dan ditonton berulang kali walaupun sudah puluhan tahun berlalu. Hidup kita pun sama.
Masa muda adalah bagian cerita yang paling berharga—maka jagalah kisah hidupmu agar tidak sia-sia.
Kita diminta untuk memerangi hawa nafsu.
Pernahkah kita merasa dongkol atau kesal terhadap seseorang?
Pasti pernah.
Saat sedang kesal, kita bisa membayangkan rasa jengkel itu begitu dalam, bahkan sampai ada aroma permusuhan. Saking bencinya, satu ruangan pun terasa sesak jika ada orang itu.
Kata orang, satu sajadah untuk dua orang yang saling mencintai terasa luas, tapi satu istana untuk dua orang yang saling bermusuhan terasa sempit. Seolah oksigen pun menipis.
Pesan Imam al-Haddad: jika ingin bermusuhan, bermusuhanlah dengan hawa nafsu. Karena hawa nafsu adalah musuh utama kita—ia selalu cenderung mengajak kepada kerusakan.
Sebelum kita menyalahkan orang lain, salahkan dulu hawa nafsu kita sendiri.
Teman buruk mau sejahat apa pun, kalau kita punya prinsip, pendirian, dan ketegasan, kita tidak akan ikut rusak. Kita biasanya terbawa pengaruh teman buruk karena mengikuti hawa nafsu kita sendiri.
Contoh:
Ada teman mengajak kita bolos sekolah. Kalau kita ikut, apakah salah teman kita? Tidak.
Ketika guru bertanya, “Kenapa kamu bolos?” lalu kita menjawab, “Saya diajak teman,” itu tanda kita hobi cuci tangan.
Faktanya, teman hanya mengajak, tapi yang memutuskan ikut adalah kita sendiri.
Begitu juga dengan pergaulan lawan jenis. Anak muda kadang terjerumus pada hal yang dilarang syariat karena diajak pacarnya. Nanti di akhirat, kita tidak bisa datang kepada Allah lalu berkata, “Ya Allah, aku begini gara-gara dia.”
Tidak bisa. Itu keputusan kita sendiri.
Maka, sebelum menyalahkan orang lain, salahkan dulu hawa nafsu. Sebab hawa nafsulah yang sering membuat kita salah mengambil keputusan dalam hidup.
والله اعلم بالصواب