MQ EPS 71
Siapa yang menjaga matanya, maka akan terjaga hatinya. Jika sudah terjaga hatinya, maka akan terjaga seluruh anggota tubuhnya.

Tanggal           : Selasa, 18 Oktober 2022
Kitab               : Mukasyafatul Qulub
Karya              : Imam Ghazali
Guru                : Ustadzah Aisyah Farid BSA
Tempat            : MT Banat Ummul Batul

ِبِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيْم

PENDAHULUAN

Imam Hasan Al Basri seorang tabi’in. Suatu ketika beliau mengupah orang untuk membawakan barangnya dari pasar sampai ke rumah. Sepanjang jalan, Imam Hasan perhatikan ini orang yang bawa barang mulutnya tidak lepas dari “Alhamdulillah Astgahfirullah“. Sampai dirumahnya Imam Hasan bertanya;

Imam Hasan : “Saya perhatikan dari tadi jalan dengan kamu dari pasar sampai rumah, saya perhatikan lisan kamu tidak berhenti dari Hamdalah dan Istighfar. Apakah ada alasan tertentu dengan bacaan yang kamu baca itu?

Tukang yang diupah menjawab : “Ya Imam, kita ini hidup antara 2 saja. Antara mendapat nikmatnya Allah SWT dan tidak mampu mensyukuri nikmatnya Allah SWT. Tidak lebih dari itu. Tidak ada seorang makhluk pun di muka bumi ini kecuali semuanya mendapat nikmat dari Allah SWT. Satu tidak dapat nikmat tuh tidak ada, semuanya pasti dapat. Tetapi semua yang diberi nikmat itu juga tidak satupun dari mereka yang luput dari tidak mampunya mereka untuk benar-benar bersyukur kepada nikmatnya Allah SWT. Kita tidak benar-benar bisa memenuhi hak kita, kewajiban diri kita kepada Allah SWT selaku yang memberikan kita nikmat.

Imam Hasan setelah mendengar jawaban tukang yang diupah, menepuk tangannya sekali (seolah-olah membayangkan dirinya sendiri dan berbicara pada dirinya sendiri) Imam Hasan berkata, “Ya Hasan Ya Hasan. Tukang bawa barang lebih pintar daripada ente.

Padahal seorang Imam Hasan Al Basri adalah Ulama besar, Ulama terpandang, Ulama terkemuka, dikenal sebagai orang yang banyak nangisnya. Sejak kecil Imam Hasan sudah berada dalam naungan kenabian. Walaupun dia bukan sahabat, tapi dia pernah diasuh oleh orang yang dekat dengan Nabi Muhammad SAW.

Semua hamba yang diberi nikmat hakikatnya mereka itu tidak benar-benar bisa memenuhi tanggung jawabnya untuk mensyukuri nikmat itu sendiri. Terkadang hidup kita ini yang terfokus adalah seputar masalah, bukan seputar nikmat.

Jika kita melihat hidup bukan tentang nikmat, tapi tentang ujiannya, tentang tekanannya, tentang masalahnya. Padahal jika ada orang yang diberi oleh Allah SWT kelebihan di sisi lain, mereka diberi kacamatanya bukan tentang ujiannya, tapi dia justru melihat tentang kenikmatannya.

Dari kisah di atas jika kita pikir benar juga. Ini bukan tentang banyaknya ujian. Jika seandainya kita disuruh fokus pada ujian, berarti kita ini tidak perlu capek-capek belajar, kita tidak perlu belajar akhlaknya Nabi Muhammad SAW, kita tidak perlu meniru apa-apa yang dicontohkan Nabi Muhammad kepada kita. Kenapa? Karena kurang jahat apa orang-orang di sekitar Nabi Muhammad? Kurang tekanan apa hidupnya Nabi Muhammad? Tapi beliau selalu mengajarkan kita bagaimana caranya acuh dengan itu semua.

Tidak sekalipun didapati dalam doanya Nabi Muhammad tentang mengurusi tekanan hidupnya, tidak pernah. Contoh; Nabi Muhammad sholat sampai kakinya bengkak. Sayyidah Aisyah bertanya, “Wahai Rasul, kenapa kamu mau sholat sampai kaki bengkak seperti ini? Bukankah Allah SWT telah hapus dosamu baik yang lalu maupun yang akan datang?” . Lalu Nabi Muhammad menjawab, “Wahai Aisyah, tidak bolehkah aku menjadi hamba yang bersyukur?

Tidak pernah dari curahan hati atau keluh kesah Nabi Muhammad itu tentang orang-orang yang pernah melukai atau menjahati dirinya.

Ternyata Nabi Muhammad SAW sejak dulu sudah mengajarkan kita untuk jangan pernah hidup itu fokus pada masalah, memikirkan masalah, mengurusi masalah, tapi jadilah hamba yang selalu sadar akan nikmat Allah SWT.

Sadari kalau kita ini ternyata menjadi seorang hamba tidak benar-benar mampu mensyukuri nikmat yang begitu banyak Allah SWT limpahkan pada kita.

Nabi Muhammad SAW mengajarkan jangan pernah membalas kejahatan dengan kejahatan.

Orang yang menyakiti, pasti akan tersakiti. Orang yang mendzolimi, pasti akan terdzolimi. Orang yang melukai, pasti akan dilukai. Orang yang jahat, pasti akan dijahati.

Jika kamu ingin membandingkan rasa sakit, ujian dengan segala bentuk ada, maka akan selalu kalah dengan jutaan nikmat yang Allah SWT limpahkan kepada kita.

Bagaimana agar menjadi orang yang bisa melihat nikmat tapi tidak melihat ujian? Caranya minta pada Allah SWT agar bisa menjadi orang yang selalu melihat nikmat, bukan hanya yang tidak enaknya saja.

Orang yang terdzolimi cukup mengadu pada Allah SWT saja, maka langit ke tujuh langsung terbuka. Orang terdzolimi tidak ada penghalang antara dirinya dengan Allah SWT.

Belajar mengikuti semua yang diajarkan Nabi Muhammad SAW. Lebih tepatnya menerapkan di dalam diri. Ini tentang kita, bukan tentang orang lain. Kita yang sedang belajar.

Hikmahnya Allah SWT mengutus Nabi Muhammad SAW agar kita sebagai umatnya Nabi Muhammad itu bisa benar-benar meneladani jalan hidupnya dan menerapkannya dalam diri kita.

Kalau memang sebuah rasa sakit adalah harga untuk kita meneladani Nabi Muhammad, memangnya kenapa? Kenapa tidak?

Ulama berkata, “Nyawa kita ini terlalu murah untuk mencapai satu senyuman Rasulullah SAW.”

Misal kita sedang sakit, sedih, atau semacamnya. Belajar ambil kaligrafi Nabi Muhammad SAW, tempel di kamar, pandangi, bayangkan kaligrafi itu Rasulullah SAW. Nanti rasa sakit itu berubah.

Jika untuk sebuah harga diam saya mendapat senyummu Rasul, maka tidak apa-apa.

KAJIAN KITAB MUKASYAFATUL QULUB

Imam Al Ghazali melanjutkan kebajikan atau kebaikan lainnya yaitu meninggalkan dunia.

Apa yang dimaksud dengan meninggalkan dunia? Bagaimana cara meninggalkan dunia?

Cara meninggalkan dunia adalah dengan membuang dunia dari pikiran kita tentang segala urusan dunia.

Segala sesuatu urusan dunia yang membuat kita terlena, tertipu, terperdaya, itu semua harus dibuang. Jangan jadikan dunia ini sebagai pikiran kita.

Terkadang adanya pikiran di dalam kepala kita tentang dunia akan membangkitkan semangat kita untuk terus mengejar dunia itu sendiri.

Ulama berkata, “Di dunia ini kalau untuk urusan dunia kamu hanya boleh jadikan dunia untuk 2. Satu, kebutuhan secukupnya/tidak berlebihan yang menutupi hidupmu di dunia. Dua, jadikan dunia sebagai jembatan kamu menuju akhirat.”

Saat yang kamu lakukan ada makna tentang akhirat, maka walaupun hancur tidak akan ada penyesalan dihatimu.

Semua yang kamu perbuat, seindah apapun itu jika tujuannya untuk akhirat, maka tidak akan pernah ada yang hilang di sisi Allah SWT.

Al Habib Abu Bakar Al Adni, “Jadikan dunia ini hanya di genggaman, jangan pernah jadikan dunia ada di dalam hati.”

Hati-hati jika hati kita condong pada kelezatan dunia. Yang bisa memicu pikiran kita banyak. Salah satunya adalah pandangan kita. Hati-hati pada apa yang kita lihat.

Mata adalah jendela yang langsung ke hati.

Waspada pada padangan kita, apalagi untuk suatu hal yang tidak halal kita lihat.

Rasulullah SAW berkata, “Jika kita merasa takjub akan sesuatu, maka lihat itu dengan pandangan takjub pada yang menciptakan sesuatu tersebut.”

Nabi Muhammad SAW bersabda, “Barang siapa orang yang melihat sesuatu yang menarik perhatiannya, kemudian dia membaca “MasyaAllah Tabarakallah Laa Quwataillabillah”, maka yang dilihat itu InsyaAllah tidak akan terkena keburukan matanya.”

Nabi Muhammad SAW berkata, “Pandangan itu adalah salah satu anak panah dari anak panahnya syaithon.”

Belajar jangan melihat nikmat orang lain, lihat nikmat yang ada pada diri kita sendiri. Selalu ada cara untuk melihat sisi kita jauh lebih indah daripada sisi orang lain.

Ahlu hikmah berkata, “Barang siapa yang mengumbar pandangannya, maka dia akan banyak penyesalan.”

Semakin kamu melihat kelebihan orang lain, semakin kamu merasa dirimu tidak ada apa-apanya.

Ketagihan memandang itu buruk. Apalagi jika yang kita lihat itu tentang informasi orang lain atau tentang kepribadian orang lain.

Siapa yang menjaga matanya, maka akan terjaga hatinya. Jika sudah terjaga hatinya, maka akan terjaga seluruh anggota tubuhnya.

والله أعلمُ ﺑﺎ ﻟﺼﻮﺍﺏ