Menjadi Wanita yang Bersyukur
Syukur itu karunia, dan siapa yang tahu bagaimana cara memuji Allah itu karunia. Jika kita diuji tapi lupa memuji Allah, maka sebetulnya itu bencana.

Tanggal          : Sabtu, 12 Mei 2024
Guru               : Ustadzah Aisyah Farid BSA
Tempat           : MT Assakinah & Ummuna Khadijah Tangerang

بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيْمِ ​

Semua yang Allah kasih akan dimintakan pertanggungjawaban olehnya, kecuali satu. Ada satu nikmat Allah yang gratis. Diakhirat, Allah tidak akan meminta pertanggungjawabannya sama kita. Nikmat apa itu? Nikmat rahmatnya kepada kita, meliputi segalanya, muslim maupun kafir.

Rahmatnya Allah yaitu kasih sayangNya. Allah tidak akan menuntut kasih sayangNya selama ini kepada kita, Allah tidak akan menuntut kita betapa Dia sangat peduli kepada kita.

Nikmat tangan, Allah akan tanya besok. Nikmat mata, Allah akan tanya besok. Nikmat lisan, Allah akan tanya besok. Nikmat kaki, akan Allah tanya besok. Adapun nikmat kasih sayangnya kepada kita, tidak akan ditanya oleh Allah. Maka jika kita lihat luasnya rahmat Allah, luasnya cinta Allah, luasnya kasih sayang Allah, kita malu mengaku jika kita merasa kurang atas nikmatnya Allah, kita malu berani mengungkap jika apa yang kita terima tidak sepadan dengan apa yang sudah kita perbuat.

Banyak di luaran sana yang hari ini sedang menangis akan nasibnya, yang hari ini sedang menangis dan meratap akan hidupnya, yang hari ini mungkin sedang berada didalam pilihan antara mau lanjut hidup atau mau menyudahinnya saja, yang hari ini mungkin mereka sedang beranggapan, “Saya mau lanjut kepada Allah atau saya mau keluar dari agama ini?”

Mungkin di luaran sana banyak orang yang hari ini sedang menyayat-nyayat tangannya, sedang berupaya melukai dirinya, bahkan sedang mengutuk-ngutuk akan Tuhannya. Kenapa? Karena merasa dia adalah orang yang tidak mendapatkan nikmatnya. Padahal jika diukur-ukur, kasih sayang Allah tidak bisa lagi diungkap oleh kita dengan apapun juga.

Darimana Ustadzah sayangnya Allah kalau kita diuji mulu?
Darimana Ustadzah sayangnya Allah kalau kita dikasih susah mulu?
Orang-orang suka bertanya seperti itu.

As Syekh Jalaluddin Arrumi, karya-karyanya yang sangat luar biasa, sajak-sajak kata-katanya yang sangat menggugah, diantara nasihat seorang Jalaluddin Arrumi, beliau pernah bertutur kata,
Pernahkah kau melihat orang memukul-mukul permadani

Yang sedang dipukul apa? Permadani?
Ketahuan orang-orang yang sudut pandangnya hanya melihat dengan mata saja. Coba teliti lagi yang lebih dalam. Orang-orang yang sedang memukul permadani itu memukul debunya. Ditepuk-tepuk sampai kencang, kurang kencang pukul lagi, sekali tidak cukup berkali-kali dipukul. Yang dipukul apa? karpetnya atau debunya?

Jadi, jika kita mau lihat pakai kasat mata, kita lihatnya karpet yang dipukul. Tapi jika mau lihat pakai batinnya kita, sejatinya dia memukulnya karena ingin keluarkan debunya.

Ada seorang ibu memukul anaknya lantaran nakal. Yang dicubit kakinya, yang dicubit tangannya.
Saat ditanya, “Kok tega si nyubit? Kok tega sih begitu sama anak?
Jawaban orang tua sederhana, “Saya lagi mendidik dia.”
Bukan tentang pukulannya, bukan tentang cubitannya. Kira-kira seperti itu juga ilustrasinya.

Selama ini kita dalam hidup merasa selalu dipukul, padahal kita tidak sadar, yang merasa dipukul karena ada debu yang Allah mau rontokin dari kita, ada debu yang Allah mau buang dari dasar hati kita.

Akui saja diri kita banyak debunya, debu sombong, debu pamer, debu ingin dipuji, debu hasut, debu dengki, debu merasa paling hebat, debu keangkuhan dalam diri seseorang, itu debu-debu nakal, sama karpet saja kalah.

Dinasihati sudah, dibilangi sudah, dikasih tahu bahayanya nyimpan itu debu sudah, tapi nakal tidak keluar-keluar juga.

Jika kita melihat karpet yang dipukul itu agar debunya keluar, maka Syekh Jalaluddin Arrumi berkata,
Saat ujian menerpa kita, Allah mungkin terlihat seperti memukul kita. Tetapi sejatinya Allah bukan memukul lahiriah kita. Ada maksud di balik pukulan itu yaitu ingin meruntuhkan debu-debu kotoran yang ada di dalam diri kita.”

Maka dari itu, jika ada dari kita yang merasa hidup, lalu tiba-tiba merasa ada yang diuji, maka ketahuilah boleh jadi debunya sudah pantas untuk dikeluarkan, debunya sudah terlalu kotor sehingga harus dikeluarkan.

Maka bahasa daripada hadits Nabi Muhammad ﷺ yang mengkiaskan,
Jika Allah sayang kepada seorang hamba, maka hamba itu diuji.”

Mau dilihat,
Pantas tidak disayang?
Pantas tidak diperhatikan?
Pantas tidak dikasih pahala yang sangat besar?
dan seterusnya.

Oleh karena itu, saat kita melihat adanya ujian, maka sepatutnya kita bukan peduli hanya pada ujiannya.

Seorang ulama berkata,
Saat datang ujian dalam hidup seseorang, sepatutnya yang dia lihat bukan ujiannya tapi pahala dibalik sabarnya dia menghadapi ujian itu.”

Jika sudah lihat pahalanya, lupa dengan ujiannya. Jika sudah lihat besarnya ganjaran yang Allah janjikan atasnya, lupa kita dengan susahnya. Jadi kita ingat ternyata,

Bukan Allah mau pukul kita, bukan Allah mau menyusahkan kita, bukan Allah mau membuat kita merana, bukan Allah mau kita merasakan pahitnya hidup, tapi sejatinya Allah mau mensucikan kita.

Dalam sebuah nasihat dalam pepatah Arab,
Siapa yang tidak tahu terima kasih kepada orang, artinya dia tidak tahu terima kasih kepada Allah.

Jika mau melihat orang yang syukur itu mudah, bagaimana dia kepada orang.

Contoh seorang istri kepada suami bagaimana?
Kenapa Ustazah yang dilihat istri kepada suami?”
Karena biasanya, suami yang memberi, istri yang menerima. Mau melihat istri adalah orang yang pandai bersyukur atau bukan, mudah. Lihat saja jika suaminya memberi bagaimana responnya. Dia tipe orang yang menggerutu atau tidak?

Mudah melihat orang, lihat saja bagaimana cara dia bermuamalah kepada manusia.

Jika kepada suaminya saja tahu bersyukur, pasti dia kepada Allah jauh lebih bersyukur.

Mudah mau mengukur kadar syukur kita, lihat saja bagaimana kita kepada orang. Jika saat kita bersikap kepada orang tahu terima kasih, artinya kita tahu bagaimana berterima kasih kepada yang memberikan kita segala nikmatnya. Tapi jika kepada orang saja kita sudah tidak paham terima kasih, sudah ditolong, sudah dibantu, terkadang sudah diutangkan justru lebih galak dia, maka kita tidak paham terima kasih kepada Allah.

Mau mencari kadar ukur orang syukur zaman sekarang, mudah. Maka dari itu, orang yang tidak tahu bagaimana cara berterima kasih kepada manusia, sudah pasti tidak akan tahu bagaimana cara berterima kasih kepada penciptanya manusia, tidak tahu bagaimana dia melihat akan besarnya nikmat Allah. Maka kita belajar, mau bagaimana syukur kepada Allah, ternyata belajarnya dari bagaimana kita bersyukur kepada orang-orang, terutama di sekitar kita.

Contoh orang tua, suami, teman-teman, yang terkadang masyaallah. Kita punya hajat dia datang bawa kue, bawa air. Tidak punya uang bawa tenaganya. Jika kita tidak bisa menghargai mereka, orang tua, anak, suami, teman, kerabat, sudah pasti syukurnya kepada Allah kecil. Karena tidak ada yang terbalik, kepada Allah syukurnya benar, tapi kepada manusia masyaallah tabarakallah.

Ada sahabat datang ke Rasul, kemudian bertanya,
Rasul, siapa sorang yang paling banyak terkena ujian? yang paling berat menerima ujian?
Dijawab oleh Nabi, “Para Anbiya.”
Kemudian ditanya kembali, “Selanjutnya siapa lagi setelah itu?
Lalu dijawab, “Kemudian orang yang semisal para Anbiya.”

Yang bertugas selayaknya tugasnya para Anbiya. Misalnya mereka para sahabat, para tabi’in, para ulama.

Orang yang semakin berkecimpung di dalam dunia para Nabi (ilmu), ujiannya semakin besar.

Ditanya kembali, “Kemudian Ya Rasulullah, siapa lagi?
Setelahnya, mengikut setelahnya.”

Setiap orang semakin kokoh agamanya, semakin berat ujiannya.

Kata Nabi, “Semakin kokoh agamanya, semakin berat ujiannya

Maka dari itu, jika seseorang mau benar, mau hijrah, mau memilih jalan yang lurus, mau meninggalkan riba, mau meninggalkan teman-teman yang salah, mau menjadi orang yang berpakaian benar, godaannya luar biasa. Bukan tentang kenapanya, “Kok kita benar, tapi diuji?

Allah mau kamu menjadi pribadi yang benar-benar bersih. Nabi katakan, “Tidak akan berhenti ujian seseorang sampai Allah benar-benar hilangkan dosa dalam diri orang tersebut.

Jika masih punya dosa, berarti masih diuji. Jika masih punya salah, berarti masih diuji. Artinya,

Boleh jadi ujian-ujian yang datang juga karena banyaknya dosa yang kita punya.

Terkadang seseorang sering tidak sadar dengan salahnya, malah bisa menyalahkan orang-orang. Dan kita sebagai manusia tidak menyadari kurangnya kita kepada Allah, tapi bisanya menyalahkan perlakuan Allah kepada kita.

Datang satu riwayat, Sayyidah Aisyah pernah satu waktu sedang enak tidur dengan Nabi, tiba-tiba Nabi meminta izinkepada istrinya, “Boleh engga saya bangun?

Bayangkan, Nabi izin kepada istrinya, “Boleh engak saya bangun aja?

Dijawab oleh Sayyidah Aisyah,
Kalau ditanya hati, saya lebih senang kamu di sini. Tapi saya lebih memilih senangmu dibanding keinginanmu.

Selanjutnya Nabi bangun. Dari wudhu, Nabi sudah menangis. Sampai Sayyidah Aisyah mengatakan bahwa air tangisannya itu sampai membasahi jenggotnya. Jika kita artikan sekarang, tangisan itu adalah tangisan sesegukan. Selesai wudhu, beliau sholat. Beliau panjangkan berdirinya, beliau panjangkan sujudnya, beliau panjangkan rukuknya, sampai air matanya bukan saja membasahi jenggotnya, tapi sampai terjatuh ke dadanya.

Sampai mendekati waktu fajar, Nabi ﷺ dijemput oleh Sayyidina Bilal bin Rabbah. Penasaran Sayyidah Aisyah, “Ini kok tumben sampai gini-gini banget?

Sebelum Nabi berjalan, Sayyidah Aisyah bertanya terlebih dahulu,
Wahai Rasul, bukankah Allah sudah ampunin dosa-dosamu? Kamu ini orang sudah engga punya salah, orang yang sudah engga punya dosa. Lalu tangisan apa ini?

Datang dalam riwayat, Nabi menjawab, “Ini adalah tangisan seorang hamba yang bersyukur kepada Allah. Apa saya engga boleh jadi hamba yang bersyukur, wahai Aisyah?

Jika dipikir-pikir, terkadang kita bersyukur kepada Allah saat sedang senangnya saja. Jika kita sedang berasa momennya pas, menyenangkan, menggembirakan, mendapat suatu hadiah yang membuat berbunga-bunga, momen seperti itu cocok untuk kita sujud syukur. Padahal untuk menjadi hamba yang bersyukur tidak menunggu ada hadiah besar yang datang kepada kita.

Ada seorang ulama yang datang ke salah satu kota. Pada saat itu beliau diundang oleh seorang raja. Namun sangat disayangkan, saat tiba di kota tersebut, kaki beliau terluka yang lukanya itu menjalar, sehingga para tabib sekitar yang mengecek kakinya berkata, “Kaki kamu harus diamputasi, mumpung ini belum sampai dengkul. Karena kalau sudah sampai dengkul, takutnya nyawamu kenapa-napa.

Harus dipotong, harus diamputasi. Syekh tersebut menjawab dengan sabarnya, dengan senyumnya, “Kalau memang begitu, amputasilah kakiku. enggak apa-apa.

Tadinya dia tetap tidak mau, tapi karena mendengar akan mengancam nyawa, akhirnya mau. Jika memang dengan amputasi lebih baik, ambil. Siapa rela yang tadinya kakinya utuh, kemudian harus dipotong?

Lalu tabibnya berkata, “Kalau mau dipotong, harus dibius. Ada minuman yang harus kamu minum untuk membuatmu tidur.”

Orang dibius itu tidur, lengah, khayal, membuat dia tidak sadar akan sakitnya.
Syekh tersebut kembali bertanya, “Apa ada orang yang minum itu?
Kemudian tabib menjawab, “Ada, ini minuman dikhususkan untuk orang yang mau ditindak.”

Beliau berkata, “Ada orang mau meminum sesuatu yang bikin dia lupa pada Tuhannya? Saya engga mau. Mau amputasi, amputasi saja. Mau potong, potong saja. Tapi saya engga bakal rela otak saya sedetik pun lupa kepada Allah.”

Jika kita lihat hari ini, orang yang baru mendapat kabar kakinya harus diamputasi, lagi lupa daratan itu bisa, lagi nangis-nangis itu bisa, lagi ngomong sama Allah dengan bahasa, “Kenapa yaa Rab? Kenapa yaa Rab? Kenapa ya Rab? Kok saya yaa Rabb? Kurang ikhtiar apa saya yaa Rab?

Tapi tidak dengan ulama,
Potong, tapi saya engga mau sedetik pun dibuat lalai oleh Tuhanku.

Kata orang yang menyaksikan, pada saat kakinya dipotong, setiap potongan tidak terlihat sedikit pun raut wajah meringis, protes, merasa kesakitan. Namanya orang sakit itu wajar, meringis juga jika kakinya lagi dipotong juga wajar, tapi dia memilih untuk menghindari kata ah, duh. Tidak mau karena dia merasa setiap apa yang terjadi pasti ada hikmahnya.

Orang yang bercerita tersebut mengatakan,
Semasa hidup saya, saya tidak pernah menyaksikan orang yang lebih sabar daripada beliau. Padahal dalam perjalanan itu dia baru aja kehilangan anak laki-lakinya.
Anak laki-lakinya baru saja tertendang oleh kuda dan wafat di tengah jalan. Dianya harus diamputasi kakinya.

Berapa banyak cerita orang yang hari ini musibah datang bertubi-tubi pada dirinya? Berapa banyak? Mungkin banyak dan mungkin salah seorang di antara itu kita yang ada disini.

Tapi diingatkan oleh Abdullah bin Mubarak,
Kalau ada orang datang musibah kepada dirinya, maka dia dapat satu musibah. Tapi kalau ada orang datang musibah lalu dia lupa untuk bersabar akan musibahnya, maka dia dapat dua musibah.

Kenapa dapat dua?
Karena ketidakrelaannya menerima musibah, dia telah melenyapkan pahala musibah itu sendiri. Tadinya mau dapat pahala dari Allah, mau dimasukkan ke kelompok yang Allah katakan ‘sedikit dari para hamba-hambaku yang pandai bersyukur’, tahu-tahu karena kita bukan memilih sabar, kita bukan memilih ikhlas, kita bukan memilih ridho, tetapi justru kita memilih menentang, ingkar, berontak, maka hakikatnya orang yang sedang ingkar dan berontak itu kata Sayyidina Abdullah bin Mubarak, dia sedang melakukan atau mendapatkan dua musibah sekaligus.

Seseorang berkata,
Kapan kita tahu musibah untuk merontokkan debu atau musibah untuk mengangkat derajat?
Ada musibah yang memang datang untuk melunturkan dosa. Kita banyak salah, Allah mau membuat itu semua terhapus bersih. Tapi ada musibah yang datang bukan lagi tentang dosa, tapi Allah mau mengangkat derajat kita semua. Saat dia mendapat musibah, Allah sedang mau meninggikan surganya. Pada saat datang musibah, Allah sedang mau melipatgandakan pahalanya.

Maka dari itu Sayyidina Ummu Salamah mengatakan,
Saya diajarin sama Rasulullah, kalau kena musibah baca doa

إِنَّا لِلّٰهِ وَإِنَّا إِلَيْهِ رَاجِعُوْنَ اَللّٰهُمَّ أَجِرْنِيْ فِيْ مُصِيْبَتيْ وأَخْلِفْ لِيْ خَيْرًا مِنْهَا

Sesungguhnya kita dari Allah dan kita semua akan kembali kepada Allah. Ya Allah berikan ganjaran pahala atas musibahku ini dan berikan aku ganti yang lebih baik dari yang ada.”

Rasulullah mengajarkanku untuk membaca doa tersebut. Sayyidina Ummu Salamah mengatakan, “Waktu suami saya meninggal dunia, saya baca dan Allah kabulkan doa saya.”

Kenapa beliau katakan dikabulkan?
Karena setelah suamiku meninggal, aku dilamar oleh orang yang lebih baik dari suamiku, yaitu Nabi Muhammad ﷺ.”

Doa ini dikatakan mujarab. Doa itu bisa membuat yang hilang diganti dengan yang jauh lebih baik dari yang ada.

Tapi masalahnya, kita mau mengukur, ujian yang datang karena dosa dengan ujian yang datang karena mau meningkatkan derajat.

Darimana tahunya? dijawab oleh ulama.
Bilamana datang ujian kepada kita, tetapi membuat kita menerima, membuat kita bersyukur, membuat kita ridho, membuat kita lapang, membuat kita ikhlas, maka itu adalah ujian yang meninggikan derajat sekaligus menggugurkan dosa

… tapi jika ujian datang dia tidak marah, tidak ingkar, juga tidak ridho, tidak ikhlas, dia diam saja, ditahan saja dirinya. Bukan kerelaan yang muncul, tapi penerimaan saja. Maka dosanya saja yang diampuni

… tapi jika ada orang dikasih ujian, dikasih musibah, kemudian dia marah, dia ingkar, dia murka, maka ujian itu adalah bencana azab yang Allah kasih kepada dia, lantaran banyaknya kesalahan yang dia perbuat di atas muka bumi ini.

Kita semua sebagai seorang hamba, ingat-ingat nikmat Allah itu bukan sedikit. Karena apa yang Allah ambil dan yang diuji kepada kita, sejatinya yang ditinggalkan jauh lebih banyak untuk kita.

Ada orang dikasih sakit ginjal, geger, dunianya runtuh serasa masa depannya habis, padahal yang diambil baru ginjalnya, yang disisain oleh Allah masih jauh lebih banyak. Ada orang dikasih sakit jantung, jantungnya perlu di ring, jantungnya perlu dioperasi, jantungnya saja, ginjalnya bagus, pankreasnya bagus, semuanya bagus. Maka jika kamu lihat hari ini, dirimu yang sedang diuji, ingat-ingat yang Allah biarkan tak teruji jauh lebih banyak daripada yang diuji.

Maka dengan cara itu, kita semua bisa belajar menjadi hambanya Allah yang bersyukur akan nikmatnya Allah kepada kita, limpahan karunianya Allah kepada kita yang dengannya Allah bisa menempatkan kita ke dalam surganya, memasukkan kita ke dalam kelompok orang-orang yang dicintainya, sehingga dikatakan oleh Nabi Muhammad ﷺ,
Nanti di Padang Mahsyar akan datang seruan, yang mana pintu surga dibuka, satu pintu khusus disiapkan untuk mereka yang dipanggil sama Allah, ‘mana hamba-hambaku yang diuji bukannya menangis, bukannya meringis, bukannya protes tapi justru dia memuji Allah atas ujian yang datang kepadanya. Dia bersyukur kepada Allah atas ujian yang datang kepadanya.‘”

Seorang sahabat Nabi yang paling terakhir wafat. Ditemukan oleh seorang tabi’in, ada di dalam tenda seorang diri dengan sakit yang membuat tangannya sudah tak mampu bergerak, kakinya tak mampu bergerak, tubuhnya tak lagi mampu bergerak, seluruhnya tidak ada lagi yang bisa berfungsi dengan semestinya, kecuali hanya lisannya yang masih lancar berucap. Tapi pada saat ditemukan, lisannya tak putus-putus berucap “Alhamdulillah, alhamdulillah, alhamdulillah..

Sampai ada orang yang bertanya,
Syukur atas apa? tangan sudah engga gerak, kaki sudah engga gerak, semuanya engga bisa diharap. Syukur atas apa? Tinggal sebatang Kara. Syukur atas apa?

Jawaban beliau,
Aku bersyukur kepada Allah atas lisan yang masih diizinkan menyebut dan memuji namaNya.”

Syukur itu karunia, yang tahu terima kasih itu karunia, yang tahu bagaimana cara memuji Allah itu karunia. Maka jika kita diuji oleh Allah tapi lupa memujiNya, maka sebetulnya itu bencana. Datang musibah tapi membuat kita lupa mengagungkan Allah itu musibah. Dikasih sehat, dikasih nikmat lupa memuji Allah, itu musibah yang sesungguhnya.

والله اعلم بالصواب