Tanggal : Senin, 17 April 2023
Kitab : At Tibyan Ep.12 & Nafahat Ramadhaniyah
Karya : Syekh Imam Nawawi
Guru : Ustadzah Aisyah Farid BSA
Tempat : MT Banat Ummul Batul
بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيْمِ
Alhamdulillah dengan karuniaNya yang begitu agung dan begitu besar, kita sampai saat ini masih diperkenankan Allah untuk berkumpul bersama, mengisi waktu kita bersama, tentunya tidak lain tidak bukan, kecuali waktu yang kita isi ini adalah waktu kebaikan. Yang insyaAllah mudah-mudahan sampai penghabisan dari Ramadhan nanti yang kita lalui semua dari waktu-waktu kita itu adalah waktu kebaikan. Tidak ada dari kita yang kita sia-siakan waktu kita, kecuali hanya untuk kebaikan. insyaAllah Amiin Aamiin Ya Rabbal Alaamiin …
Ingin cerita pengalaman beberapa hari yang lalu terbesit di dalam benak saya ingin mengunjungi salah satu pertokoan. Mau beli apa? Ada lah yang mau dibeli. Tapi dari bangun tidur, Subhanallah udah niat mau mengunjungi tempat itu ternyata malah lewat di Instagram saya kebetulan Habib Umar sedang tausyiah minta jauhin pasar, apalagi didalam 10 terakhir ini. Artinya sebisa mungkin bagi orang yang beriman tidak menghambur-hamburkan waktunya, tidak menghabiskan waktunya untuk berlama-lama di pasar.
Setiap orang memiliki banyak kebutuhan, betul. Ibu-ibu pastinya banyak kebutuhan. Yang mau mempersiapkan kebutuhan lebaran, mau masak, mau mencari pakaian, mau mencari kebutuhan lainnya barang kali bukan untuk pribadi, tetapi untuk suami, barangkali untuk anak, untuk cucu, dan lain sebagainya. Namanya manusia.
Tapi satu hal yang perlu kita kembali ingatkan diri kita. Bahwa kalaupun kita harus pergi ke pasar, ke mall, kemana saja, maka jangan sampai waktu kita tersita banyak disana. Jangan sampai kita banyak menghabiskan waktu kita disana. Jangan sampai ibaratnya ketemu dua sholat (dzhuhur-ashar) kita masih ada disana.
Untuk ketemu waktu sholat di waktu siang aja kalau bisa kita gak sampai yang begitu, apalagi kalau itu terjadi di waktu malam.
Alhamdulillah kita sama-sama mengamati diri kita. Mungkin jika kita melihat diri kita 2 tahun yang lalu atau bahkan mungkin tahun yang lalu, kita belum sebegininya menghargai Ramadhan.
Kita mungkin belum sebegininya diberikan sama Allah keistiqomahan sampai saat ini kita masih berada didalam ibadah dalam Ramadhan.
Mungkin jika kita menengok ke beberapa tahun yang lalunya lagi bahkan, mungkin kita masih berada di tahap entah berapa tarawih yang terlewat dari kita, entah berapa kebaikan dari kegiatan-kegiatan kebaikan yang kita tinggalkan selama Ramadhan yang kita lewati, tetapi alhamdulillah wa bil khusus yang istiqomah di majelis ummul batul ini, pasti merasakan Ramadhan tahun ini ada yang beda.
Alhamdulillah dapat kajian ilmu, alhamdulillah kita merasakan tarawihnya dawam, terus istiqomah malam-malam ganjil terus kita jaga, apalagi kita ketemu 10 malam terakhir, kita lebih bisa menghargai karena kita semakin tau nilainya Ramadhan. Itulah perumpamaan orang yang beriman.
Orang yang tidak mengenal nilai suatu hal, tidak akan pernah bisa menghargainya.
Tapi saat dia mengetahui nilainya sesuatu, entah itu Ramadhan, entah itu ibadah, entah itu apapun yang lainnya, maka saat dia mengetahui itu dia akan menjadi orang yang betul-betul menjaga, memelihara, dan dia gak mau ada dari waktunya seolah terbuang sia-sia.
Maka kita ingatkan diri kita. Kalaupun kita harus pergi ke tempat perbelanjaan, maka usahakan tidak ada waktu yang terbuang begitu lama, apalah lagi sampai ketemu 2 sholat. Jangan sampai jalannya (waktu) malam. Ini himbauan saya.
Karena yang namanya yaumul maghfirah atau lailatul maghfirah atau lailatul qadr sekalipun, itu tidak ada siang, adanya malam. Malam-malam pengampunan itu jangan dianggap malamnya aja, tapi kita perlu merasakan bahwa itu terjadi di waktu malam.
Saya pernah mengingatkan, “Bu kalau mau bukber-bukberan, bukbernya di awal aja bu. Jangan sampai bukber di akhir. Kecuali bukbernya di rumah, bukber bareng keluarga. Tapi kalau bukber di luar kadang-kadang kita ini kumpul bareng, tarawih bubar.” Sampai kadang akhirnya gak tarawih karena kelelahan dari ngobrol, kelelahan dari perjalanan yang jauh.
Malam itu diam di rumah, malam itu diam di tempat baik. Yang mau ke masjid ya sudah kerjain rutinan yang seperti itu. Percaya deh, kalau kamu merasa Ramadhan kali ini Ramadhan yang special, maka saya berani jamin harimu ke depan akan jauh lebih special dari harimu yang lalu.
Harimu yang ke depan jika Allah beri kita umur yang panjang, maka akan jauh lebih special dari hari kita yang lalu.
Kenapa? Karena kita bisa merasakan ada yang beda dari Ramadhan tahun lalu.
Yang kedua, yang namanya orang mau lebaran kita biasa pilih baju lebaran, pakai baju lebaran baru. Boleh gak sih ustadzah? Sunnah. Baju lebaran yang baru itu sunnah. Memakai yang baru itu sunnah dengan catatan, bukan dengan memaksa. Ingat, memakai yang baru itu sunnah dengan catatan tidak memaksakan dirinya untuk menggapai yang baru.
Kadang sampai harus maksain orang tua beliin baju sampai orang tuanya kelimpungan, padahal orang tua sendiri pas-pasan. Atau mungkin istri, suami yang thr nya belum turun, jangan galak-galak di rumah. Itu kan juga bukan salah suami kamu, itu dari kantornya, dia sendiri kalau bisa milih dari awal Ramadhan udah turun thr. Atau barangkali yang didapat tidak sesuai dengan yang diharap, kita harus legowo yang ikhlas.
Rasulullah itu memberi sunnah memakai pakaian yang baru agar kita betul-betul merasakan bahwa kita berhasil keluar dari zonanya kita yang selama ini mendidik hawa nafsu kita.
Ini yang disebut ‘faizin’ kemenangan yang sejati. Artinya 1 hari dari hari raya itu kita disuruh bersuka cita, disebut dengan hari eid, hari raya. Kita kembali lagi bergembira, berkumpul bersama.
Tapi diingatkan, untuk mencapai itu semua jangan sampai ada sesuatu yang dilanggar. Jangan sampai istri kurang ajar sama suami, anak kurang ajar sama orang tua, atau tujuan dari kita saling memperbaharui baju untuk ajang pamer kepada sesama.
Baju baru boleh untuk senang karena kita berhasil puasa 1 bulan, kita berhasil melawan dorongan hawa nafsu, tarawih gak ada yang ketinggalan, sholat isya berjamaah, subuh berjamaah, puasa gak ada hambatan, gak sampai ribut sama orang, silaturahmi terjalin.
Alhamdulillah kita merasakan itu semua, tapi begitu kita merias diri, jangan sampai tujuannya untuk kita dilihat oleh orang.
Maka perbaiki niat kita dari sekarang. “saya ingin beli baju baru, tujuannya sunnah.” “aku ingin memakai pakaian baru, semata-mata aku berias karena Allah.” Jadi kita berias bukan karena orang, bukan karena ingin dipuji orang, bukan karena ingin mencari perhatian orang.
Para aulia assolihin, mereka semua kalau dikasih sama Allah bashiroh (mata batin), yang mana mereka bisa tau malam ini malam lailatul qadr misalnya. Maka apa yang terjadi? Maka di malam itu mereka akan berias, mereka akan menggunakan pakaian terbaik yang mereka punya, mereka akan beli baju termahal yang mereka beli. Mereka akan pakai bukan karena ingin berias di mata manusia, tapi mereka ingin berias di mata Allah, Penciptanya yang sedang melihat dia sedang beribadah kepadaNya.
Silahkan kalau mau beli baju untuk lebaran, boleh. Tapi ingat kamu memakai baju itu semua gak ada gunanya kalau sejatinya kamu gak pakai baju taqwa. Allah SWT cuma mengingatkan kita kalau berdandan jangan seperti dandanan orang jahiliyah tul ula (yang berdandan dengan penuh kesombongan, mecoloknya riasan).
Mau berhias? Yang cukup saja, yang pas saja, jangan juga kelebihan. Ingin berpakaian baru? Silahkan, tapi ingat jangan lupa niat. Dibalik pakaianmu itu kamu memakai pakaian baru untuk siapa. Kita tidak mau berniat, kecuali niat kita hanya untuk Allah.
Kemudian pesan saya yang ketiga, mumpung kita masih ada di bulan Ramadhan. Yaitu berniat yang banyak untuk melakukan kebaikan setelah Ramadhan. Kita kan tau puasa Ramadhan itu ibadah wajib berlipat ganda menjadi 70 kali lipat. Adapun ibadah sunnah derajatnya naik menjadi pahala wajib.
Maka anjuran para aulia assolihin, saat kita bertemu dengan bulan Ramadhan, apalagi sudah berada di ujungnya, maka perbanyak niat-niat baik. Ini juga dipesankan oleh Habib Umar.
Diantara niat baik yang perlu juga kamu niatkan, contoh abis ini bulan syawal, mau puasa syawal. Niatnya dari sekarang biar kita dapat pahala yang berlipat tadi. niat apa lagi? Niat setelah ini saya ingin menjadi hamba Allah yang betul taat mengabdi kepadaNya. Niatin segala niat yang baik-baik.
Niat, “Ya Allah aku niat aku ingin menjadi anak yang berbakti sama orang tua dengan sebenar-benarnya bakti kepada mereka.”
Boleh jadi mereka merasakan suatu Ramadhan tanpa adanya anak. Kita pun akan merasakan satu Ramadhan, jika Allah berikan kita umur Panjang, orang tua kita pergi lebih dulu dari kita. Bila masa itu datang, gak ada apa-apa yang bisa kita lakukan, kecuali hanya air mata mengingat mereka.
Maka selagi ada, tekad yang kuat dari hati, saya ingin jadi anak yang bakti, menyenangkan orang tua, bahagiakan orang tua, dengar kata orang tua, bicara lembut sama orang tua, dst.
Kemudian apa lagi? Niat. Saya ingin menjadi istri solehah, yang bakti pada suami, taat pada suami, bisa menerima kekurangan suami, saya ingin benahi rumah tangga saya dengan sebaik-baiknya.
Keluar dari Ramadhan ini saya ingin benahi rumah tangga saya, saya ingin perbaiki muamalah saya sama suami saya.
Diniatkan. Niat ingin memperbaiki hubungan sama suami, ingin memperbaiki hubungan sama orang tua, ingin memperbaiki sama kerabat, saudara.
Kita ini kalau liat orang tua dulu, mereka itu sangat kuat silaturahminya. Rumahnya yang satu di Bekasi, saudaranya yang satu di Tangerang, itu di bela-belain di kunjungi. Bukan cuma dia yang berkunjung. Anak dibawa, cucu dibawa. Kadang-kadang kita gak kenal, tapi kita dikenalin sama dia.
Kadang saya mikir, “ini orang bikin rumah cakep-cakep gak ada yang dateng, gak ada yang nyamper.”
Di bulan Ramadhan ini niatkan ingin memperbaiki hubungan, wa bil khusus hubungan ke saudara.
Kalau diajak keliling, jangan sungkan, jangan manyun, jangan kesel. Saya ingatkan ke istri-istri yang diajak silaturahmi ke keluarga suami.
Ibu harus ingat satu hal. Rasulullah SAW itu dulu senang menyambung silaturahmi dengan sahabatnya Khadijah. Jadi kalau ibu kesal diajak silaturahmi ke saudara suami, ingat saja Rasulullah SAW dulu senang melakukan silaturahmi.
Kamu sudah menikah, prioritasmu sudah tau harus kemana. Nanti juga akan dapat gilirannya kamu silaturahmi ke keluarga kamu.
Kuncinya satu, jangan mudah merasa lelah.
Ingat, silaturahmi memanjangkan umur.
Ibu kalau sudah mengerti prioritas utama, maka akan mengurangi keributan di rumah tangga. Kalau ibu gak paham prioritas, ibu akan ribut terus.
Setelah kita ingin memperbaiki hubungan kita dengan keluarga, kita ingin memperbaiki hubungan juga dengan teman kita.
Jangan gampang bicara, “kita ga perlu kenal sama keluarga.” . siapa bilang? Bahkan dalam urutan memberi bantuan saja, Rasulullah nyuruh kita dahulukan keluarga.
Makanya ada orang yang suka bicara, “ini orang repot-repot bantu sana sini, nolong orang sana sini, punya keluarga susah aja gak ditolong.”
Kenapa ada statement begitu? Karena ada orang yang susah di kalangan mereka, merasa punya ke keluarga, tapi gak pernah memberi kontribusi apapun. Tapi, boleh jadi orang yang punya nih gatau kalau ada keluarga yang kesusahan.
Makanya ghorobah itu penting. Kenapa? Karena ada ikatan yang lebih dekat daripada ikatan sesama muslim.
Orang sekarang ini berteman tujuannya apa ya?
Saya ingat, dulu saya kalau lebaran mudik ke Palembang. Tiba-tiba jiddah saya bicara begini, “nanti temenin ibu (jiddah) kesana, ke langgar (nama daerah), nanti temenin.” Lalu saya jawab, “oh iya siap bu.”.
Jalan lah kita setelah sholat. Ternyata bukan ke rumah saudara, tapi ke rumah temannya. Dia ketemu, bercanda, ngobrol sampai jam stengah 6. Itu orang tua begitu bisa nyamper teman, silaturahmi sampai segitunya.
Jaman sekarang, kita broadcast udah, dikabari masuk rumah sakit udah, dikabari keluar dari rumah sakit udah, tapi nyamper mah kaga. Liat muamalah kita.
Ini ukhuwah perlu dibenahi. Makanya niat dari sekarang bulan Ramadhan ini, niat untuk silaturahmi.
Silaturahmi ini kalau ditinggalkan, bagaimana nasib anak kita? Mereka hanya akan menjadi generasi yang tau temannya itu di cafe saja. Ukhuwah apa itu? Yang ketemu hanya di cafe saja?
“Ustadzah itu zamannya, memang begitu adanya”. Iya tapi kamu gak sadar ada yang hilang. Kamu kehilangan ikatan batin antara sesama.
Makanya dari itu semua, mudah orang membenci, mudah orang kecewa, mudah orang mendendam, mudah orang panas, mudah orang kesal, karena apa? tidak punya ikatan batin. Berteman itu asasnya hanya karena satu moment (arisan, pengajian, kenalan), tapi tidak ada yang menjalani pakai hati.
Kita mau berteman yang gimana? Mau dikenang hanya di dunia? Terus kalau kita udah di barzakh, siapa yang mau nolong kita? Kalau kamu anggap ukhuwah pakai hati itu gak penting, maka kamu salah besar.
Karena kalau kamu pikir hubungan itu terjalin hanya dengan ‘say hello’ dalam whatsapp, ‘hai’ dalam ketemu, hati gak perlu dilibatkan, maka kamu salah besar.
Kamu tau yang menulis maulid ad diba’i, beliau dalam doanya memohon, “Ya Rabb, kami punya teman, kami punya kerabat, yang mana tahun lalu hadir, tapi tahun ini dia tidak bisa hadir. Entah mereka punya halangan karena mereka tidak bisa sampai atau mereka lebih dulu pergi. Maka tolong Ya Rabb jangan kau halangi pahala yang kau berikan untuk kami hari ini, kecuali kau berikan juga untuk mereka.”
Ini jalinan hubungan semacam apa? Kamu gak pengen diingat sama orang yang kamu hidup di masa itu sampai kamu tiada, berpuluh-puluh tahun ke depan, tapi kamu masih diingat, kamu masih dikenang, bukan hanya untuk dikenang atau diceritakan pada siapa, tapi kamu dikenang untuk diberi doa.
Tradisi hampers bagus. Jikalau semua orang yang mengirim hampers itu didasari dengan cinta, demi Allah indah betul islam. Maka kalian sudah menjalani betul seperti apa yang Rasulullah perintahkan pada kalian.
Libatkan hatimu dalam memberi, libatkan hatimu saat menjalin hubungan dengan teman, libatkan hatimu saat kamu berhubungan dengan semua insan, libatkan.
Karena saat kamu melibatkan hatimu, maka yang kamu jalani itu tulus dari hati. Jika sudah tulus dari hati, maka kamu akan lebih dikenal sampai mati, bahkan setelah mati.
Kenapa kita menjalin pertemanan harus pakai hati? Karena jackpot.
Kamu di padang mahsyar akan dikumpulkan sama Allah. Ada orang-orang yang dapat mimbar yang terbuat dari cahaya. Mereka ditempatkan di tempat yang begitu indah. Tapi itu bukan untuk semua orang. Itu hanya Allah beri untuk orang yang saling mencintai karena Allah, saling berkasih sayang karena Allah, berteman karena Allah, menjalin hubungan karena Allah. Mereka dapat mimbar-mimbar dari cahaya di akhirat, di padang mahsyar. Itu sudah bisa dibilang jackpotnya.
Begitu datang waktu dimana kamu sedang kelimpungan meminta pertolongan, teman-temanmu yang mereka itu dalam pertemanannya melibatkan hati, mereka bilang ke Allah, “Ya Rabb jangan kau jebloskan dia ke neraka. Karena dulu saya menjadi saksi dia adalah temanku. Dulu dia sholat di sebelahku, dulu aku ngaji bersama dia.”
Akan ada teman-teman disekitarmu yang menjadi saksi baik atas perbuatanmu yang Allah akan benarkan saksinya dan menarik posisimu dalam keadaan baik. Dia yang posisinya di surga, kamu yang tadinya dijebloskan ke neraka, lalu diselamatkan karena adanya temanmu yang melibatkan hubungan dengan hati.
Siapa yang ingin hidup dengan kesombongan, ketidakpedulian, keacuhan orang di zaman sekarang? Kamu kira itu keberuntungan? Enak ya jaman sekarang, gak perlu ketemu, cukup kirim-kiriman maka itu sudah menjalin silaturahmi.
Yang namanya hati itu kalau sudah terikat, gak akan merasa cukup dengan kiriman yang sampai pada yang dicinta. Dia ingin betul-betul dirinya yang sampai pada yang dicinta.
Mereka tidak menanti kirimannya, tapi mereka menanti kedatangannya.
Niat dari sekarang, perbaiki hubungan dengan Allah, dengan Rasul, dengan orang tua, dengan keluarga, dengan saudara, dengan teman.
Semoga Allah mudahkan kita untuk kita menjalankan niat-niat kita semua.
Niat segala kebaikan yang bisa kita niatkan selama di bulan Ramadhan agar kita mendapatkan kelipatgandaan pahala yang Allah suguhkan kepada kita di bulan Ramadhan ini.
Mudah-mudahan ini bukan Ramadhan yang terakhir bagi kita. Dan jika ini Ramadhan yang terakhir, mudah-mudahan Allah tidak halangi kita dari semua kebaikan dan keberkahan yang Allah berikan di Ramadhan tahun ini.
Aamiin Ya Rabbal Alaamiin …
*Pembahasan Kitab At Tibyan*
Kita masuk pada tahapan selanjutnya, yaitu ilmu yang diiringi dengan amal.
Kalau kemarin kita bahas pentingnya kita mengawali baik itu kita belajar atau mengajar, yaitu dengan niat yang benar-benar tulus, sungguh-sungguh, semata-mata hanya mengharap Allah SWT.
Memang sudah sepatutnya setiap dari kita yang belajar, kita itu harus mengiringi semua dari yang kita ketahui dengan amal. Kita bukan hanya belajar untuk tau, tapi kita belajar untuk benar-benar bisa kita terapkan dalam hidup kita.
Orang-orang di Jepang, mereka diajarkan bagaimana mereka menghadapi kalau datang gempa bumi. Bahkan anak-anak TK diajari. Gempanya belum datang, tapi mereka dibuatkan simulasi gempa. Anak-anak kecil walaupun mereka belum ketemu sama gempa, tapi mereka sudah tau kalau gempa harus gimana. Walau bangunan di jepang dibangun dengan struktur bangunan anti gempa semua, tapi ilmu yang diajari dari kecil bukan hanya ilmu untuk mereka ketahui, tapi untuk mereka terapkan disaat mereka membutuhkannya.
Tidak ada orang belajar itu, ya cuma belajar. Jadi sejatinya kalau ditanya, kita belajar buat apa? Buat amal. Pelajaran yang kita pelajari itu untuk amal.
Kapan mengamalkannya? Di setiap kondisi dan situasi tertentu yang terjadi dalam hidup.
Tadi anak Jepang belajar simulasi gempa. Kapan dia terapkan ilmu itu? Ya kalau ada gempa.
Misal, ada orang diajak pengajian. Alasannya belum bisa, gak sempat, ibaratnya gak punya waktu. Diajak kebaikan dia menolak karena dirinya merasa belum butuh. Karena dia menganggap saat ini dirinya baik-baik saja. Memang kita gak butuh, ilmunya gak dipakai saat itu juga. Tapi sewaktu-waktu bila terjadi sesuatu dalam hidupmu, kamu sudah punya ilmunya untuk menyelamatkan dirimu.
Orang sekarang banyak menganggap belajar ilmu agama begini tidak penting, hadir kajian begini tidak penting, karena mereka masih menganggap mereka baik-baik saja.
Tidak ada sesuatu yang mengharuskannya ingat Allah, tidak ada sesuatu yang mengharuskan mereka dari sadarnya ingat Allah, karena mereka betul-betul dalam kenikmatan. Sehingga mereka menganggap dirinya tidak harus ikut, padahal tanda-tandanya banyak, gejalanya banyak, tapi mereka belum juga mau belajar.
Yang ditakutkan itu bukan gempa-gempa kecil, tapi yang ditakutkan itu gempa yang datang dengan skala richter tinggi yang umumnya menghancurkan segala sesuatu yang ada di bumi.
Yang ditakutkan itu kalau kamu tidak bekali diri dari sekarang, saat datang hantaman besar dalam hidupmu, kamu bukannya survive, tapi kamu jatuh, hancur lebur, dan kamu tidak bisa survive. Kenapa? Karena kamu tidak ada bekal untuk hantaman itu.
Seorang murid, dia harus sangat hati-hati dalam niat untuk belajar. Dan hati-hati jika niat seorang guru yang mengajar dengan tujuan memiliki murid yang banyak.
Kita sebagai murid harus hati-hati. Kalau kita ketemu guru yang hanya peduli dengan banyaknya murid, maka kamu gak dapat guru.
Guru yang benar itu, bagaimana murid yang ada bisa berhasil menjadi seorang murid lalu dia bisa berjalan dengan ilmunya.
Kita liat orang tua. Kenapa banyak orang tua yang pusing punya 1 anak? Karena orang tua bukan mikir punya untuk sekarang saja, tapi mikir ke depannya. Biasanya orang tua yang banyak pemikiran itu orang tua yang ingin menjadikan seorang ‘anak’ , bukan sekedar punya anak. Pertimbangan dia bukan banyaknya anak, tapi bagaimana anaknya ‘jadi’.
Saya datang ke paman saya, “kenapa daar inat gak banyak muridnya?”. Jawaban paman saya (Habib Nagib), “saya gak mencari murid, tapi saya ingin mencetak seorang murid.”
Menempa murid itu butuh ketekunan yang luar biasa.
Saat kita belajar menuntun ilmu, kalau kamu orientasinya betul belajar , maka jangan hanya cari yang kapasitasnya besar.
Kamu saat ingin belajar jangan cari “oh ini guru, muridnya banyak, pasti enak.” Itu sudah salah.
Kalau orang benar ingin menjadi murid, yang dikejar itu nasehatnya. Ilmu yang ada. Karena yang dia butuh itu mengamalkan ilmu dari guru.
Biasanya ciri-ciri guru yang orientasinya memperbanyak murid, dia bukan fokus pada murid. Tapi dia sering kali merasa marah, menyindir, menyinggung orang-orang yang pergi belajar ke selain daripada dia.
Kalau guru benar, dia gak akan menyinggung. Murid mau datang, ya sudah. Tidak datang, ya sudah. Dia ingin belajar benar, silahkan. Dia tidak mau belajar, tidak apa-apa.
Orientasi seorang yang mengajar yaitu menyampaikan yang perlu disampaikan dengan niat ingin sama-sama membawa perubahan.
Kita juga disuruh menjaga diri kita. Orang yang mengajak orang lain pada kebaikan, jangan orientasinya memperbanyak lingkup saja.
Jika kamu guru, kalau muridmu mau ngaji dimana, di apa, mau apa, itu terserah.
Jika kamu baginya layak untuk diutamakan, untuk didahulukan, untuk diprioritaskan, maka itu adalah keputusan mutlak dari mereka.
Kalau kita sebagai murid ketemu sama guru yang orientasinya memperbanyak murid, maka kamu harus menjaga diri.
Yang ditekankan pengajar bukan tentang muridnya sekian, tapi tentang kepada manfaatnya.
Dari Abi Muhammad Ad Darawi, Sayyidina Ali bin Abi Thalib berkata : “Wahai yang membawa Al Qur’an (bertanggung jawab membawa ilmu), kalau kamu adalah pembawa ilmu, maka jangan hanya bawa, tapi amalkan.”
Qur’an yang kamu hafal, harus diamalkan. Ilmu yang kamu miliki, harus diamalkan. Jangan hanya bawa al qur’an atau ilmu, tapi tidak diamalkan. Bukan hanya sebagai pengajar, tapi juga pengamal.
Sayyidina Ali bin Abi Thalib melanjutkan , “seorang yang berilmu, jikalau dia beramal dari ilmunya, maka Allah akan berikan dia keutuhan dalam amalnya. Allah akan beri dia kemudahan dalam menggapai amal dengan ilmunya”.
Terkadang lucu ketika orang yang tau ilmu tapi enggan kalau diajak mengamalkan ilmu.
Ketika orang yang sudah tau ilmu, sudah punya ilmu, dan dia berniat untuk mengamalkan ilmunya, maka Allah akan beri dia kemudahan untuk mengamalkannya.
Kalau dengar satu amalan, jangan mudah menolak amalan itu dengan langsung.
Akan datang suatu masa pada suatu kaum dimana ilmu mereka itu hanya sampai tenggorokan. Mereka tidak benar-benar menelan ilmunya, ilmunya hanya nyangkut di kerongkongan saja.
Mungkin hafalan qur’annya banyak, hadits yang disampaikan banyak, tapi kalau tidak diamalkan? Ilmu itu hanya sampai tenggorokan saja.
Mohon maaf, kenapa sekarang banyak orang tua yang sama anaknya itu tidak akur? Karena banyak perintah orang tua yang diperintahkan kepada anak, tetapi perbuatan dia menyalahi perintahnya.
Contoh : ibu ngomong, “kamu main hp jangan sering-sering, jangan lama-lama.” . saat orang tua memberikan satu arahan, tetapi anakmu jauh lebih cerdik dari kamu. Dia akan lihat kamu. Apakah yang kamu perintahkan itu sesuai dengan yang kamu lakukan?
Banyak terjadi anak yang bertolak belakang dengan perintah orang tua itu karena apa yang diperintahkan orang tua tidak sesuai dengan yang orang tua lakukan.
Kalau ada anak yang bandel, tidak nurut, pembangkang, bicaranya kasar, itu yang harus dibenahi bukan anaknya dulu. Tapi orang tuanya dulu. Karena anak yang begitu pemicunya pasti ada sesuatu. Pemicunya adalah dia tidak mendapatkan panutan yang benar dari sosok orang tua.
Yang dicari sama anak itu panutan, contoh.
Ibu dijadikan madrasah karena biasanya ibu mampu memanage, sementara ayah itu menjadi panutan/contoh.
Ada seorang ilmuwan berkata, “anak itu paling banyak menuruni genetik ayahnya.”
Kalau ayahnya gemuk, umumnya nanti anaknya juga gemuk. Kalau ayahnya botak, nanti anaknya di usia berapa juga botak. Kalau ayahnya malas, anak juga berpotensi malas. Kalau ayahnya pemarah, anaknya juga punya potensi pemarah.
Pada saat saya baca, ini kan baru bicara buruknya saja. Berarti kalau ayahnya punya sifat baik semua, berarti potensi anak untuk menuruni sifat-sifat itu juga jauh lebih banyak. Karena garis keturunan kan dari bapak.
Peran ibu disini penting. Misal, ayahnya tempramen. Yang bisa mengarahkan anaknya, yang bisa tidak berkata jelek tentang ayahnya ke anaknya siapa? Ya ibu.
Ibu harus bisa mengarahkan marahnya ayah ini untuk hal yang benar, bukan untuk dicontoh.
Tempat sekolah anak : ibu. Tapi tempat yang dicontoh/ditonton anak : bapak.
Saat anak tidak mendapatkan sosok bapak, bapaknya tidak ada, maka ibu menjadi sasaran utama.
Saat ibu ingin anaknya benar, maka sebelum itu ibu harus benahi diri dulu. Saat dia mendapatkan contoh baik dari ibu, walaupun dia tidak dapat dari si bapak, tapi dia akan jalani semua wejangan ibu.
Tempat belajar itu ibu. Tapi bahayanya bapak punya peran yang akan mengantar anak baik selamat atau tidak, itu ada di bapak.
Kadang kasian, ibunya gimana, bapaknya gimana, tapi anaknya dicita-citain tinggi biar jadi gimana. Berharap tinggi anak akan seperti apa, tapi ibu bapaknya tidak bisa menjadi panutan untuk mencetak anak yang diharapkan.
Kalau ibu sholat, bapaknya tidak sholat. Maka anak liat bapaknya tidak sholat, ya anak ikut bapaknya. Dia cari sosok bapaknya, karena itu contoh dia.
Maka suatu saat akan ada anak yang berkata, “Ngapain saya sholat? Bapak aja gak sholat. Yang bertanggung jawab atas diri saya aja, gak peduliin saya sama sekali.”
Jangan sampai anak kamu menemukan sisi kamu yang berbeda. Di depan orang baik, di dalam rumah kamu punya sisi lain. Makanya banyak anak-anak yang di dalam rumah nurut, manis, baik, tapi diluar rumah punya banyak kasus.
Pada saat kamu bersikap tidak baik ke orang di belakang orang tersebut, maka anak kamu akan mudah berkata, “mendingan aku ma gak pura-pura baik di depan orang. Aku mah orangnya gak munafik.” Karena dia menemukan sikap berbeda dari kamu.
Semua yang kita lakukan itu harus dijaga, harus diperhatikan. Jangan sampai kita sebagai panutan malah tidak bisa menjadi panutan.
Hakikatnya ibu yang baik, saat ada sikap baik yang terlihat dari anaknya, dia merasa berhasil, bukan malu bukan kecewa. Karena sejatinya ibu itu sudah tidak lagi di fase mempertanyakan sikap anak terhadapnya.
Kebaikan-kebaikan yang kamu liat dari anakmu itu harusnya membuatmu bangga.
Harun Ar Rasyid diaduin sama orang, “Harun, ente kan raja. Anak ente ane liat sekarang lagi nyuci piring, bahkan lebih parahnya ane liat anak ente nyuci kaki gurunya.”
Harun Ar Rasyid belagak kaget, “oh ya? Siapa guru yang anak saya cuci kakinya?”
Kata yang ngadu, “fulan (disebut namanya)”
Harun Ar Rasyid, “sini anter ane ke rumah syekh (fulan)”
Datang Harun Ar Rasyid ketemu sama syekh nya, “Ya Syekh, mabruk ente berhasil didik anak ane. Ente dicuci kakinya sama anak ane, kaki yang mana?”
Syekh, “kaki yang ini (nunjuk kanan)”
Harun Ar Rasyid, “besok suruh cuci kaki ente yang kiri. Berarti ane berhasil taro anak ane disini, berarti ane gak sia-sia taro anak ane disini. Ente berhasil didik anak ane menjadi anak yang tawadhu, bukan jadi anak yang sombong yang menjadi putra Harun Ar Rasyid.”
Sayyidina Ali bin Abi Thalib mengajarkan kita untuk jangan menjadi orang yang gampang terpengaruh, apalagi terpancing emosi saat kita mendengar ada anak didik kita duduk dengan siapa, dia berbuat baik dengan siapa, biarkan. Yang penting adalah urusan kita dalam mendidik anak terkait hubungan kita dengan Allah SWT.
والله اعلم بالصواب