Tanggal : Selasa, 11 April 2023
Kitab : At Tibyan Ep.9 & Nafahat Ramadhaniyah
Karya : Syekh Imam Nawawi
Guru : Ustadzah Aisyah Farid BSA
Tempat : MT Banat Ummul Batul
بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيْمِ
Semakin dekatnya kita pada penghabisan bulan ramadhan ini, semoga Allah SWT semakin menguatkan semangat kita, menguatkan iman kita, menguatkan ibadah kita, menguatkan niat kita agar kita bisa benar-benar menjadikan akhir puasa kita ini menjadi puasa yang tidak bisa kita lupakan bersama dan puasa yang memang kita lakukan secara totalitas.
Nabi mengajarkan kepada kita, kalau ibadah jangan dianggap remeh kalau esok akan selalu ada kesempatan untuk mengulang. Ketika kita beribadah atau berbuat baik, janganlah kita merasa bahwa besok masih ada kesempatan untuk melakukannya lagi. Karena mungkin di antara kita ada yang tidak akan bertemu lagi dengan bulan Ramadhan tahun depan. Namun, kita berharap agar Allah memberikan umur yang panjang dan kesehatan yang baik kepada kita sehingga kita dapat bertemu dengan Ramadhan demi Ramadhan. Aamiin Ya Rabbal ‘Alamiin …
Kita tau bahwa yang namanya kematian itu adalah hal yang misteri, maka alangkah baiknya kita menjadi orang yang cerdas seperti orang yang sedia payung sebelum hujan. Hujannya belum ada, mendungnya tidak, tapi kita selalu nyiapin payung. Karena nanti begitu hujan, kita sudah siap.
Begitu juga perumpamaan yang selalu diberikan oleh para Ulama. Mereka itu begitu sangat gigih dalam ibadah sehingga mereka tidak mau ibadah mereka itu menjadi ibadah yang lewat begitu saja, tapi mereka mau mengerjakan ibadah itu dengan totalitas, mereka mau mengerjakan ibadah itu seolah esok tidak ada lagi kesempatan, mereka sudah melakukan semaksimal mungkin yang mereka bisa lakukan.
Nabi SAW bersabda, “Shollu sholatu muwadda” Artinya, “sholatlah kamu seperti orang yang sholat terakhir (sholat perpisahan)”.
Kalau mau penghabisan Ramadhan, qasidah apa yang biasa kita nyanyikan ? “Muwadda’ Muwadda’ Ya Ramadhan.” Gitu kan? Apa arti muwadda’? itu ucapan perpisahan “selamat tinggal”.
Kalau ketemu sholat dzuhur, anggap ini sholat dzuhur terakhir. Kalau ketemu ashar, anggap ini sholat ashar terakhir. Kalau ketemu maghrib, ini sholat maghrib terakhir. Begitu juga kita masih dikasih kesempatan puasa, anggap ini puasa terakhir seperti kita tidak ketemu lagi sama puasa besok. Buat apa? Buat kita benar-benar bisa menjaga, benar-benar kualitasnya bisa terjaga, totalitas.
Begitu juga tarawih, bisa jadi ini tarawih terakhir. Jadi istilahnya kalau datang malasnya jadi akan berpikir, “ayo kapan lagi“. Kalau ini tarawih terakhir, sayang tidak? Jangan sampai kita melewatinya begitu saja atau kita tidak mengerjakannya padahal kesempatannya ada tapi kita lewati begitu saja.
Kita pecut diri kita, kita paksa diri kita untuk menjalani dan kita totalitas dalam menjalankannya. Nah nanti inilah wajahnya para orang solihin saat mereka meninggal dunia. Mereka tidak menjadi orang yang menyesal. mereka tidak minta sama Allah dibalikin lagi ke bumi, justru mereka menanti perjumpaan itu.
Tapi Adapun orang-orang fasik, munafik apalagi orang kafir, kalau kita amatin di Al Qur’an, pada saat mereka diambil nyawanya sama Allah, mereka minta dikembalikan ke bumi. Bukan untuk berpisah dengan yang dicinta, tetapi justru agar bisa beramal soleh dari amal-amal yang ditinggalkan. Itu bentuk penyesalan karena kesempatannya ada, tapi tidak dilakukan. Inilah orang-orang yang rugi.
Kita selagi masih dikasih kesempatan sama Allah SWT punya waktu, puasa sekarang, maksimalkan puasa kita. Punya waktu untuk tarawih, baca Qur’an, sedekah, berbuat baik selama bulan ramadhan ini, kita lakukan. Apapun kesempatannya itu, kita lakukan.
Nabi menyuruh kita menjaga 5, sebelum 5 datang. Diantaranya yaitu
- Jaga masa sehatmu sebelum sakitmu tiba.
Tiap orang pasti pernah sakit, tapi kadar sakitnya beda-beda. Saat sakit itu datang biasanya terhalang dengan aktivitas. Umumnya sakit itu menghalangi kita dari aktivitas. Pada saat itu datang, apa yang bisa kita lakukan? Tidak ada. Kecuali menerima. Menentang tidak ada hasil, yang ada dosa. Pada saat kita menerima, pahala kita besar, Allah angkat derajat kita, Allah hapus dosa kita, tetapi ada sesuatu yang hilang dari kita. Contoh biasa hadir majelis, jadi tidak hadir majelis. Biasa dengan kebersamaan, ini sendirian di rumah.
Orang yang biasanya melakukan kebaikan terus menerus saja, saat datang halangan mereka menyesali waktunya yang hilang begitu saja darinya. Bagaimana kiranya dengan orang yang tidak pernah memaksimalkan kesempatan? Orang yang selalu mengabaikan kesempatan? Orang yang selalu menghamburkan kesempatannya? Bagaimana rasa mereka jika tau kesempatan itu sirna? Penyesalan apa yang akan mereka rasa?
Allah memberikan perumpamaan bagi mereka orang-orang yang punya kesempatan tapi mengabaikan kesempatan itu, mereka menyesal di akhirat.
Hari dimana orang yang dzolim pada dirinya sendiri, di akhirat nanti mereka akan gigit tangannya sendiri dari bentuk penyesalan mereka.
Imam Mutawalli Asy Sya’rowi pernah berdoa, “Ya Allah jangan buat akal pikiran saya sibuk dengan sesuatu yang membuat saya jadi gelisah. Ya allah jangan sibukkan hati saya menyayangi orang yang tidak punya cinta untuk saya. Ya Allah jangan sibukkan waktu saya untuk sesuatu yang tidak berguna. Ya Allah selalulah ada untukku, selalulah Engkau bersamaku Ya Rabb, dan jadikanlah diriku ini sosok yang kuat karenamu Ya Allah.”
Terkadang otak orang-orang ini kalau dia terus-terusan gunakan akalnya untuk mikir, tapi disibukkan sama sesuatu yang tidak berguna, maka sia-sia. Khawatirnya sia-sia, mikirnya kejauhan.
Banyak orang zaman sekarang yang sibuk dengan pikiran mereka sendiri, bukan sibuk dengan amal perbuatan. Mereka ragu-ragu terhadap kekuatan Allah yang Maha Mengatur segala sesuatu. Mereka merasa bahwa jika bukan karena usaha mereka sendiri, maka segalanya tidak akan berjalan dengan baik. Ini adalah salah satu ciri orang yang perfeksionis..
Ada orang jatuh cinta sama orang, siang malam mikirin dia saja, hatinya sama dia mulu, tapi sayang punya disayang, cintanya bertepuk sebelah tangan. Hatta senyuman dia tidak dapat dari yang dia cintai. Kata Imam Sya’rowi, “jangan bikin hati saya jatuh cinta dengan seseorang yang tidak punya cinta yang sama dengan saya“.
Kata Imam Al Ghazali, “Suatu kebodohan saat kamu tau orang itu tidak menyukai dan tidak mencintaimu, tapi kamu masih tetap mengharap cinta darinya. Suatu kegilaan saat kamu mengejar orang yang tidak menghargaimu.”
Orang tidak mencintai kamu seperti kamu mencintainya, itu adalah bentuk kebodohan seseorang. Orang tidak menghargai kamu tapi masih kamu kejar, bahkan kamu setengah “dilepeh” sama dia tapi tetap kamu kejar, itu adalah bentuk gila seseorang.
Dalam menjawab permintaan Anda, saya akan memberikan perbaikan pada kalimat tersebut:
“Bodoh, mengejar seseorang yang tidak merasakan cinta yang sama. Gila, mencari perhatian dari orang yang tidak menghargaimu namun kamu tetap berusaha. Apa yang akan kamu dapatkan darinya?”
Kadang kita berdo’a minta hajat kita. Tapi orang soleh tidak begitu. Bahkan me manage dirinya pun dia minta sama Allah.
Mintalah sama Allah, walau sekedar garam untuk di rumah. Jangan minta sama orang. Mintalah sama Allah, walau sekedar sandal putus. Karena minta ke orang hanya bisa kecewa saja.
Orang yang kuat itu tidak ada gelisah dalam pikirannya, tidak ada kecewa dalam hati, dan tidak ada waktu yang terbuang sia-sia.
Inilah kita yang sedang menyibukkan diri kita dengan kebaikan. Kalau ditanya, apa yang dicari? Kita ingin isi waktu kita untuk sesuatu yang tidak sia-sia.
Mengisi waktu kita untuk sesuatu yang tidak berguna itu mudah. Kamu duduk saja di rumah bengong, waktu itu sudah terbuang sia-sia. kamu hidupkan tv, duduk, nonton, waktu kamu sudah terbuang sia-sia. kamu duduk pantengin saja hp berjam-jam, umumnya waktu itu sudah terbuang sia-sia. Tetapi untuk membuat waktumu tak sia-sia, kau butuh sesuatu yang lebih. kamu harus berjuang, ada yang harus kamu lawan, yaitu hawa nafsu.
Mudah-mudahan Allah berikan kita kesempatan agar kita selalu bisa memenuhi waktu-waktu kita dalam kebaikan.
*Pembahasan Kitab At Tibyan*
Adab Pengajar dan Pelajar Al Qur’an
Imam Al Bushiri r.a beliau menerangkan tentang tulus atau ikhlas.
Hal yang paling utama dari suatu kebenaran, dari suatu kesungguhan, dari suatu ketulusan, apa itu? Kesetaraan yang tersembunyi ataupun yang nampak.
Jadi kalau kamu tanya, yang disebut dengan tulus sebenar-benarnya apa? Luar dalam, yang keliatan atau yang tidak keliatan tuh sama.
Jangan kamu di depan orang keliatan baik, tapi ternyata di dalam punya unek-unek lain. Atau saat kamu mengerjakan suatu amal, kamu terlihat semangat, tapi ternyata di dalam terbebani.
Nah ada hal unik. Banyak orang menganggap keberatan amal itu membuat kita depresi, kebanyakan wirid bikin kita depresi, katanya tidak kuat. Pasti ada yang bicara begitu. Saya katakan sekali lagi, tidak ada wirid yang membuat orang depresi, tidak ada.
Tidak ada amalan dari amal baik yang membuat orang depresi atau stress. Jikalau ada amalan yang kamu amalkan ternyata amalan itu terkesan membebanimu, itu yang terbebani adalah dirimu bukan amalannya.
Baik, berikut perbaikan untuk kalimat yang Anda berikan:
Misalnya, kamu diberi amalan. Secara umum, dikatakan bahwa wirid sakran seringkali membuat orang yang membacanya menjadi tidak kuat. Saya tidak tahu siapa yang memulai pandangan ini. Namun, hingga saat ini, saya belum pernah mendengar dari guru-guru saya bahwa membaca wirid sakran akan membuat seseorang menjadi kuat atau tidak kuat. Hal itu tidak ada dalam ajaran. Yang penting adalah membacanya saja.
Apa dasarnya amalan membuat orang menjadi gila? Dimana dasarnya? Apakah ada hadits Nabi yang mengatakan, “Barang siapa dari kamu yang kebanyakan sholat nanti gila.” Ada tidak? Tidak ada. Justru yang kita dapat malah sebaliknya. Firman Allah SWT, “Dengan mengingat Allah hati menjadi tenang.”
Jika ada amalan yang kita jalani namun malah membuat kita tidak tenang, bahkan menyebabkan depresi, maka itulah yang salah dari diri kita.
Dimana letak kesalahannya, Ustadzah? Kesalahan terletak pada apa yang saya sebutkan sebelumnya, yaitu ketika kita rajin dalam wirid tetapi hati kita merasa terpaksa melakukannya. Sehingga kita tidak merasakan kesenangan. Oleh karena itu, para ulama telah menekankan bahwa Nabi SAW bersabda, “Allah tidak pernah bosan denganmu sampai kamu yang bosan dengan Allah.”
Coba pahami haditsnya, “Allah tidak pernah jenuh kepadamu, sampai kamu jenuh kepadaNya.”
Artinya tidak ada amalan yang membuat Allah jenuh sama kamu, bikin kamu jadi orang tidak benar. Yang ada sampai kamu yang jenuh sama Allah.
Artinya, jika amalan tersebut tidak bersumber dari hati Anda, Anda akan merasa tertekan saat melakukannya, seperti orang yang baru mulai ngaji. Anda akan sering bertanya-tanya, “Ini jam berapa?” “Kapan selesai?” “Kenapa harus begini?” Karena mereka belum mengalami proses belajar dengan penuh keikhlasan. Apa yang memicu semua ini? Hal tersebut disebabkan oleh dorongan hawa nafsu. Perang batin nya itu sama hawa nafsu
Kalau kamu ingin memahami arti ketulusan yang sesungguhnya, ketulusan itu yang terlihat ataupun yang tidak, yang nampak dari wujudmu ataupun yang terselubung di dalam hatimu, itu semua sama.
Saat kamu menyapa orang dan sapaan itu keluar dari hatimu, maka kamu akan enjoy menyapanya, penuh suka cita. Kamu tidak akan terbebani menyapa dia.
Satu sajadah itu cukup luas untuk di duduki 2 orang yang saling jatuh cinta. Tapi, dunia seisinya terasa sempit untuk 2 orang yang saling membenci.
Ini ukuran hati. Hati yang luas, membuat apapun menjadi luas.
Orang yang tulus, saat mengerjakan amal ibadahnya diiringi dengan hatinya, lalu menjelma dalam wujud perilakunya, maka disitu akan terlihat tulus dari perbuatannya. tidak ada tekanan apapun dalam dirinya.
Begitu juga dengan amalan, dzikir, wirid, dan ibadah. Jika seseorang melakukannya dengan tulus dari hati, karena benar-benar ingin melakukannya, maka tidak akan ada tekanan.
Kita sedang belajar makna tulus, kita sedang belajar makna ikhlas, maka kita belajar tiap kali kita melakukan suatu kebaikan, yang tertutup dan yang terlihat harus sama.
Saat senyum, bukan hanya muka yang tersenyum, tapi juga hati. Saat kita sholat bukan hanya wujud dzohir kita yang takbir, yang rukuk, yang sujud, tapi juga melibatkan hati juga. Maka saat kita beribadah ternyata porsinya lebih banyak daripada biasanya, kita tidak akan menggerutu.
Harusnya orang beriman saat dia mendapatkan jatah lebih dari kebaikan, itu bukan sesuatu yang dibicarakan olehnya. Saat kita diberi satu kebaikan, makin banyak diberi, harusnya kita makin senang. Begitu juga tolak ukurnya dalam taat.
Orang yang sungguh-sungguh, adalah mereka yang tidak terpengaruh oleh pendapat orang terhadap dirinya. Meskipun dianggap orang hebat atau penting, mereka tidak mempedulikan hal tersebut. Namun, suatu saat, sikap mereka bisa membuat orang yang mengaguminya merasa kecewa atau kehilangan pandangan yang positif terhadapnya.
Kalau kamu orang yang sungguh-sungguh tulus dalam berbuat, maka kamu tidak akan peduli sama orang menilaimu seperti apa.
Karena standarmu bukan tentang penilaian orang. Kalau standarmu masih tentang penilaian orang, maka kamu masih di level orang dunia banget. Kamu tidak pantas menyetarakan dirimu dengan orang solihin. Karena orang soleh itu tidak pernah mikirin penilaian orang terhadap diri mereka.
Standarmu bukanlah berdasarkan penilaian orang lain. Jika kamu masih memikirkan penilaian orang, itu menunjukkan bahwa kamu masih di level orang dunia. Tidak tepat jika kamu menempatkan dirimu setara dengan orang-orang yang soleh, karena orang soleh tidak pernah memikirkan penilaian orang terhadap diri mereka sendiri.
Ustadzah bukannya kita dalam beramal perlu ada Hablum Minanas? Betul, tapi itu tidak ada kaitannya tentang orang menilai kamu. Yang dimaksud dengan Hablum Minannas itu kamu bersikap baik pada orang, bukan tentang kamu menentukan sikap orang terhadapmu.
Kamu diminta untuk bersikap baik kepada orang lain, bukan berusaha mati-matian agar orang selalu menganggapmu baik.
Itu beda.
Saat kamu berbuat baik sama orang, kamu akan berbuat setulusnya kamu, serelanya kamu, seikhlasnya kamu. Tapi kalau yang kamu lakukan tentang orang menilai kamu adalah orang baik, maka seumur hidup kamu akan diperbudak oleh penilaian orang. Dan itu sangat melelahkan. Ini tetang orang menilai kamu, maka kamu akan ketakutan, kepanikan, kewalahan.
Kalau ditanya siapa orang yang benar-benar tulus dalam berbuat? Mereka orang-orang yang tidak peduli dengan pandangan orang terhadap dirinya.
Kamu boleh menganggap saya apa saja, itu terserah. Yang saya lakukan adalah semata-mata karena Allah. Saya telah berusaha semaksimal mungkin sesuai dengan kapasitas saya. Mengenai penilaian orang, mereka memang sering kali berperan sebagai juri. Bahkan kita sendiri kadang-kadang ikut menjadi juri bagi orang lain. Namun, hal tersebut sebaiknya dihindari. Jika ada orang yang menjadi juri bagi kita, biarkan saja. Yang penting, kita tidak menjadi juri bagi orang lain.
Dalam kehidupan setiap orang, saat kamu menjalankan peranmu, pasti akan bertemu dengan orang yang meremehkanmu, menganggapmu biasa-biasa saja, bahkan kadang-kadang menyampaikan kritik pedas. Tugasmu hanya tetap menjadi baik di mata Allah, bukan mencari pengakuan dari orang-orang yang bertindak sebagai juri dalam hidupmu.
Mestinya kita ini orang-orang yang hanya mencari penilaian Allah. Satu-satunya dzat yang layak untuk memberikan kita penilaian, hanya Dia. Cukup kamu punya hati dilihat olehNya dan memang hanya Allah yang punya akses untuk melihat hatimu, maka jadikan tempat Allah melihat adalah tempat terbaik versi dirimu.
Kita seharusnya hanya mencari penilaian dari Allah. Dia adalah satu-satunya Dzat yang layak memberi penilaian kepada kita. Yang perlu kita ingat, cukup hati kita yang dilihat olehNya, dan hanya Allah yang memiliki akses untuk melihat hati kita. Maka jadikan hatimu dilihat Allah sebagai tempat terbaik versi dirimu.
Saat Allah melihat hatimu, itu adalah versi terbaik kamu. Tidak perlu menjadi siapa-siapa, tidak perlu ingin jadi si ini atau si itu, tidak perlu berharap nikmatnya si fulan menjadi nikmatnya kita, dan seterusnya. Cukup menjadi dirimu dengan versi terbaikmu. Begitu juga dengan amal kita, penilaian orang bukan menjadi sesuatu yang harus dipertimbangkan.
Kata Imam Harits Al Muhasabi, “Pada saat orang yang sungguh-sungguh atau orang yang tulus memiliki sifat ini, maka berarti dia adalah orang yang hanya peduli tentang kebenaran hatinya.”
Dia sayang dengan kebenaran hatinya, dia sayang dengan kesehatan jiwanya, dia peduli terhadap mentalnya.
Kamu tau.. orang-orang yang sekarang kena sakit mental, sakit jiwa, itu sebabnya karena mereka terlalu peduli dengan juri-juri yang ada di hidup mereka.
Coba kamu pikir-pikir betapa sayangnya kamu yang selama ini hanya melakukan sesuatu untuk dirimu sendiri berdasarkan penilaian orang lain terhadapmu.
Bagaimana caranya terbebas dari belenggu hati yang sakit, jiwa yang terkekang, kemudian merasa diri harus tampil sempurna tapi ini bukan tentang kesempurnaanmu tapi ini tentang orang melihatmu sempurna. Untuk apa begitu?
Maaf, banyak influencer mengalami turunnya followers, turunnya angka likes, mereka frustasi, mereka bahkan sampai ke fase depresi, yang parah sampai membawa mereka pada menghabisi nyawanya sendiri.
Kenapa? Karena mereka itu tidak hidup untuk mereka, mereka hidup untuk yang memuji mereka, mereka hidup untuk followersnya, dan mereka akan terus diperbudak oleh itu. Makanya saat followers turun atau likes turun, mereka bingung mereka harus apa lagi, harus gimana lagi.
Ternyata circle sempitnya hidup kita tidak usah di dunia maya, kita di circle sempit kita tanpa kita sadari cara hidup seperti itu sudah mulai mendaging dalam diri kita ini tentang orang menilai kita.
Dari sini kita paham, ternyata saat kamu dianggap oleh orang lain itu kamu bukan siapa-siapa dan hatimu berada pada level biasa aja, maka disitu adalah yang menandakan jiwamu sehat, kamu orang tulus. Tapi saat penilaian-penilaian itu masih bermasalah untukmu, berarti disini ketemu jawabannya berarti kamu bukan orang tulus.
Orang yang benar-benar tulus dan sungguh-sungguh dia tidak suka walau sedikit saja (walau sebesar zarah) kelihatan orang lain dari sisi versi baiknya dia.
Misalnya, kamu minjemin teman kamu uang. Teman kamu lagi benar-benar butuh, kamu kasih pinjeman sama dia. Itu versi kamu, itu kebaikan kamu. Kamu bilang sama teman kamu jangan sampai ada orang yang tau kalau kamu minjemin uang ke dia. Tapi ternyata diketahui oleh orang lain. Teman kamu yang lain datang terus muji kamu. Karena kamu orang tulus, kamu akan merasa kenapa harus ketahuan orang lain. Orang tau malah bikin kamu menyesal.
Menjadi orang yang menyembunyikan suatu kebaikan itu adalah ciri-ciri orang soleh.
Lihat Syekh Abu Bakar bin Salim, beliau bersedekah mengisi kolam air saja tidak ada yang tau sampai dia wafat. Kolam air untuk orang mandi untuk sholat subuh itu dia yang isi, orang mau sholat subuh itu airnya selalu sudah penuh.
Imam Ali Zainal Abidin (cicit Rasulullah SAW), amalnya tiap malam keliling Madinah taruh gandum di depan pintu fakir miskin disana. Subhanallah, tidak ada orang yang tau. Kapan orang tau? Saat dia meninggal, orang mandiin dia, orang nemuin ada garis tali tambang seolah ini bukan garis baru, tapi garis kapalannya orang yang selama ini mikul beban berat. Begitu setelah beliau wafat, orang fakir miskin betebaran di Madinah. Yang tadinya tidak ada orang yang keliatan minta-minta, setelah beliau wafat jadi betebaran dimana-mana.
Akhirnya ada orang nanya, “Kenapa kalian banyak betebaran sekarang ini, kemarin-kemarin kemana?”
Dijawab sama fakir miskin itu, “Selama ini hidup kami ada yang nanggung, tapi kami tidak tau orangnya. Dan ternyata setelah seminggu ini orang itu tak kunjung datang, maka kami dilanda kelaparan yang mengharuskan kami mencari makan.”
Nah baru dari situ diketahui ternyata orang yang baru-baru ini wafat adalah Imam Ali Zainal Abidin.
Sebegitunya mereka menutupi diri mereka saking tidak ingin ada orang yang tau. Orang yang tulus mereka merasa sesuatu yang memberatkan mereka saat ada orang yang tau kebaikan mereka.
Ada orang di Zanbal, penggali kubur. Suatu ketika ada kabar orang meninggal mau dikubur. Di Zanbal sudah sejak dulu tertimbun jutaan wali ada disana. Pada saat digali kubur tersebut, ternyata penghuni kubur itu lagi duduk baca Qur’an di dalamnya. Pas dibuka digali bukan seperti lubang kubur, tapi terlihat seperti ruang yang dipenuhi dengan keindahan. Penghuni kubur itu bicara ke tukang gali kubur, “Diam, jangan bicara pada siapapun, tutup lagi kuburan saya”.
Bahkan setelah wafatpun orang soleh tidak ingin diketahui dari amal perbuatannya. Kita belajar sedikit-sedikit tidak diketahui dari kebaikan kita itu tidak membuat kita rugi. Karena semua yang kita lakukan itu tersimpan rapi di catatan Allah SWT. dan balasannya Allah itu tidak pernah tidak sesuai dengan apa yang kita perbuat. Allah selalu memberi lebih, kurang tidak pernah. Maka jangan pernah takut apa yang kita lakukan itu seolah tidak ada balasannya.
Orang tulus tidak ingin kebaikannya terlihat dan juga tidak marah jika terlihat sisi buruk dalam dirinya. Kenapa tidak marah sisi buruknya keliatan? Karena sebetulnya dia menyesal sisi buruknya keliatan, tapi penyesalan dia bukan ke orang, tapi penyesalan dia ke Allah. Sudah ada di level bodo amat dengan omongan orang.
Kadang kita baik saja dianggap tidak baik, apalagi orang liat dari sisi tidak baik kita. Jadi dilihat orang atau dinilai orang, kalau kamu orang yang tulus tuh tidak menjadikan kamu gimana-gimana. Bahkan orang soleh dianggap tidak tulus, dianggap maling, dianggap jahat, dianggap serakah, itu tidak membuat mereka mengklarifikasi bahkan.
Imam Ali Zainal Abidin yang sedekah begitu, suatu ketika pernah dituduh maling ditampar lagi sama yang ngatain maling. Segitunya tidak klarifikasi, diam saja.
Malah ditanya sama Imam Ali Zainal Abidin, “Kamu hilang uang berapa?”
Dijawab sama yang nuduh, “Seribu dirham”.
Kata Imam Ali, “Ikut saya ke rumah (diambilin uang seribu dirham) ini kamu hilangnya seribu, nah ini seribu lagi dari saya.”
Malah ngasih lebih ke yang nuduh maling.
Ditampar, dicaci, dihina, tidak perlu klarifikasi. Orang benar, orang baik, hatta dilihat orang buruk, kalau memang keburukan itu tidak dia lakukan, maka dia tidak perlu klarifikasi apapun, tidak perlu menjelaskan apapun, tidak perlu memberi keterangan apapun. Diam saja. Nanti juga Allah yang akan tunjukkan kebenaran.
Benar saja tidak sampai sehari, yang nuduh ini pulang ke rumah ketemu istri. Istri bilang, “Kamu kemana saja, saya daritadi nungguin kamu, nih kantong uang ketinggalan.”
Sudah nampar orang, sudah hina orang, sudah caci orang. Yang dituduh, ditampar, yang dihina cicit Rasulullah.
Umumnya manusia senangnya kelihatan lebih di mata orang. Manusia tidak senang sisi buruknya kelihatan. Sifat seperti ini bukan tergolong akhlaknya orang soleh.
Beberapa orang solihin berkata, “Kalau kamu menginginkan sesuatu dari Allah SWT, memohon pada Allah SWT sesuatu dengan sungguh-sungguh, memohon pada Allah menjadi orang yang sungguh-sungguh (tulus, ikhlas), maka Allah SWT akan memberimu cermin yang akan membuat kamu bisa melihat segala sesuatu dari keajaiban isinya dunia dan akhirat.”
Saat orang melihat sisi keajaiban dunia dan akhirat dari sisi pandangan Allah, apalagi yang kita butuhkan dari manusia? tidak ada. Manusia sudah tidak ada artinya untuk kita.
Habib Umar bin Hafidz, dulu awal-awal beliau dakwah, jangan dulu, bahkan sampai detik ini digoda, diuji dengan orang-orang yang tidak suka pada beliau. Baru-baru ini saja ada tanah di dekat Darul Mustofa, dan jelas itu tanah milik beliau. Tiba-tiba ada orang badui datang anggap dan bilang tanah itu milik dia. Kata anak-anak Habib Umar bilang, “Bah, kita bisa tunjukkan surat-suratnya ke dia dan lain sebagainya bahwa tanah itu milik Abah.”
Kata Habib Umar, “Tanya saja ke dia maunya apa.”
Kata anaknya, “Ya jelas mau uang pasti.”
Kata Habib Umar, ”Yang dia mau kasih.”
Yang dihindari dari Habib Umar adalah perseteruannya.
Ada kisah lagi. Suatu waktu tidak sengaja tiba-tiba di jalan menabrak salah satu anak kambing gembalaan orang badui.
Orang badui bilang, “Ini kambing harganya 400 real, kamu harus bayar, marah-marah.”
Dibayar sama Habib Umar 800 real, padahal yang ketabrak hanya satu kambing yang harganya 400 real.
Ditanya, “Kenapa Bib kamu begitu?”
Dijawab sama beliau, “Yang 400 ganti kerugian, yang 400 lagi untuk menyenangkan hati dia biar tidak ada unek-unek sampai akhirat.”
Orang level beliau sudah melihat nikmat dunia tuh apa sih? Karena yang Allah perlihatkan adalah keajaiban Allah.
Kalau kita minta pada Allah dengan sungguh-sungguh, yang Allah bisa berikan dari nikmatnya sama kita, Allah akan beri kita cermin yang bisa membuat kita melihat keajaiban dunia dan akhirat.
Perkataan para ulama salaf yang berkaitan dengan pembahasan masalah ikhlas banyak, saya (Imam Nawawi) hanya menyinggung sedikit saja.
Jadi pembahasan kita dari yang lalu kita bahas ikhlas ini adalah sedikit kata beliau. Untuk sekedar mengingatkan. Lebih detailnya ada di kitab Syarhul Muhadzab.
Kecil dan sedikitnya menurut Imam Nawawi, tidak sedikit bagi kita.
Untuk menjadi orang tulus itu tidak banyak orang yang bisa menguasai, tapi kita terus belajar untuk jadi orang yang tulus. Dan kita yakin, jika kita punya kesungguhan dalam menginginkan menjadi orang yang tulus seperti kaum solihin, Allah akan anugerahkan pada kita menjadi orang yang tulus. Paling tidak memberi tanpa meminta balasan.
Belajarlah untuk mengerjakan sesuatu yang baik tanpa meminta pujian. Lakukanlah sesuatu bukan untuk orang, tapi lakukan untuk Allah dan paling tidak untuk diri sendiri. Untuk melepaskan dirimu dari belenggu sakitnya mental, sakitnya jiwa yang selalu haus pada apresiasi dan pujian orang lain.
Nabi Muhammad SAW memberikan kita cerminan yang paling sempurna. Beliau menolong orang, bahkan tidak mengharap kata terima kasih dari orang yang ditolong olehnya.
Rasulullah pernah memberi contoh pada kita menolong orang tua yang sepanjang jalan mencela Rasul. Tidak pernah sekalipun beliau menunjukkan ekspresi amarah. Beliau tenang saja. Orang puji beliau, beliau tersenyum. Orang caci beliau, beliau tersenyum. Pujian dan cacian sama.
Walid bin Mughiroh (bapaknya Khalid bin Walid) itu musuh Rasul. Dia itu yang menaruh kotoran perut unta di atas punggung Rasulullah. Rasul biasa saja.
Kita diomongin, dikatain, dicuekin, difitnah, sudah umum. Tinggal bagaimana kita menyikapi itu semua, belajar bagaimana kita bisa ada di level yang sama, dicaci atau dipuji sama.
Hanya pecinta sejati yang mereka melihat keburukan tapi bagi mereka kesempurnaan. Tapi orang yang mengaku cinta, begitu keliatan kejelekannya langsung ilfeel.
Dengan ini kita belajar kita menjadi orang yang tulus karena Allah dan RasulNya.
*Pembahasan Nafahat Ramadhaniyah*
Beberapa untaian nasehat dari bait-bait syair yang disampaikan oleh Habib Muhammad bin Abdullah Al Haddar tentang anjuran bagaimana kesungguhan Nabi pada 10 terakhir di bulan Ramadhan.
Kalau sudah masuk 10 terakhir ramadhan, maka Nabi kita Muhammad tidak memejamkan matanya sama sekali sepanjang 10 terakhir itu.
10 terakhir ini Allah SWT membebaskan orang yang masih tekun beribadah kepadaNya untuk terbebas dari api neraka. Ini waktu emasnya, ini waktu paling berharga. Maka sudah sepatutnya kita juga melihat bagaimana contoh yang Nabi ajarkan pada kita.
Nabi Muhammad niat itikaf bukan seperti kita. Nabi niat itikafnya, “Saya niat itikaf di masjid ini sampai hari raya nanti.” Tidak pulang-pulang padahal rumahnya sebelahan masjid.
Malam ke-20 beliau bangunkan istri-istrinya mengingatkan 10 malam terakhir untuk ibadah. Tapi beliaunya itikaf di masjid. Satu-satunya yang masih berinteraksi selama Nabi itikaf itu hanya Sayyidah Aisyah karena rumahnya sebelahan dengan masjid. Hanya ada batas tirai antara masjid dengan rumahnya. Dan Nabi sering melihat Sayyidah Aisyah dari balik tirai selama itikaf. Bukan karena Nabi kangen pada Sayyidah Aisyah, tapi karena Nabi tau Sayyidah Aisyah senang diperlakukan seperti itu. Kadang dari balik tirai itu Rasul minta disisirin rambutnya sama Sayyidah Aisyah.
Karena barang yang selalu dibawa sama Rasul itu ada 3 yaitu, sisir, cermin dan celak. Ini menandakan kerapihan Rasulullah SAW.
Sama suami kita mungkin agak sulit seperti itu, tapi bukan berarti tidak bisa. Kalau 10 terakhir suami tidak bisa tarawih di masjid, ajak dia tarawih bareng kamu di rumah. Atau kalau suami belum pulang, ajak anak. Ajak ahli keluarga untuk memakmurkan kemuliaan 10 terakhir ramadhan.
Nabi tambahin lagi ijtihad kesungguhannya di 10 terakhir ramadhan. Padahal beliau itu sudah menjadi orang yang lebih dalam ibadah.
Nabimu dosa saja tidak punya, tapi beliau banyak nangisnya, banyak do’anya di malam hari.
Apalah kita? Yang sudah pasti banyak dosa, banyak salah, banyak khilaf, apa kita tidak mau malam yang tersisa ini menjadi malamnya kita untuk meneteskan air mata dan berdo’a dengan khidmat di hadapan Allah SWT?
Perbanyak do’a “Allahumma Innaka Afuwwun Karim Tuhibul Afwa Fa’fuanna Ya Karim” di malam ini.
Ialah Nabi kita Muhammad SAW yang selalu bangun di waktu malamnya dan Allah SWT berfirman kepadanya, “Bangunlah kamu wahai Muhammad walaupun sedikit.”
Nabi tidak pernah terlewat bangun malam, dan Nabi menjalankan apa yang Allah perintahkan.
Kita sepatutnya yang banyak dosa, banyak khilaf, banyak salah, banyak butuhnya, harusnya kita lebih dari Nabi.
InsyaAllah dari segenap kemampuan kita, kita lakukan semampu kita. Aamiin ya rabbal alaamiin …
والله اعلم بالصواب