Tanggal : Ahad, 9 April 2023
Kitab : At Tibyan Ep.8 & Nafahat Ramadhaniyah
Karya : Syekh Imam Nawawi
Guru : Ustadzah Aisyah Farid BSA
Tempat : MT Banat Ummul Batul
بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيْمِ
Terkadang kita sebagai manusia tidak sadar kalau kita ini banyak keinginan, banyak mau, tapi maunya kita itu belum tentu benar. Mirip seperti anak kecil. Anak kecil juga hidupnya banyak maunya. Mau ini mau itu. Bahkan dibilang, perumpamaan maunya kita yang disebut dengan dorongan hawa nafsu.
Keinginan kita seringkali masih dipenuhi oleh hawa nafsu, mirip dengan perilaku anak kecil. Anak kecil terkadang jika menginginkan sesuatu, harus dipenuhi; jika tidak, mereka bisa marah, menangis, atau bahkan mengamuk, yang dalam zaman sekarang disebut sebagai tantrum.
Bagaimana seharusnya kita menangani situasi seperti itu? Sebaiknya, kita biarkan emosi yang meluap itu keluar dan meredamnya dengan kesabaran, mirip dengan cara menenangkan anak kecil.
Herannya, saat hal semacam itu terjadi pada kita, kita juga seringkali mengalami luapan emosi ketika keinginan kita tidak terpenuhi. Namun, perbedaannya terletak pada cara kita menghadapinya.
Anak kecil ketika meluapkan emosinya, biasanya tidak mempertimbangkan peran Tuhan dalam situasi tersebut. Sebaliknya, saat kita sebagai orang dewasa mengalami luapan emosi, seringkali kita mencoba untuk membawa Tuhan ke dalamnya. Kita merasa seolah telah mengenal Allah dan merasa dekat dengan-Nya, dalam momen tersebut kita sering kali menyalahkan Tuhan dan mempertanyakan keadilan-Nya dengan mengucapkan, “Kenapa Ya Allah?”. Inilah perbedaan mendasar antara kita dengan anak kecil dalam menangani emosi .
Saat kita punya keinginan tidak tercapai, seringkali setan dengan mudah menyusup pada kita. Lalu kita dibuatnya menjadi orang yang mempertanyakan keadilan Tuhan. Sayangnya kadang-kadang orang jika sudah berhasil mempertanyakan keadilan Tuhan, maka yang hilang adalah kepercayaan kepada Allah. Kalau dia sudah dititik “kurangnya kepercayaan” pada Allah, maka yang terjadi padanya adalah imannya lemah dan lambat laun hilang. Ini yang paling ditakutkan.
Maka dari itu, kita berharap agar keinginan kita selalu sejalan dengan apa yang dibenarkan oleh Allah dan Rasul-Nya. Kadang-kadang apa yang kita inginkan bertentangan dengan ajaran Allah dan Rasul-Nya, dan hal ini dapat menimbulkan konsekuensi yang tidak diinginkan.
Maka, kita merasa sedih melihat perilaku anak-anak muda di luar sana. Sebagai contoh, ada yang ingin menikah dengan pilihan mereka sendiri tanpa mempertimbangkan kebaikan. Mereka juga tidak memikirkan dampak masa depannya atau memperhatikan kualitas dan karakter pasangan yang bersangkutan. Mereka tampak tidak peduli apakah calon pasangan tersebut bermasalah, memiliki perilaku yang kurang baik, rendah iman, atau kurang berakhlak. Bahkan yang lebih menyedihkan, dalam beberapa kasus, perbedaan agama dianggap sebagai hal yang tidak penting.
Kita jarang kan nemu orang laki-laki muslim, perempuan kristen itu jarang. Yang umum terjadi laki-laki kristen, perempuan muslim. Itu kenapa bisa terjadi? Karena kadang-kadang perempuan itu kalau sudah punya mau tuh konyol. Bahkan pendapat orang tuanya pun akan kalah dengan orang yang baru dikenal beberapa waktuKita jarang menemui kasus di mana seorang laki-laki Muslim menikahi seorang perempuan Kristen, tapi sebaliknya lebih sering terjadi: seorang laki-laki Kristen menikahi seorang perempuan Muslim. Mengapa hal ini bisa terjadi? Karena kadang-kadang, perempuan itu kalau sudah mau konyol (cenderung terpengaruh oleh perasaan cinta dan mengabaikan pertimbangan yang lebih penting). Mereka bahkan bisa mengabaikan pendapat orang tua mereka demi orang yang baru dikenal dalam waktu singkat..
Kadang-kadang ada kemauan kita yang bertentangan dengan apa yang Allah perintah. Kalau kita punya mau, inginnya maunya kita juga benar. Maunya kita harus sesuai, harus terarah seperti yang syariat benarkan. Jangan sampai maunya kita besar, tapi syariat tidak membenarkan, akhirnya bukan kita jadi benar, tapi kita akan terbawa pada jalan yang salah. Naudzubillah min dzalik. Itu contoh kecil.
“Hawa” kita ini masih perlu di didik. Kalau kita belajar ilmu dunia, ada jenjang S1, S2, S3. Kaapan Hawa nafsu ini dididik? Seumur hidup kamu mendidiknya. Karena sifat hawa nafsu itu ada di dalam diri kita. Kalau kita bisa kendalikan dia, kita beruntung. Kalau ingin jadi orang benar, putuskan dalam diri “Saya mau jadi orang benar”.
Orang yang duduk di majelis taklim, bisa nguatin imannya untuk satu hari, satu minggu, satu bulan atau bahkan satu tahun. Tapi itu semua bisa rusak kalau duduk sama teman duduk yang salah. Iman itu luntur, tidak ada jaminan seminggu, sebulan, apalagi setahun. Sehari imannya bisa turun karena salah duduk. Sudah berada dalam lingkungan baik, tapi belum meninggalkan lingkungan lainnya yang tidak baik. Naudzubillah min dzalik.
Maka, selama bulan suci Ramadhan, kita memiliki kesempatan untuk berada dalam lingkungan yang baik, menghadiri tempat yang baik, dan terus menimba ilmu agama, khususnya ajaran Rasulullah. Dengan mendekatkan diri pada Allah dengan melazimi hari-hari kita untuk ibadah kepada Allah. Semua ini adalah zona kebaikan yang dapat memperkuat iman kita. Oleh karena itu, jangan menciptakan lingkungan di luar zona kebaikan ini. Karena kalau kamu coba-coba membuat lingkungan lain di luar ini, kamu tidak akan pernah menjamin kuatnya iman kamu.
Saat kita berdoa kepada Allah, minta “Ihdinas sirotol mustaqim”, kita minta jalan yang lurus.
Salah satu jalan yang lurus itu adalah saat kita menuntun diri kita dan menjadikan semua inginnya kita pada hal yang lurus. Jadi kalau kamu nemuin keinginan kamu tidak sesuai syariat, maka jangan jadikan itu kemauanmu, buang. Buang jauh-jauh darimu.
*Pembahasan Kitab At Tibyan*
Adab Pengajar dan Pelajar Qur’an – Part 2
Pentingnya ikhlas dalam beramal adalah hal yang sedang kita bahas. Dalam setiap amal yang kita lakukan, tujuan utamanya haruslah ikhlas, yaitu semata-mata untuk Allah SWT. Niat dalam setiap amal haruslah hanya untuk mendapatkan keridhaan–Nya, tanpa ada tujuan lain di baliknya.
Hakikatnya saat kamu melakukan perbuatan yang ditujukan untuk manusia, maka kamu harus ingat satu hal, kamu hanya akan ketemu kecewa. Karena tidak ada manusia yang pandai balas budi, tidak ada manusia yang benar-benar tau terima kasih, tidak ada manusia yang benar-benar tau memuji.
Kamu harus ingat. Sehebat apapun kamu, manusia mungkin ada yang memujimu selangit, tapi boleh jadi pujian mereka itu hanya omong kosong belaka. Mereka tidak memuji dari hati.
Saat kamu diperlakukan baik oleh orang lain, mungkin kebaikannya sampai membuatmu tidak bisa melakukan kebaikan yang serupa kepadanya. Manusia itu tidak bisa membalas perbuatan orang dengan yang serupa.
Saat kita merasa di titik kita tidak bisa balas kebaikan orang lain, maka kita akan melakukan segalanya untuk dia. Karena kita merasa kita tidak bisa balas. Saat kita melakukan sesuatu untuk dia, kita sedang di tahap melakukan sesuatu bukan untuk balasan. Kita hanya akan melakukan saja. Karena kita tau orang ini baik banget sama kita.
Andai semua orang melakukan itu tentang perbuatan Tuhan kepadanya, perbuatan baik Allah terhadap dirinya, maka kita akan jumpai semua orang beribadah di muka bumi ini Ikhlas. Kenapa? Karena dia tau kebaikan Allah SWT yang diberikan kepadanya itu tidak pernah bisa dibalas oleh kebaikan kita dengan apapun juga.
Masalahnya tidak banyak dari kita yang sadar tentang betapa baiknya Allah terhadap kita. Kita hanya sadar tentang baiknya manusia kepada kita. Padahal manusia punya baik itu selalu ada batasnya. Dan hakikatnya tidak ada orang baik sama kita begitu saja, kecuali kebaikan itu Allah yang mendorong dia untuk berbuat baik sama kita.
Andai semua orang sadar, maka dia bukan hanya berterima kasih pada yang berbuat baik, tapi yang paling utama yang akan dia ucapkan terima kasih dia akan bersyukur kepada Allah yang telah membuat orang baik sama dia. Allah tidak buka aibnya dia di hadapan orang yang punya prasangka baik kepada dia.
Orang yang baik kepada kita itu berarti bahwa orang tersebut menganggap kita baik. Sementara setiap manusia memiliki sisi baik dan sisi buruk. Seringkali kita cenderung menutupi sisi buruk . Kita merasa bahwa kita yang menutupinya, padahal sebenarnya Allah yang tidak mau membuka sisi buruk kita . Ini menunjukkan betapa besar peran Allah dalam urusan hidup kita.
Orang-orang bersikap baik kepada kita karena Allah memperlihatkan sisi baik kita dan menyembunyikan sisi buruk kita, bukan karena kemampuan kita sendiri untuk menyembunyikan. Allah lah yang Maha pandai dalam menutupi itu semua.
Terkadang kita mulut kita mencoba menyembunyikan sisi buruk kita,
namun kita tidak selalu berhasil karena perilaku kita sendiri mengungkapkannya
Kisah
Dulu, Imam Syafi’i pernah mempelajari ilmu membaca karakter orang, yang mana (ilmu karakter) sudah menjadi populer sejak zaman beliau. Suatu hari setelah mempelajari ilmu tersebut, Imam Syafi’i sedang dalam perjalanan pulang dan membutuhkan tempat istirahat. Di tengah perjalanan, dia bertemu dengan seseorang yang menawarkan tempat istirahat, dengan pertanyaan, “Ente mau istirahat? Sini istirahat di rumah ana.”
Dari ilmu yang Imam Syafi’i pelajari, dari raut wajah, orang ini bohong, orang ini tidak tulus, orang ini punya maksud, tapi kadang-kadang orang baik itu selalu di dzolimi karena baiknya dia.
Imam Syafi’i kemudian mengikuti orang tersebut ke rumahnya, beristirahat, dan menikmati makanan yang lezat. Selama beristirahat, Imam Syafi’i berkata, “Mungkin saya selama ini salah dalam mempelajari ilmu karakter. Ini membuktikan bahwa saya terlalu cepat menilai orang ini tidak baik, padahal semua yang dia lakukan adalah baik. Saya harus lebih banyak menggunakan sikap positif dan mengedepankan husnudzon.”
Dan Imam Syafi’i bermalam di tempat tersebut, bahkan kudanya pun diberi makan. Ketika hendak melanjutkan perjalanan keesokan harinya, orang tersebut mengatakan, “Anda menginap di rumah saya dan makan di sini, ini tidak gratis.” Semua kebaikan yang dilakukan oleh orang itu dihitung. bukan gratis.
Lalu Imam Syafi’i merasa harganya tidak wajar. Apa yang Imam Syafi’i pelajari tentang karakter seseorang ternyata benar. Setelah mendapatkan pelajaran langsung dari pengalaman tersebut, Imam Syafi’i memutuskan untuk tidak melanjutkan lagi belajar ilmu karakter.
Lalu Imam Syafi’i merasa bahwa harga yang diminta tidak wajar. Pada akhirnya, apa yang dipelajari Imam Syafi’i tentang karakter seseorang ternyata benar. Setelah mengalami langsung pengajaran dari pengalaman tersebut, Imam Syafi’i memutuskan untuk tidak melanjutkan studi tentang ilmu karakter.
Ilmu membaca karakter orang bukan untuk sesuatu yang menjatuhkan orang, menuduh orang, ngatain orang, tapi cukup ilmu itu untuk dirinya dia. Apalagi sekelas Imam Syafi’i dan ulama lainnya, mereka punya mata batin yang bisa menembus hati orang. melihatnya juga bukan pakai mata, tapi pakai hati.
Ketika kita melakukan sesuatu karena orang lain, seringkali sifatnya orang bisa mengecewakan, menyakiti, atau mempermainkan kita. Satu-satunya yang tidak mengecewakan dan selalu tulus adalah Allah dan Rasulullah. Mereka tidak memberikan harapan palsu dan tidak mengungkit kebaikan yang dilakukan.
Allah memerintahkan kita untuk bersyukur, namun Dia tidak pernah mengungkit-ungkit pemberian-Nya. Allah menyadarkan kita tentang bagaimana nikmat-Nya sampai kepada kita, tetapi Allah tidak pernah mengungkit-ungkitnya. Allah hanya menekankan satu nikmat, yaitu nikmat Nabi Muhammad SAW.
Kalau ada dari kita sebagai umat Nabi Muhammad yang tidak tau diri, tidak tau betapa besarnya nikmat Nabi, maka kita sungguh orang yang merugi. Allah SWT singgung kita disitu, karena itu nikmat besar.
Kembali lagi pada ikhlas. Ikhlas itu penting. Kita sebagai seorang hamba harus ikhlas beribadah hanya untukNya. kita harus terus belajar bagaimana caranya kita berbuat sesuatu itu hanya untuk Allah saja. Dibantu dengan do’a tiap hari, “Ya Allah berikan aku ikhlas dalam ucapan, dalam sikap, perbuatan, dan semua hal.”
Al Imam Fudhail bin ‘Iyadh r.a, beliau berkata, “Meninggalkan amal karena sebab manusia itu riya’. Adapun berbuat suatu amal karena manusia itu adalah syirik.”
Tentu, berikut adalah versi perbaikan dari kalimat tersebut:
Siapapun yang berada di dekatmu, jika ingin melakukan amal, lakukanlah dengan tulus. Ibadah hendaknya ibadah semata. Ketika memberi sedekah, lakukanlah dengan ikhlas. Janganlah kita menunda kebaikan hanya karena ada orang di sekitar kita. Hal itu disebut riya’, di mana amal ibadah dilakukan bukan karena Allah. Mengapa kita harus meninggalkan kebaikan hanya karena kehadiran orang lain?
Kalau kamu beramal karena manusia itu termasuk syirik, bukan lagi riya’. Makanya kita belajar. Belajar memurnikan semua niat. Niat kita dalam berbuat untuk siapa tujuannya.
kalau menurut pandangan Ulama, syirik itu terbagi menjadi dua. Ada yang disebut dengan syirik yang tersembunyi dan syirik terang-terangan.
Syirik ringan (yang tersembunyi) adalah suatu amal perbuatan yang misalnya seperti ini, ada orang mau sholat tahajud tiap malam biar jadi wali.
Sebaiknya kalimat tersebut diperbaiki menjadi:
Apakah tidak boleh, Ustadzah, memiliki cita-cita untuk menjadi wali? Tentu boleh, namun perlu diingat bahwa jika kamu mengiringi keinginanmu untuk menjadi wali dengan satu amal yang kamu anggap akan membuatmu menjadi wali, maka menurut pandangan para ulama, amal tersebut dapat dianggap sebagai syirik tersembunyi.
Sementara wali itu bukan suatu profesi. Wali itu adalah pemberian langsung dari Allah. Para wali itu mereka tidak berandai-andai dirinya jadi wali begitu saja. Mereka hanya cukup fokus dalam hidupnya jadi hamba yang sungguh-sungguh dalam menghamba. Saat Allah melihat seseorang dalam ibadah tujuannya hanya untuk menghamba, nah disitu haknya Allah ingin menjadikan dia siapa.
Kata Ulama, “Saat ada orang berandai-andai ibadah akan menjadi wali, ini syirik tersembunyi.”
Kadang-kadang banyak dari kita yang tidak sadar dalam ibadah itu menyimpan harapan akan jadi apa nanti.
Imam Sahl Al Tustari r.a, beliau mengatakan, “Orang yang disebut benar-benar ikhlas adalah gerak-geriknya dia, baik dia berucap atau diam, baik dia bersama orang lain atau sendiri, apa yang dia lakukan semata-mata tujuannya hanya untuk Allah.”
Gerak gerikmu sampai diammu, baik di tempat terbuka maupun di tempat tertutup, yang kamu lakukan itu hanya untuk Allah.
Kalau kita baca hadroh basaudan di kalimat pertama, “Laillaha ilallah la ma’bud illallah dan seterusnya … “
La ma’bud, la maqsud, la masyhud, la mawjud. Ini level tingkatan keimanan seseorang.
Ada orang mengartikan Lailahaillallah artinya tiada Tuhan selain Allah. Ada juga orang yang mengartikan Laillahailallah
La maqsud ilallah (Tidak ada tujuan kecuali Allah). Begitu naik level selanjutnya
La masyhud ilallah artinya aku tidak menyaksikan yang ada dalam pandanganku kecuali Allah.
La mawjud illallah artinya tidak ada yang ada kecuali Allah (ini level sudah tinggi).
Lihat Syekh Abu Bakar bin Salim memutuskan (untuk dirinya) duduk tahiyat akhir sampai akhir hayatnya. Kenapa beliau duduk begitu? Karena dimanapun dia berada, yang dia saksikan adalah Allah. Levelnya sudah tinggi keimanannya.
Imam Sirri As Saqhati beliau berkata, “Jangan kamu melakukan sesuatu karena manusia. Jangan kamu meninggalkan untuk mereka apapun.”
Kita jangan pernah mau melakukan sesuatu karena orang. Makanya dalam hidup itu kalau kamu cari pujian, cari pengakuan, cari cinta, kamu capek.
Nikah juga begitu. Sama pasangan juga begitu. Kalau yang dicari itu pujian, anggapan, ya mungkin mereka muji kamu setahun atau dua tahun. Terus begitu kamu melakukan sesuatu, tidak dipuji, kamu akan bertanya-tanya apa yang salah? Apa yang kurang? Kenapa? Kenapa?
Manusia di zaman sekarang ini sebegitu terpengaruhnya tentang anggapan orang lain. Sampai mau pakai bajupun, tergantung bagaimana penilaian orang lain terhadap bajunya.
Betapa banyak orang-orang yang rusak akalnya, rusak hidupnya bukan karena punya trauma yang berat, tapi terlalu terpengaruh oleh orang lain dalam hidupnya.
Kenapa kita penting melakukan segala sesuatu hanya untuk Allah? Agar kita tidak menyesal. Karena manusia tidak pantas kita belain sampai segitunya. Jadi kalau mau melakukan hal apapun tujuannya hanya untuk Allah SWT.
Kenapa banyak generasi sekarang yang tinggal bersama orang tua itu beban buat dia?
Ada anak berumah tangga, orang tuanya sudah lanjut usia, lalu orang tuanya mau tidak mau tinggal sama dia. Anaknya bilang beban. Banyak tidak? Banyak zaman sekarang.
Sampai membuat orang tua jadi minder, orang tua jadi takut mau ngungkapin “Nak, ayah tinggal sama kamu aja ya.” Tidak percaya diri bapaknya untuk ngomong begitu. Ibu ngomong sama anaknya “Nak, mama tinggal sama kamu aja ya.” Tidak percaya diri ibunya. Karena anaknya tidak pernah memberi gelagat welcome. Ibunya datang ke rumah anaknya malah ditanya, “Mama ngapain repot-repot datang kesini? Kita aja yang datang kesana”. Segitu paniknya kalau orang tua mau datang ke rumah, nginap di rumah, dan lain sebagainya.
Kenapa bisa terjadi pandangan seperti itu di zaman sekarang? Mereka otaknya terkontaminasi. Pola asuh menjadi alasan utama. Mereka tidak benar-benar tau bahwa sebenarnya orang tua sama pentingnya seperti kamu diberikan amanah oleh Allah punya anak.
Kenapa kamu berfikir anakmu harus tinggal sama kamu? Karena kamu pikir dia anak kamu? Karena kamu anggap anak kamu amanah? terus kamu mikirin kamar buat dia, terus kamu mikirin kesejahteraan anak karena kamu pikir anakmu itu amanatmu. Lalu orang tuamu itu bukan amanatmu?
Ustadzah bagaimana dengan orang tua yang bisanya ngerepotin kita mulu? Jika kamu kedapatan orang tua yang bisanya hanya ngerepotin, berarti Allah mau kasih kamu pahala lebih kalau kamu bisa sabar. Orang tua yang hidupnya nyusahin anak, punya hitungan di mata Allah. Suatu saat dia akan diadili sama Allah jika yang dia lakukan itu tidak sesuai dengan yang harusnya orang tua lakukan.
Tapi sikap kita tidak boleh menuntut orang tua kita, lalu berlaku sesuka hati kita sampai bodo amat. Jangan sampai kamu mentingin keluarga kecilmu saja dan bodo amat sama orang tuamu. Kamu kalau tidak ada orang tuamu, tidak akan punya keluarga kecil. Kenapa banyak orang-orang seperti ini? Iya karena mereka terlalu memperhatikan cara pandang orang. Semua yang terjadi itu pengaruh orang di sekitar.
Makanya minta sama Allah rezeki yang luas agar kita bisa selalu jadi anak yang dimanapun dan kapanpun kita bisa menjadi anak yang menyenangkan hati orang tua.
Misal orang tua tidak senang sama apa yang kita lakukan padahal itu baik, yaudah itu urusan orang tua kita sama Allah. Urusan kita itu harus ingat bahwa orang tua kita adalah amanah kita. Allah yang pesan ke kita untuk berlaku baik pada mereka. Jadi kalau kamu hanya mikirin anak, kamu salah. Ingat juga ke orang tua. Jangan terpengaruh dengan cara berfikir orang lain.
Betapa menyedihkan manusia kalau kamu hanya berbuat untuk mereka, kamu akan menyesal, kamu akan menjadi orang yang menangis di kemudian hari.
Berapa banyak air mata yang jatuh di muka bumi ini bukan karena rindu kepada Sang Pencipta, tetapi karena rasa kecewa kepada sesama manusia.
Berapa banyak air mata yang jatuh karena merasa tersakiti oleh sesama mereka?
Kalau kamu masih menjadi orang yang di sakiti, tidak apa-apa. Jangan kamu yang menyakiti.
Kamu dilukai, tidak apa-apa. Jangan kamu yang melukai.
Kamu dikhianati, tidak apa-apa. Jangan kamu yang mengkhianati.
Itu qoidah (kaidah) dalam hidup. Orang mau bagaimana sama kita, tidak apa-apa, yang penting bagaimana Allah kepada kita.
Jadi, jangan berharap pada manusia, jangan kamu melakukan sesuatu karena manusia, jangan kamu menutup sesuatu (menutup diri, menutup hati) karena manusia, jangan pernah membuka sesuatu karena manusia.
Kenapa kau harus menutup dirimu hanya karena manusia? Kenapa kau harus menjadi orang yang menyedihkan hanya karena manusia?
Jangan pernah ceritakan kepada orang tentang dirimu dalam beberapa hal, yaitu tentang harta (nikmat yang kamu punya), rencanamu, dan kamu pengikut sejati siapa.
Misal, kamu pengikut sejati ahlu sunnah. Kamu tidak perlu teriak-teriak, cukup jadilah orang yang menunjukkan akhlaknya ahlu sunnah.
Ikhlas tidak ada tujuan yang lain, kecuali hanya untuk Allah. Begitu juga saat kita belajar menuntut ilmu. Terkait kita mendekat pada majelis ilmu, tidak ada yang dicari selain hanya untuk Allah SWT.
*Pembahasan Nafahat Ramadhaniyah*
Tentang istighfar.
Nabi SAW bersabda, “Beruntung bagi mereka yang menemukan catatan buku amalnya, istighfar yang banyak.”
Memang ada apa dengan istighfar? Istighfar ini pencuci dosa. Tanpanya, tidak ada dosa yang diampuni. Istighfar ini benar-benar penyambung antara kita dengan kita meminta dosa kita diampuni sama Allah SWT.
Orang yang pertama memberi contoh pada kita tentang istighfar, itu Nabi kita langsung. Karena Nabi tidak pernah melewatkan harinya, kecuali beliau beristighfar 100 kali. Nabi tidak punya dosa.
Bagaimana dengan kita yang tentunya banyak dosa? Maka kita harus tau diantara keutamaan istighfar, selain daripada pengampunan dosa, namun ternyata istighfar memiliki keutamaan terkabulnya semua do’a.
Coba kalau kita perhatiin Ustadzah kita yang sudah tua-tua. Biasanya kalau mau mulai do’a tuh nyebut. “Astaghfirullah Astaghfirullah Astaghfrullah”, istighfar dulu. Karena dia mau ngajak kita minta ampun dulu sama Allah.
Saat kita melakukan perbuatan diiringi dengan istighfar, maka do’a kita akan cepat diijabah Allah SWT.
Kisah
Ada cerita, di zamannya Imam Ahmad bin Hambal. Ada orang Subhanallah, suatu ketika Imam Ahmad bin Hambal lagi musafir. Karena Imam Ahmad ini musafir, jadi Imam Ahmad lagi di masjid, rencananya mau bermalam di masjid itu, dia ingin tidur. Tapi Qodarullah masjidnya di jam tertentu di tutup, dibuka lagi jam 3 malam. Maka Imam Ahmad bin Hambal tidak bisa istirahat di masjid itu. Imam Ahmad bin Hambal bilang, “Sejak kapan masjid punya aturan begini? Masjid itu rumah Allah, harusnya tidak ada istilah ditutup.”
Kata marbotnya bilang, “Oh tidak bisa. Kita mau pulang, kita mau kunci pintunya, nanti kita datang lagi jam 3”.
Ada sedikit pertentangan antara Imam Ahmad dengan marbot. Tiba-tiba ada kakek tua lewat, melihat ada perdebatan di keduanya maka kakek tua itu bilang, “Maafin saya motong. Ya Syekh, kalau kau memang butuh tempat untuk bermalam, silahkan bermalam di tempatku. Kau tidak perlu tidur di masjid ini, kau bisa melanjutkan perjalanan esok, kau ikut saja ke rumahku.”
Kata Imam Ahmad bin Hambal. “Ini beneran?”
Kata kakek itu, “Benar, kau tidak perlu tidur di masjid, kau cukup ikut aku ke rumah.”
Maka Imam Ahmad sepakat, berjalan ikut ke rumah kakek itu. Sepanjang perjalanan Imam Ahmad merhatiin kakek ini. Sepanjang jalan mulutnya tidak berhenti istighfar. Setelah sampai di rumah kakek, istirahat, saat mindahin barang tetap istighfar, pokoknya melakukan apapun kakek selalu istighfar.
Udah duduk santai, Imam Ahmad nanya, “Kenapa dari tadi kamu baca istighfar terus?”
Kakek itu jawab, “Nabi pernah bilang kalau orang baca istighfar, maka do’anya akan terkabul. Alhamdulillah aku lazimi istighfar semenjak aku tau hadits itu.”
Kata Imam Ahmad, “Memang hajatmu semua sudah terkabul?”
Kata kakek, “Alhamdulillah dari 3 yang saya minta, 2 sudah terkabul, tinggal 1.”
Kata Imam Ahmad, “Apa saja itu?”
Kata kakek, “Aku minta istri solehah, lalu Allah karuniakan aku wanita solehah. Alhamdulillah aku punya istri yang solehah luar biasa. Lalu aku minta pada Allah anak yang soleh, Alhamdulillah anak-anakku soleh dan solehah. Alhamdulillah aku tidak ada keluhan terkait istri dan terkait anak. Semua sesuai dengan yang kuharap.”
Kata Imam Ahmad, “Lalu yang ketiga?”
Kata kakek, “Yang ketiga ini memang belum diijabah sama Allah.”
Kata Imam Ahmad, “Apa itu?”
Kata kakek, “Saya do’a sama Allah tiap malam, sebelum saya wafat tolong pertemukan saya dengan Imam Ahmad bin Hambal.”
Subhanallah Imam Ahmad senyum dan bilang, “MasyaAllah sekarang Allah ijabah do’amu.”
Kata kakek, “Kenapa kamu bisa bilang Allah ijabah do’aku?”
Kata Imam Ahmad, “Karena yang di depanmu ini adalah Imam Ahmad bin Hambal.”
Merasa beruntung sekali rumahnya kedatangan seorang Ulama, seorang alim yang tentunya kita sama-sama tau bahwa beliau pencetus madzhab hambali. Kala itu tentunya bukan sembarang orang. Imam Ahmad tentu orang yang sangat dikagumi, sangat dicintai oleh orang-orang yang ada di zamannya. Itu semua buah dari istighfar.
Semoga kita juga bisa melazimi istighfar dalam diri kita.
Siapa yang ingin memperbaiki amalnya, membangun apa yang lewat dari hidupnya, maka hendaknya dia manfaatkan sisa waktu yang ada dengan melakukan kebaikan. Salah satu momen yang paling tepat saat ini adalah di bulan Ramadhan.
Semoga Allah memberikan taufiknya agar kita bisa mengerjakan kebaikan dan amal soleh sebelum ajal menjemput kita dan InsyaAllah memberikan kita kekuatan dan mengganti keburukan kita.
Sesungguhnya Dialah Allah yang Maha Dekat dan Maha Mengijabah semua do’a.
والله اعلم بالصواب