Tanggal : Rabu, 5 April 2023
Kitab : Ep.7(Imam Nawawi) & Nafahat Ramadhaniyah (Habib Muhammad Al Haddar)
Guru : Ustadzah Syarifah Aisyah Farid BSA
Tempat : MT Banat Ummul Batul
بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيْمِ
Bulan Ramadhan adalah bulan anugerah tapi banyak orang yang tidak mengenal dan tidak mengetahui arti nilai keberkahan yang ada di bulan Ramadhan ini.
Ramadhan bulan penuh keagungan. Yang dipenuhi oleh keagungan yang Allah tampakkan kepada kita, tapi lagi-lagi tidak banyak dari kita yang tau bagaimana melihat bentuk keagungan Allah SWT.
Perlahan-lahan, kita yang menghadiri pengajian dan majelis agama, dapat melihat bahwa masih banyak orang yang rajin beribadah, semangat ibadah mereka masih terjaga, mereka tetap melaksanakan tarawih tanpa putus, dan tetap tekun mengikuti rangkaian ibadah sepanjang bulan Ramadan. Namun, perlu diingat bahwa apa yang kita saksikan hanyalah sebagian kecil dari keseluruhan ibadah yang dilakukan oleh orang-orang soleh.
Tentu ibadah kita ini adalah upaya yang maksimal yang sudah kita berikan kepada Allah SWT. Namun apapun ibadah kita, baik puasa, tarawih, baca Qur’an, sedekah, apapun amal ibadah yang kita lakukan, yang kita merasa selama saya hidup ini adalah usaha terbaik saya dalam ibadah. Maka kita mau tau apa sih yang semestinya kita lakukan?
Bagaimana cara pandang kita terhadap amal agar kita ini tidak tertipu? Karena ada orang yang merasa dirinya sudah banyak berbuat.
Saat cara pandang dia merasa dirinya sudah banyak berbuat, ternyata cara pandang itu menghancurkan dia.
Dari amal itu, saat kamu merasa bahwa ibadah yang kamu lakukan itu kamu anggap sebagai amal yang besar, (contoh kita puasa, sholat maghrib, sholat tasbih, sholat isya, tarawih), maka ketahuilah amal itu menjadi ringan di mata Allah SWT. Ringan waktu ditimbang amal ibadah kita.
Jadi saat melihat amal itu kita tidak boleh menganggap amal itu besar. Kita belajar bagaimana para Ulama menyikapi amal-amal mereka.
Contoh, Al Habib Umar Muhdor (anak dari Imam Faqih Muqaddam), dia bilang begini, “Seandainya saya tau ada satu bacaan tasbih saya yang diterima sama Allah, saya akan menjamu penduduk tarim dengan makanan enak.”
Mereka tidak merasa puas meskipun telah banyak melakukan sholat malam, banyak mengaji Al-Qur’an, dan banyak bersedekah. Mereka tidak menganggap ibadah mereka sudah mencapai puncak, tetapi mereka selalu merasa bahwa apa yang telah mereka lakukan belum cukup. Oleh karena itu, dalam melakukan amal ibadah, kita tidak boleh merasa puas dengan apa yang sudah kita lakukan sebelumnya.
Seorang Imam Faqih Muqaddam yang memiliki julukan Imam Al Faqih (pakarnya ilmu fiqih, menjadi rujukan satu kota Tarim) apapun yang di lakukan Imam Faqih, maka dilakukan juga sama orang tarim.
Imam Faqih Muqaddam memiliki seorang anak yang dikenal memiliki penglihatan batin. Meskipun Imam Faqih juga memiliki penglihatan batin, anaknya memiliki kemampuan yang lebih tajam. Anak tersebut adalah Imam Muhdor, Abu Bakar Sakran, yang bukanlah orang sembarangan. Namun, Imam Faqih sadar bahwa ada satu anaknya yang memiliki penglihatan batin yang lebih tajam dari pada dirinya, yaitu Imam Alwi Al Ghuyur. Beliau memiliki kemampuan melihat pandangan dalam orang lain. Imam Alwi Al Ghuyur mampu melihat tulisan di dahi orang, yang menunjukkan apakah orang tersebut akan masuk surga atau neraka. Tulisan tersebut berupa kata-kata “said” atau “syagi'”.
Abahnya sekelas Imam Faqih Muqaddam punya istri namanya Zainab, punya julukan Ummu Fuqoro, ibunya fakir miskin. Artinya kalau sedekah tidak tanggung-tanggung. Setiap hari, tidak kurang dari 1000 potong roti diberikan dari rumahnya kepada orang-orang yang membutuhkan, dan beliau sendiri yang mengadon roti tersebut dengan tangannya sendiri. Meskipun begitu, beliau merasa bahwa dirinya bukanlah siapa-siapa.
Suatu hari Imam Faqih panggil anaknya, Imam Alwi. “Duduk sini nak, abah mau nanya. Yang kamu liat di jidat abah ini, abah orang mana? Orang surga atau neraka?”.
Imam Alwi jawab, “Bah, kamu itu manusia yang paling beruntung dari yang pernah beruntung.”
Tapi Imam Faqih masih nanya ke anaknya saking takutnya menjadi orang syagi’ (neraka). Karena mereka merasa amal mereka sedikit. Itu Imam Faqih menyikapi amalnya seperti itu.
Coba kita lihat contoh kebaikan dari sahabat Nabi, Sayyidina Abu Bakar As-Siddiq, yang memberikan kepada Nabi berupa kebun kurma yang sudah siap panen. Beliau memberikan kebun tersebut dengan penuh sukarela dan tanpa perhitungan.
Ada kisah lain tentang seorang sahabat Nabi, yaitu Abu Thalhah, yang dulunya memiliki sebuah kebun yang sangat indah dan terkenal. Kebun tersebut memiliki air yang sangat segar, sehingga orang yang minum air dari sumur di kebun itu merasakan kenikmatan yang luar biasa dalam menghilangkan dahaganya. Pada masa itu, hal seperti ini sangat langka.
Namun, setelah turunnya ayat yang menyatakan, “Kamu tidak akan mencapai kebajikan yang sebenarnya sampai kamu menginfakkan sebagian harta yang kamu cintai,” Abu Thalhah memutuskan untuk menginfakkan kebunnya yang dicintainya itu.
Kata Abu Thalhah, “Tidak ada yang paling saya cintai, selain kebun saya ini. Kebun saya yang palling indah ini. Ya Rasul, mulai saat ini kebun ini aku hadiahkan untuk kamu, terserah kamu mau apain aja. Pokoknya saya sudah tidak ada urusan sama kebun saya. Ini kebun sudah punya kamu Ya Rasul.”
Apakah mereka yang sudah melakukan itu semua mereka merasa sesuatu. Karena kalau mereka merasa itu sesuatu, mereka akan menjadi para pembesar sahabat yang sombong-sombong.
Saat mereka membesarkan cara pandang mereka (tentang amal), mereka pandang bahwa ibadah mereka besar, mereka takut nanti amal mereka ditimbang sama Allah, maka ibadah mereka bernilai kecil.
Cara pandang amal kalau kamu beramal walaupun sedikit, tapi kamu syukuri, saat kamu merasa yang kamu lakukan adalah bagian dari anugerah Allah, maka itu adalah anugerah Allah, bukan karena kebisaan kamu, maka sekecil apapun perbuatan baikmu itu nanti akan besar nilainya di timbangan Allah. Kenapa? Karena kamu merasa itu bukan karena kamu, tapi karena Allah SWT.
Jangan pernah kita menganggap amal itu besar karena yang kita lakukan besar.
Habib Ali Al Habsyi berkata, “Apa yang mau kamu banggakan? Ilmumu? Kehebatanmu? Siapa kamu kalau bukan Allah yang kasih kamu ilmu? Siapa kamu kalau bukan Allah yang kasih rezeki buat kamu untuk kamu mampu memberi kepada orang lain? Siapa kamu kalau bukan Allah yang memberimu kekuatan sampai kamu bisa melakukan satu perbuatan? Apa yang mau kamu sombongkan atas dirimu?”
Dalam melihat amal itu penting bagi kita sadari bahwa itu anugerah Allah SWT. Saat kita menghadirkan itu (adalah anugerah), maka kita jauh dari rasa sombong.
Do’a Habib Abdullah bin Husein bin Thohir, “Ya Rabb, kami tidak punya amal. Semuanya yang kami lakukan ini bisa jadi tidak ada artinya. Tapi kami masih punya harapan. Karena berharap kepadaMu satu-satunya tempat yang memang sepatutnya kami berharap. Yang mana harapan kami ini yang selama ini membangkitkan tulang belulang kami untuk terus beribadah kepadaMu. Engkau tidak akan menyia-nyiakan ibadah seorang hamba.”
Saat kita berharap kepada manusia, seringkali kita merasa kecewa. Saat kita berharap kepada orang lain, kadang-kadang kita bahkan menangis, apalagi berharap bantuan manusia. Namun, ketika kita berharap pada pertolongan, balasan, dan pemberian Allah SWT, itu memang sepatutnya kita lakukan. Kita seharusnya hanya berharap kepada Allah SWT .
Apakah orang yang rajin sama orang yang malas-malasan, sama? Tidak. Allah Maha Adil.
Atheis itu tidak percaya sama Tuhan. Tuhan itu tidak adil. Kenapa Tuhan menciptakan manusia baik dan buruk? Kenapa tidak semuanya dibikin baik? Kalau Allah ciptakan semuanya baik, untuk apa adanya ibadah? Kenapa Allah ciptakan neraka?
Saat Allah menciptakan, ada orang baik, ada orang buruk. Pertanyaannya kenapa Allah menciptakan ada orang baik dan orang buruk? Lalu kenapa juga Allah ciptakan surga dan neraka? Jawabannya sederhana, karena Allah ingin disembah dengan tulus. Allah ingin kamu sembah Dia dengan tulus.
*Pembahasan Kitab At Tibyan*
Bab 4. Adab Pengajar Al Qur’an dan Adab yang Belajar Al Qur’an.
Tujuan utama Imam Nawawi mengarang kitab At Tibyan agar pengajar dan yang belajar Qur’an tau adab.
Keselarasan antara guru dan murid terjalin ketika keduanya memahami adab. Namun, seringkali terjadi bahwa banyak guru yang menguasai adab dengan baik, tetapi murid-muridnya tidak memahami adab. Ini adalah kasus yang terjadi di beberapa situasi, meskipun tidak umum, tetapi memang ada. Meskipun kita jarang mengalaminya, namun kasus di mana murid memiliki adab yang baik sedangkan gurunya tidak memahami adab juga ada, meskipun jarang terjadi.
Secara umum, kita sering melihat guru yang berusaha keras mengajarkan adab kepada murid-muridnya, tetapi sayangnya murid-murid tersebut tidak sepenuhnya memahami konsep adab.
Adab pengajar Qur’an dan pelajar Qur’an :
- Meluruskan niat
Hendaknya bagi pengajar dan pelajar agar mereka semua ini dalam melakukan kegiatannya, mereka harus menjadikan tujuannya mereka semata-mata mengejar ridho Allah. Tidak ada tujuan dia mengajar kecuali untuk mengejar ridho Allah. Yang belajar begitu juga, tidak ada tujuan dia belajar segala hal dari ilmu Allah dan RasulNya, kecuali untuk mencapai ridho Allah.
Untuk orang tua, hati-hati dalam doktrin anak di usia kecil. Habib Umar dulu cerita, orang tua kalau sedang menyusui jaman dulu (kelas levelnya para Habaib yang banyak kita liat), Uminya kalau lagi nyusuin mereka itu sambil bilang, “Ya Allah jadiin anak saya Ulama, jadiin anak saya ahli taqwa, jadiin anak saya ahli sholat, jadiin anak saya ahli ilmu.”
Banyak orang tua saat ini mengandalkan menyusui agar anaknya tertidur. Namun, yang lebih memprihatinkan adalah ketika sambil menidurkan anak, ibunya sibuk dengan ponselnya sehingga kurang ada koneksi emosional. Meskipun anaknya tertidur, namun keterhubungan secara emosional terganggu. Hal ini menyebabkan tidak hanya matanya yang tertidur, tetapi juga hati mereka, dan pada akhirnya, ikatan batin antara anak dan ibunya juga ikut terganggu.
Padahal menyusui itu waktu bonding anak dengan ibu. Anak dipeluk, anak sedang merasakan kehangatan di pelukan ibu, dan ibu seolah-olah dalam menyusui itu mencurahkan kasih sayang. Tapi apa yang terjadi zaman sekarang? Yang dapat bukan curahan kasih sayang, bahkan anakmu saja tidak kamu hawil (perhatikan). Sambil menyusui, kamunya dengan gadgetmu. Makanya banyak muncul anak-anak generasi sekarang yang mereka tumbuh tapi mereka itu egois. Mereka itu punya jiwa nafsi-nafsi (masing-masing).
Makanya dari kecil orang-orang soleh ingin punya anak jadi Ulama, tapi tujuannya lurus, bukan karena gara-gara urusan dunia. Saat kita menanamkan paham itu (urusan dunia) kepada anak-anak kita, maka orang tua yang mengajarkan itu udah salah niat.
Menempatkan anak di pesantren dan mencari guru yang tepat adalah langkah yang baik. Tak perlu terlalu khawatir dengan masa depan anak , yang penting pesan ke anak hanya satu, “Jadi anak yang baik ya nak. Jadi anak yang dibanggain Allah. Jadi anak yang dibanggain Rasulullah. Karena kalau Allah dan Rasul bangga, mama juga bangga.”
Dorong anak untuk menjadi anak soleh/solehah, anak yang lurus, anak yang selalu mencari ridho Allah dan Rasul, maka tanpa ibu sadari ibu sudah mengajari dia sesuatu, yaitu lurus niat dalam menghamba Allah.
Hakikatnya baik pengajar maupun pelajar, termasuk kita semua sebagai seorang hamba Allah, Allah ingin kita menjadi seorang hamba yang mengabdi kepadaNya dengan tulus.
Untuk menjadi orang yang tulus itu perlu di uji. Orang tidak mungkin dianggap tulus kalau tidak ada action yang menunjukkan dia tulus. Apa bisa orang itu tulus hanya dengan ucapan? Ana cinta sama ente tulus, apa bisa dipercaya? Lalu tulus itu kolaborasi. Antara rasa cinta dengan perbuatan, bukan hanya ucapan.
Kalau kita baca do’a iftitah, apa dengan baca do’a iftitah saja kita bisa dianggap orang tulus? Tidak. Mana actionnya? Mana bukti yang katanya kamu menghadapkan seluruh anggota tubuhmu, jiwa ragamu kepada yang mengatur langit dan bumi ini?
Orang bertindak saja tapi tidak pakai cinta juga tidak bisa. Ada orang bertindak, tapi tidak ada tanda cinta. Dalam mengabdi kepada Allah, kamu tidak hanya diminta tanggung jawab, ini hati yang terlibat. Ikhlas itu letaknya bukan di mulut, tapi di hati. Kamu sholat, bukan tentang sholatnya, tapi apa sholatmu itu benar-benar murni hanya untukNya atau ada unsur yang lain?
Kita tidak diperintah, tidak disuruh, kecuali Allah mau kita menyembah Allah dengan benar-benar tulus hanya kepada Allah.
Dalam mengajar, belajar, dan segala perbuatan amal ibadah kita, tanpa tulus itu semua tidak akan jadi amal. Amal apa yang mau dibanggakan kalau tidak disertakan dengan ketulusan? Maka kita perlu hati-hati. Banyak dari kita yang merasa sudah beramal, tapi ternyata itu bukanlah amal di mata Allah SWT.
Nabi saw beliau bersabda, “Innamal a’malu binniyat wa innama likullimriin ma nawa.”
إِنَّمَا الْأَعْمَالُ بِالنِّيَّةِ
Hadits ini dijadikan sandaran pokok dari, “Sesungguhnya tiap amal perbuatan tergantung pada niat. Dan seseorang akan diganjar sesuai dengan apa yang diniatkan.”
Apa yang kamu lakukan sesuai dengan niatmu itu yang akan kamu dapat. Ini hadits menjadi pokok asal usul mula ajaran islam.
Jadi misal dalam sholat, tidak ada niat, maka tidak sah sholat. Puasa, tapi tidak ada niat, maka itu tidak sah puasa. Zakat, tidak ada niat, maka bukan zakat namanya. Dan masih banyak lagi dari amal ibadah kita yang lainnya jika itu tidak didasari dengan niat, maka tidak dianggap sebagaimana yang dilakukan.
Diriwayatkan dari Ibnu Abbas, “Sesungguhnya setiap orang akan diberi dari apa yang dia niatkan.”
Ada seseorang datang pada Habib Ali Al Habsyi, dia bilang, “Habib, saya mimpi ngeliat ada hamparan tanah luas dengan berbagai macam tanaman, tapi di satu sisi tanaman ini saya liat warnanya hijau banget, tapi di sisi lain tanamannya warnanya lebih muda, lalu saya dapati ada warna yang lebih muda lagi, dan saya amati pohon ini tidak bisa tumbuh ke atas. Kenapa itu Habib?”
Habib Ali Al Habsyi menjawab, “Yang kamu liat tanaman yang hijau banget itu adalah amalmu yang paling benar. Begitu warnanya lebih muda, itu amalmu yang kualitasnya dibawah yang tadi. makin warna tanaman itu semakin muda, itu artinya makin rendahnya kualitas amal yang kamu kerjakan. Semua sesuai dengan amal perbuatanmu. Kenapa tanaman itu tidak tumbuh ke atas? Itu adalah amalan kamu yang tidak diiringi dengan tartib. Bisa jadi kamu melakukan suatu perbuatan contoh sedekah, kamu sedekah ke orang yang jauh, sedangkan di dekatmu ada orang yang harusnya menerima sedekahmu. Ini adalah amal yang tidak diiringi dengan tartib. Dan tidak ada kesungguhan (niat) yang benar. Itu yang kamu lihat di mimpi kamu tanaman yang tidak bisa tumbuh ke atas.”
Orang-orang yang beramal tidak diiringi dengan tartib biasanya orang yang tidak memiliki penuntun, mereka hanya beramal dengan hawa nafsu, mereka hanya pakai akal mereka, mereka tidak dibimbing.
Jika anak cucu adam sholat, maka jika sholat itu dikerjakan dengan baik dan benar, sholat itu akan keluar dalam bentuk cahaya naik ke atas ke langit satu sampai ke langit ke tujuh, begitu sampai pada Allah, diterima sama Allah amal tersebut.
Jika sholat itu tidak dikerjakan dengan baik dan benar, sholat hanya sekedar kewajiban, atau sholat hanya ingin dipuji orang, maka yang keluar akan berupa awan hitam, naik ke langit satu sampai ke langit ke tujuh, lalu sampai pada Allah, maka Allah akan menyuruh malaikat untuk melemparkan amal itu ke pelakunya (ga diterima sama Allah).
“Amal dengan niat yang tidak baik tidak akan bisa sampai kepada Allah. Oleh karena itu, penting bagi kita untuk memperbaiki niat kita dalam segala hal.”
Saat kita menolong orang kalau tujuannya Lillah, maka tidak akan ada harapan ingin dibalas. Tapi kalau kita melakukannya karena urusan dunia, maka kita pasti berharap minimal terima kasih dari orang yang kita tolong.
Ada hal-hal yang perlu kita luruskan, yaitu niat kita dalam berbuat.
Imam Bushiri berkata, “Ikhlas itu adalah menyendirikan tujuan kepada Allah di dalam ketaatan satu-satunya. Disertai dengan niat dan tujuan hanya kepada Allah. Tidak ada yang lain.”
Seorang harus punya tujuan niat melakukan sesuatu hanya karena Allah, hanya ingin mendekat pada allah.
Contoh perbaikan:
Sebagai contoh, ada seseorang yang belajar ngaji dengan tujuan untuk mendekatkan diri kepada gurunya. Namun, gurunya tidak memberinya kesempatan yang dia harapkan. Jika niatnya tulus, dia akan tetap melanjutkan kegiatan ngajinya tanpa mempedulikan apakah gurunya tersenyum kepadanya atau tidak. Hal ini karena niatnya yang semata-mata ditujukan kepada Allah.
Imam Bushiri juga berkata, “Bisa dikatakan bahwa yang dimaksud ikhlas itu kita membersihkan diri kita dari hal-hal yang membuat kita bergantung pada makhluk.”
Kamu bukan bekerja karena diawasi orang, tapi level kamu bekerja karena pengawasan Allah. Ini memang orang-orang kelas atas. Kelas atas di mata Allah dan Rasulullah.
Kalau kamu kerja di satu perusahaan dan tujuan kamu kerja Lillah, kamu tidak butuh pengawasan dari atasanmu dalam bekerja, kamu cukup punya Allah sebagai pengawasmu.
Adapun pernyataan dari seorang Hudzaifah Al Mar’asyi, “Ikhlas itu adalah samanya amal perbuatan, baik luar maupun dalam.”
Artinya,
yang kamu lakukan dengan yang terselubung di hatimu itu sama. Tidak ada beda.
Perbaikan:
Contohnya, ada seseorang yang melakukan suatu tindakan, namun hatinya dipenuhi dengan kekesalan. Ini menunjukkan bahwa tindakannya tidak diiringi oleh kesungguhan batin, yang artinya tindakan tersebut tidak bersifat ikhlas.”
Perbaikan:
Jika seseorang melakukan sesuatu tetapi dalam hatinya merasa terpaksa, itu menunjukkan kurangnya ikhlas dalam tindakannya.”
Prinsip ini dapat diterapkan dalam hubungan rumah tangga, terutama dalam mengabdi (kepada pasangan). Jangan fokus pada kesalahan atau kekurangan suami, tetapi melihat segala sesuatu karena Allah. Dengan menjalani hidup ini karena Allah, (perspektif) batin dan tindakan luar akan selaras.
“Kadang-kadang kita suka menunjukkan kesan bahwa semuanya baik-baik saja di depan orang lain, sementara kekurangan atau kesalahan kita disimpan di dalam hati, yang hanya Allah yang mengetahuinya. Namun, jika kita renungkan dengan jujur, apakah itu fair? Ibadah yang kita lakukan untuk Allah seharusnya mencakup kedua aspek, baik yang kita tunjukkan ke publik maupun yang kita simpan dalam hati yang hanya Allah yang mengetahuinya. Bagaimana mungkin kita menganggap itu sebagai pengabdian kepada Allah jika di dalam hati kita menyimpan hal-hal yang buruk? Karena yang dilihat oleh Allah adalah apa yang ada di dalam hati kita, bukan hanya penampilan luar.”
Kadang-kadang kita menjadikan hati kita seperti tempat sampah di mana segala hal buruk dan negatif disimpan hanya di dalam hati. Meskipun kita terlihat ramah di luar, namun di dalam hati kita bisa saja merasa kesal, mengkritik orang lain, dan hal-hal negatif lainnya. Padahal, kita sadar bahwa hati adalah tempat Allah melihat kita.”
Allah tidak liat ucapanmu, Allah tidak liat kata-katamu, Allah juga tidak liat sejauh mana perbuatanmu dari apa yang sudah kau lakukan. Tapi Allah liat hatimu.
Jadi adil tidak, kalau kita dalamnya bicara buruk, luarnya baik? Tidak adil kepada Allah.
Itulah kenapa banyak orang terlihat baik di awal, lalu bertengkar pada akhirnya.
Yang namanya tempat sampah ada waktunya penuh. Kalau sudah penuh, nah siap-siap segala yang jelek akan ketahuan juga.
Ada do’a seorang Ulama, “Ya Allah jadikan yang nampak dari kami dengan yang tertutup dari kami, lebih baik yang tertutup. Dan jadikan yang nampak dari diri kami ini semuanya baik.”
Jika orang menganggapmu baik, maka bagus. Tapi jauh lebih baik jika kebaikanmu lebih dari apa yang mereka ketahui.
Hebatnya orang ikhlas itu, yang dia sembunyikan jauh lebih baik dari apa yang dia tunjukkan.
Ini tujuan kita dalam menuntut ilmu atau mengajarkan ilmu, yaitu membersihkan dalam (hati) kita untuk kita menunjukkan baiknya kita.
Kita ingin jadi hambaNya yang ihsan. Dalam beribadah itu tulus mengabdi kepada Allah.
Kalau kamu tidak bisa menghadirkan Allah dalam setiap amal ibadah yang kamu lakukan, maka cukup hadirkan dalam dirimu Allah yang Maha Mengawasi, Maha Melihat, Maha Tau, dan Allah melihat hati kita.
Pernyataan dari Dzun Nun Al Mishri, ada tiga tanda-tanda ikhlas :
- Bernilai sama antara pujian dan cacian
Dipuji ataupun dicaci, bagi kita sama. Ada orang muji, ada orang mencaci, maka senyumnya sama.
Orang soleh kalau dia tau ada orang yang suka ngomongin dia (ghibah), maka dia akan bilang, “Ahlan wa sahlan wa marhaban kepada orang yang paling menguntungkan saya di akhirat.”
Gimana tuh caranya anggap orang yang ngatain kita, jelekin kita, benci kita, lalu kita anggap dia sebagai orang yang paling menguntungkan kita di akhirat?
Setiap orang ghibah itu ngelemparin pahala ke orang yang diomongin. Artinya banyak keuntungan yang kita dapat dari orang-orang yang ngomongin kita.
Harusnya jangan kesal kalau diomongin. Justru kita bahagia karena keuntungan kita di akhirat banyak.
Dari Nabi, anak, sampai cucu, semua orang soleh, semua tidak luput dari omongan orang. Apalagi kita.
Cucu Nabi, Ali Zainal Abidin, diomongin orang malah ngasih duit. Yang fitnah dia malah dikasih duit. Yang ngatain dia malah dikasih duit sama dia.
Kalau ada orang yang ngatain kita, minimal kasih dia do’a. Bukan do’a keburukan. Minimal kasih do’a kebaikan.
Kalau kita do’a sama Allah, jangan do’a untuk orang yang menyenangkan kita saja. Tapi do’a juga untuk orang yang menjelekkan kita.
Kamu tidak perlu mengeluarkan uang untuk dia. Tapi masa ngeluarin do’a baik buat dia tidak bisa?
Ada doanya salah satu orang soleh, “Ya Allah ampuni kami, yang baik pada kami, yang buruk pada kami, dan yang dzolim kepada kami.”
Sugestikan kalau do’a itu untuk diri kita sendiri. Jangan untuk orang lain, meski kita sedang mendo’akan orang lain.
- Lupanya seseorang dengan amal perbuatannya.
Jadi abis dia berbuat, yaudah tidak dianggap tidak diingat. Kalau kamu berbuat baik ke orang, terus kamu berharap orang itu baik juga sama kamu, maka kamu kecewa. Kita kasih gunung, belum tentu dia kasih gunung juga. Bisa jadi kamu kasih gunung, dia balas kasih kamu kerikil. Apalah artinya kerikil kalau kamu bisa liat balasan Allah? Makanya lupakan.
Saat kamu betul-betul ingin menjadi orang baik, ingin memberi, ingin menolong, maka kamu harus siap untuk dibuang. Kamu harus siap untuk diabaikan, kamu harus siap menjadi kulit yang memang akan dibuang ke tempat sampah. Kamu harus siap. Karena tidak ada orang yang menyimpan kulit.
Semua orang itu kacang lupa kulit. Yang masih nyimpan kulit siapa? Tidak ada.
Kata Nabi SAW, “Orang yang paling mulia itu adalah yang paling melayani kaumnya.”
Saat berbuat baik maka hendaknya lupakan. Kalau kamu ingat, maka kamu akan sakit hati.
- Mengharapkan semua amal perbuatannya hanya dapat balasan di akhirat
Dia tidak mengharapkan apa-apa. Yang dia harap hanya balasan di akhirat. Dia memang tidak menunggu balasan di dunia.
Sayyidina Abu Bakar Assidiq waktu maksa Sayyidina Bilal bin Rabah untuk adzan. Di desak Bilal oleh Abu Bakar.
Sayyidina Abu Bakar bilang, “Adzan lagi bilal.”
Sayyidina Bilal jawab, “Waktu kamu merdekakan saya, tujuanmu untuk apa? Kalau tujuan kamu merdekakan saya waktu itu untuk Allah, maka jangan desak saya sekarang. Kalau saat itu kamu merdekakan saya untuk kamu menjadi tuan saya, maka saya akan adzan karena kamu adalah tuan saya.”
Sayyidina abu bakar bilang, “Kamu bukan budak saya. Saya tidak pernah merdekakan kamu karena saya ingin jadi tuan kamu.”
Kita belajar. Saat kita melakukan suatu perbuatan, kalau kita benar-benar ikhlas, maka kita lihat 3 tanda di atas.
Dan beginilah sepatutnya kita para pengajar dan penuntut ilmu, tidak ada yang kita cari selain karena ridho Allah SWT.
*Pembahasan kitab nafahat ramadhaniyah*
Istidraq wa tashih (melakukan perubahan). Saat kita ingin melakukan perbaikan dalam diri kita. Hidup kita bukan hanya tentang Rakib Atid yang mencatat amal kita, tapi juga ada Allah yang selalu mengawasi kita.
Siapa yang ingin mengejar ketertinggalannya, menghapus semua yang hal buruk yang sudah dia perbuat, maka hendaknya dia taubat.
Yang akan membuat seluruh anggota badan kita lupa bersaksi tuh hanya Allah. Bagaimana agar anggota badan ini tidak lupa untuk bersaksi? Caranya dengan bertaubat.
Apa itu taubat? Orang taubat itu harus mengikuti 3 syarat :
- Dia harus benar-benar menyesal sama dosanya.
- Benar-benar meninggalkan dosa itu.
- Dia pupuk tekad yang kuat.
Kadang-kadang dosa itu tidak menghampiri kita, tapi kita yang menghampiri mendekat pada dosa itu.
Saat kita punya tekad yang bulat untuk tidak balik pada maksiat, maka kita tidak akan balik.
Saat dia melakukan taubat dengan syarat yang disebutkan tadi, maka selanjutnya dia kembalikan sesuatu yang pernah dia dzolimi.
Contoh, kisah Habib Hasan bin Soleh Al Bahr. Tau orang yang dikenal datang ke majelisnya Habib Hasan datang hanya untuk nagih hutang orang dan profesi dia tuh rentenir. Dia tidak duduk ngaji, dia duduk aja di belakang. Nungguin satu orang yang ngutang, majelis juga disitu. Sudah selesai pengajian, dia tagih, selesai. Beberapa tahun kemudian singkat cerita, meninggal lah orang ini (yang nagih hutang/rentenir). Subhanallah beberapa bulan sebelum dia meninggal, dia berhasil mengembalikan semua uang riba yang dia makan dari pinjaman uang orang yang minjam ke dia. Semua dia pulangin uangnya, tanpa terkecuali. Habis dia pulangin, dia meninggal.
Datang orang nanya ke Habib Hasan, “Bib kok bisa ada orang sebegitu beruntungnya dikasih sama Allah peluang mengembalikkan haknya orang. Jadi dia tidak akan dituntut sama orang nanti di akhirat karena dia sudah selesaikan urusannya di dunia?”
Habib Hasan jawab, “Dia dapat berkahnya majelis. Dulu dia pernah datang ke majelis saya, tapi dia hanya duduk di ujung. Saat itu Allah turunkan rahmatNya, dan dia pun kecipratan. Kecipratannya itu membuat dia taubat, dia menyesal. Dia pulangin semua haknya orang. Dia wafat husnul khotimah.”
Kalau orang datang majelis niatnya hanya nagih utang saja dia bisa kecipratan barokah gitu, gimana orang yang datang majelis niatnya majelis? Niatnya mau memperbaiki diri? Niatnya mau jadi orang baik? Niatnya mau jadi orang yang dicinta Allah dan RasulNya? Pasti peluang dia husnul khotimah jauh lebih besar daripada orang yang datang hanya nagih utang.
Perbanyak istighfar di waktu siang dan malam.
Nabi SAW bersabda, “Bertaubatlah engkau kepada Allah karena sesungguhnya aku bertaubat kepada Allah dalam sehari 100 kali.”
Baca Subahanallah wa bihamdih subhanallahil adzim astaghfirullah 100 kali, baca setelah qobliyah subuh, sebelum sholat subuh.
Nabi SAW bersabda, “Beruntung bagi mereka yang mendapati di dalam catatan amalnya istighfar yang banyak.” InsyaAllah kita terus diberikan kesempatan oleh Allah untuk berbuat banyak kebaikan, sampai akhir hayat kita akan selalu diberikan taufik hidayah oleh Allah agar kita selalu berbuat kebaikan di jalanNya dengan penuh keikhlsan serta mencari keridhoanNya semata.
والله أعلم بالصواب