ATTIBYAN EPS 06
Ketahuilah bahwa dagingnya para Ulama beracun. Biasanya Allah mempermalukan para penghina Ulama dengan menunjukkan kekurangan mereka.

Tanggal  : Senin, 3 April 2023
Kitab      : At Tibyan Ep.6 & Nafahat Ramadhaniyah
Guru       : Ustadzah Aisyah Farid BSA

بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيْمِ ​

Alhamdulillah Allah telah memberikan kita kesempatan hidup sampai saat ini sehingga kita dapat merasakan nikmatnya ibadah, nikmatnya belajar, nikmatnya menuntut ilmu, nikmatnya kita berdzikir bermunajat kepadaNya, dan juga nikmatnya kita bisa merasakan ibadah puasa. Yang mana semua ini kalau kita betul-betul meresapi, dari semua rasa-rasa ibadah yang kita rasakan, maka kita akan menemukan di dalamnya kelezatan dan kenikmatan.

Puasa punya rasa, dzikir punya rasa, menuntut ilmu punya rasa, mengajar punya rasa, semua kebaikan yang kita lakukan itu masing-masing ibadah yang punya rasa.

Tapi kapan kita bisa merasakan rasa tersebut?

Kita bisa merasakan nikmat dan lezatnya ibadah itu kalau kita betul-betul menganggap Allah sebagai Tuhan kita seutuhnya, kita betul-betul menganggap Nabi Muhammad adalah utusan Allah sepenuhnya, dan apa-apa yang datang dari Nabi adalah semua itu benar adanya tidak ada dusta di dalamnya. Saat kita meyakini itu dengan sepenuh hati, maka rasa kelezatan dalam ibadah akan hadir di dalam hati kita.

Makanya ada orang yang mengaji Qur’an, tapi rasanya seperti makan madu, manis. Sampai dia takut baca Qur’an di tengah Ramadhan karena dia merasakan manis. Nah, itu manis bagi dia saat baca qur’an.

Ada orang begitu merasa gemar dengan belajar, sampai-sampai kalau lagi belajar itu seperti orang lagi khusyu’ nonton. Hebat kan kayak gitu? Jarang ada orang seperti itu.

Orang kalau nonton serius, diajak bicara tidak jawab, itu sudah umum. Tapi kalau lagi belajar sampai sebegitu seriusnya sampai kalau diajak bicara tidak jawab itu jarang.

Bayangkan hebatnya tv kalau kita tonton, ada orang lewat depan tv, mata kita tidak bergerak dari yang kita tonton. Malah orang yang lewat kita pukul karena mata kita yang sangat tidak ingin teralihkan.

Tetapi kalau kita menuntut ilmu, sehebat apapun terkadang rasa ta’dzim kita, rasa cinta kita kepada guru yang menyampaikan, kita masih terganggu sama orang yang lewat, telfon yang bunyi. Katanya kita sedang menikmati kajian, kita sedang benar-benar menuntut ilmu, tapi kita tidak sebegitu terhipnotisnya.

Tv itu hipnotis yang paling ringan untuk kita. Adegan-adegan yang tampil di tv yang kita tonton itu adalah adegan-adegan yang paling menghipnotis kita. Ada orang yang terhipnotis dengan adegan drama. Kalau lagi nonton drama, ikut nangis. Dia yang melakon pura-pura, kita yang sedih.

Makanya kenapa kita perlu menonton sesuatu yang baik dan bijak ? karena tanpa disadari apa yang kita tonton itu akan mempengaruhi pikiran kita.

Kenapa ibadah dzikir tidak benar-benar bisa kita rasa? Karena ternyata selama ini mungkin dalam ibadah, kita tidak betul-betul melibatkan pikiran.

Waktu kita dzikir, pikiran kita kemana-mana. Karena jika pikiran bisa terarah, maka hati akan mengikuti. Tidak ada orang hatinya dzikir, pikirannya kemana-mana. Begitu juga sholat, kalau pikirannya terarah, sholatnya masih khusyu’ karena hatinya mengikuti, pikirannya yang fokus.

Begitu juga pada orang yang menuntut ilmu. Pada saat dia menuntut ilmu, dia belajar, mendengarkan, menyimak dengan seksama, pikirannya fokus betul-betul tertuju pada ilmu yang sedang disampaikan, maka hatinya akan ikut. Hatinya akan siap menjadi hati yang menerima nasehat.

Jika pikiran dan hati ini sudah nyambung, maka akan muncul rasa di dalam diri kita. “Oh, ternyata begini rasanya sholat, ternyata begini rasanya menuntut ilmu, ternyata begini rasanya dzikir, ternyata begini rasanya bermunajat sama Allah.” dan rasa -rasa lainnya. Beraneka ragam rasa yang akan hadir ke dalam diri kita tergantung dengan bagaimana kita ini menghubungkan pikiran kita dan hati kita.

Seorang ulama bernama Syekh An Nawawi Al Bantani (Banten), beliau pernah berkata, “Para ulama itu mengatakan bahwa sesungguhnya setiap amal ibadah kita ini tidak akan ada yang diberi ganjaran oleh Allah sampai apa yang kamu baca kamu tau artinya.”

Contoh : Kita baca hadroh basaudan. Hadroh basaudan itu doa kan, munajat, ibadah yang kita lakukan, berarti ibadahnya dari doa. Kapan tuh hadroh itu bisa diterima sama Allah dan diberikan ganjaran? Kalau kamu tau artinya. Kalau kamu tidak artinya dari apa yang kamu baca itu atau yang kamu kerjakan, maka tidak ada ganjarannya disitu.

Kecuali, ada satu ibadah yang kamu tidak tau artinya, tapi kamu dapat ganjaran dari Allah. Apa itu? Al Qur’an. Baca qur’an. Baca qur’an tuh kamu ngerti ga ngerti, asal kamu baca, kamu dapat pahala. Belum paham nih artinya, kamu dapat pahala, ada nilainya.

Kata Ulama, “Kamu ga tau artinya ayat yang kamu baca, kamu tetap terhitung mendapat pahala dari Allah, kamu akan diganjar oleh Allah sesuai dengan huruf-huruf qur’an yang kamu baca.”

Memang pahalanya tidak akan sama dengan orang yang paham arti qur’an, tapi dengan bacanya saja sudah cukup mengantarkan kamu pada pahala. Kalau yang baca dengan awam dia bisa mengantongi pahala, bagaimana dengan yang baca dan paham? Tentu pahalanya akan jauh lebih besar, dan lebih bermakna bagi hidupnya dia dan lebih berguna bagi urusan akhiratnya.

Hampir separuh dari Ramadhan telah berlalu dari kita. Tak terasa waktu terus berjalan. Bagaimana bacaan qur’an kita? Masih kencang atau sudah mulai kendur? Kalau kira-kira kemarin khatam qur’an dapat 65 (khatam), kira-kira nanti berapa ya? Jangan sampai kurang dari 65 ya, harapannya bisa lebih dari 65.

Kalau sudah masuk malam nuzulul qur’an berarti separuh Ramadhan lewat. Tersisanya tidak banyak. Sudah lebih banyak yang kelewat daripada yang tersisa. Lebih mengingatkan kita lagi, kita memang harus mengikat pinggang kita lebih kuat lagi. Ibaratnya Nabi memberi perumpamaan ikat pinggang lebih kuat, lebih semangat lagi.

Kalau orang kita, bahasa “ikat pinggang” itu ngirit, agar tidak boros. Padahal bukan itu maksudnya.

Kalau Nabi bilang “ikat pinggang“, maksudnya “ikat sarung yang kencang“, tujuannya agar siap untuk ibadah.

Sudah hampir setengah Ramadhan, kalau mau beli baju lebaran, beli tidak apa-apa. Tapi jangan sampai ada tarawih yang kelewat, jangan sampai ada bacaan qur’an yang terabaikan. Tetap kita jalanin rutinitas kita. Kalau memang kita ada kegiatan lain di luar itu, tapi ibadah kita harus kita utamakan lebih dulu. Itu yang perlu kita ingat.

*Pembahasan Kitab At Tibyan*

Dari Sayyidah Aisyah r.a beliau berkata Nabi saw berkata, “Kami diperintah Rasul saw untuk menempatkan manusia pada posisinya (kedudukan) masing-masing.

Contoh : Kalau kita hadir majelis. Dalam majelis biasanya ada tamu vip. Diantara tamu-tamu vip itu ada orang-orang petinggi tentunya yang kenapa mereka disebut sebagai tamu VIP. Oh ternyata begitu ditanya, itu siapa? Itu istri gubernur, itu istri bupati, itu istri lurah. Mengapa mereka diprioritaskan untuk berada di barisan terdepan? Karena mereka memiliki posisi dan kedudukan yang penting.

Jadi kalau kita menemukan, ada Habib bikin maulid, ada kepala polisi diundang? Di dudukinnya di panggung. Bukan karena Habibnya muliain ahlu dunya, salah!. Kita justru diajarin sama Nabi memuliakan orang sesuai posisinya.

Kalau dia statusnya pejabat, berarti dia ketua dalam satu daerah. Perlu tidak dia diutamakan? Perlu. Jadi kalau kita lihat ada orang yang mengutamakan kepala wilayah, itu jangan bingung. Itu sudah menjalankan sesuai yang Nabi perintahkan.

Begitu juga mohon maaf kita liat ada orang berduit, orang kaya yang dikedepankan. Apa kita tunduk dengan orang itu? Bukan. Orang kaya itu dimuliakan karena dia punya kelebihan dari hartanya. Dia di tengah lingkungannya dimuliakan. Oleh karena itu, saat dia datang ke satu pengajian, dia tidak mungkin diabaikan begitu saja, pasti diberikan tempat.

Kadang-kadang mereka yang diutamakan itu juga karena kenal dengan pemilik acara. Kenal dekat, kenal baik dengan pemilik acara, saling menghargai antar pertemanan, menghargai antara jalinan hubungan.

Pada saat itu dilakukan, itu tidak selalu seperti hadits lain yang kamu baca redaksinya, “tidak boleh kita menundukkan kepala pada orang yang kaya. Karena barang siapa yang menghormati orang kaya, maka telah pergi darinya separuh agama.”.  Hadits ini konteksnya beda.

Bahasa “nunduk” itu bukan diiringi karena kekayaannya. Tapi kembali, menghargai posisi dia. Letakkan dia pada posisinya.

Ini umum, dari zaman Nabi, ketua-ketua suku itu sama Nabi didudukin di tempatnya. Di depan. Karena mereka ketua.

Jadi kita belajar disini, memposisikan seseorang pada posisinya itu justru anjuran islam. Bukan kita malah menyalahkan aturan islam.

Contoh : Katakan ada istri gubernur datang. Dia datang ngaji. Saya sebagai pengajar tau istri gubernur lagi ngaji. Duduknya dimana? Di belakang. Saya “bodo amat”, lanjut aja ngajar. Nah, yang jelek siapa? Secara frame yang jelek itu islam. Islam tidak tau menempatkan orang. Jadi kita harus paham di part-part seperti itu terkadang kenapa kita mengutamakan orang lain berbanding dengan mungkin kita yang cenderung tidak lebih diutamakan? Pasti dibalik yang diutamakan itu punya alasan. Bukan berarti dengan mengutamakan orang lain, artinya kita lebih rendah dari dia, tidak. Ini bahasannya beda.

Islam memang meminta kita memposisikan seseorang sesuai pada kedudukannya. Jika dia ketua dalam satu komunitas, berikan dia tempatnya ketua. Dan sebetulnya banyak orang yang mungkin tidak kita ketahui dengan posisi dia sebagai apa, dia siapa, padahal dia orang penting. Tapi dia mau duduk di keramaian orang. Mereka ini luput dari pengetahuan si pemilik. Tapi mereka tidak pernah mempermasalahkan karena mereka memang rendah hati. Bagi mereka, tujuan dia datang itu untuk mengaji, jadi mereka tidak butuh yang tidak penting. Itu adalah yang diharap dari setiap individu manusia dimanapun.

Yang jadi masalah adalah orang yang merasa tidak dihargai. Yang jadi masalah, orang yang datang tapi dia punya tipe yang ingin dianggap, ingin diterima, ingin diberikan ruang. Dengan yang seperti ini, kita perlu bermain cara. Karena dalam dunia berilmu, kita tidak boleh menjadi orang yang sikapnya sombong menyikapi mereka.

Mereka yang awalnya mencari kedudukan, mencari tempat untuk dimuliakan, mencari sesuatu, maka lambat laun saat mereka mendengar kajian, mereka membaur, mereka bersama, mereka menyatu, pada akhirnya mereka menerima ditempatkan dimanapun tempatnya. Kita mencari orang-orang yang seperti ini. Dan kita tidak menutup orang yang minta dihargai. Karena ini tempatnya kita semua belajar mencari ilmu, mempelajari ajaran Nabi. Jadi siapapun mereka, baik mereka yang masih meminta dihormati, masih meminta untuk dihargai. Selagi kita masih bisa memberikan tempat, masih bisa memberikan mereka kesempatan, maka kita akan selalu mencoba berbagai macam cara untuk mereka tetap mau datang mengaji disini.

Rasulullah saw mengedepankan mereka. Orang-orang jauh, orang-orang petinggi yang datang. Nabi tidak pernah menutup diri untuk mereka. Selagi dia mau datang ingin mengenal islam, maka kita berkewajiban untuk mengenalkan islam pada mereka. Bukan justru, ‘kalau gak niat, keluar’. Bukan begitu.

Bahkan sejauh ini dalam menjamu orang-orang menuntut ilmu, berapa banyak orang yang kecewa? Pergi tak kembali. Kalau ditanya kenapa? Kecewa. Kecewa dengan suguhan, kecewa dengan perlakuan, pelayanan, dan lain sebagainya. Saya tidak menyalahi yang kecewa, karena mereka imannya memang masih lemah makanya kecewanya sama manusia. Mudah sekali mereka kecewa sama manusia.

Maka kita harus paham dibalik kita memposisikan orang. Karena kalau kita tidak paham dan saya tidak jabarkan se-detail ini sama ibu-ibu, ibu tidak akan terbuka pikirannya. Ibu tidak tau alasan sebenarnya.

Ilmu itu penting. Karena dengan berubahnya zaman, ilmu itu makin dibutuhkan. Yang mana kamu liat zaman sekarang, orang itu perang sama ilmu. Zaman ini lagi tarik-tarikan sama ilmu. Yang zaman ini lagi narik orang keluar dari agama. Yang ilmu narikin orang jangan keluar ‘kami akan berikan kerenggangan yang bisa kami berikan kepadamu, asal kamu tidak keluar dari jalurmu’.

Ternyata zaman betul-betul fatal kalau orang terjun di zaman sekarang dengan tangan kosong, tidak punya bekal. Kamu punya iman, sebentar saja akan terjual. Naudzubillah min dzalik ..

Kalau kamu mau perang dengan zaman sekarang dibekali dengan ilmu, maka kamu bisa bertahan bahkan kamu bisa menang. Dan itulah yang sekarang sedang kita berikan pemahamannya.

Para syarifah tidak ada yang menitip anak pada ibu (neneknya). Tidak bisa nitip anak ke ibu. Dia yang besarin, dia yang rawat, dia yang urus. Dan seiring berkembangnya zaman mereka dapat kita sentuh untuk ‘ayo ngaji, ayo belajar, ayo kenal agama.’

Nabi saw minta kita jaga mereka, kenalin mereka, perhatikan mereka (para syarifah). Maka atas dasar itulah mengapa area depan ini saya lebih spesialkan untuk mereka.

Kenapa Ustadzah? Memposisikan orang pada posisinya. Mereka dzurriyat, keturunan Nabi. Pasti mereka punya kedudukan lebih. Seperti apapun mereka, berikan mereka posisinya dulu. Agar mereka tau bahwa mereka itu diterima. Kalau mereka itu disambut. Alhamdulillah cara itu mengena ke mereka. Yang tadinya mereka tidak bisa makan di nampan, jadi bisa makan di nampan.

Ibu-ibu yang berlapang dada membiarkan mereka menyelami rasa ilmu ini dengan sendirinya. Lalu memberikan mereka posisi di depan. Dimana mereka betul-betul bisa menyimak, betul-betul menyaksikan, betul-betul merasakan atmosfirnya dalam menuntut ilmu, sehingga pada akhirnya berbekas di diri mereka dengan sendirinya.

Kita yang sudah menuntut ilmu jangan sampai kita merasa dengan ilmu yang kita punya, kita mudah menolak orang. Justru ilmu yang kita punya ini membuat peluang lebih dan bisa memberikan peluang lebih kepada orang yang tidak kenal ilmu jadi mau kenal ilmu.

Hati tuh yang lapang. Kalau majelis duduknya sempit, kita disuruh lapangkan lagi. Semoga saat kamu memberikan kelapangan bagi orang lain, suatu saat di saat kamu sulit, Allah yang berikan kelapangan bagimu.

Jangan sampai orang yang pertama kali datang ke majelis ilmu punya kesan yang tidak enak, merasa kurang diterima, merasa kurang disambut, merasa kayaknya kita pendosa banget.

Banyak keluh kesah orang-orang yang datang ke majelis, mereka merasa diri mereka itu tidak pantas. Karena banyaknya orang yang sudah bermajelis merasa diri mereka terlalu pantas. Naudzubillah min dzalik..

Ada sebuah cerita. Di Amerika ada seseorang sedang buat tabligh akbar. Kala itu penceramahnya adalah tokoh yang sangat popular dan sangat dikenal. Bikin acaranya saat itu di stadion. Tiba-tiba ada perempuan dua orang datang mendekat kepada panitia pendaftaran. Subhanallah, yang datang ini pakai baju ketat bukan main, seksi pokoknya, kerudung pun tidak pakai. Begitu dia mau tulis namanya, panitia keganggu dengan bajunya. ‘Ini orang mau hadir kajian apa mau kemana’, dalam hatinya gitu.

Salah satu dari panitia bilang, ”kita tidak bisa terima dia kayak begini. Baju ketat, tidak layak untuk masuk ke dalam pengajian. Masa kita mau biarin dia begitu aja.” Tapi kata temannya yang satu lagi, “ini yang ngurusin ini panitia yang satu lagi.” Perang batin. Terima atau tidak terima. Akhirnya salah satu panitia inisiatif mencari selendang panjang, paling tidak untuk menutup kepala dia. Dapat selendang, dikasih ke dua orang itu, di data namanya, dia masuk ke dalam.

Subhanallah, saat acara berlangsung, tiba-tiba di tengah acara berlangsung perempuan yang pakai baju ketat ini mengacungkan tangan mau bertanya. Kalau acara di stadion itu kan kalau ada yang bertanya, pasti disorot kamera dan masuk layar besar. Setelah dia acungkan tangan, dan diterima sama ulama yang sedang berbicara saat itu, akhirnya dia ngomong, “Demi Allah, aku datang kesini hakikatnya aku belum islam. Aku adalah orang yang mencari tau tentang islam. Dan akhirnya pada hari ini aku diperbolehkan oleh panitia untuk masuk dan hari ini setelah mendengar kajianmu, hatiku semakin mantap dan aku ingin masuk islam.”

Itu panitianya nangis dengar itu. Keesokan harinya dia cerita sama Syekhnya. Kata dia, “Demi Allah, Syekh aku tidak menangis karena aku bangga membiarkan dia masuk akhirnya dia jadi islam. Tapi aku menangis karena Allah masih menyelamatkan aku untuk tidak bersikap aneh aneh kepada seseorang yang ingin mengenal islam. Andai aku menolaknya saat itu, berarti aku sudah menolak jiwa yang ingin mengenal Allah, berarti aku menolak orang yang ingin mengenal islam. Aku bukan menolak dia yang berpakaian ketat, tapi aku sedang menolak orang yang ingin mengetahui siapa Tuhannya. Aku menolak karena kesombongan dan keangkuhanku karena merasa aku lebih baik dan dia lebih buruk.”

Kalau kita pikir, mungkin banyak orang-orang yang mau mengenal agama, mau datang belajar, mau datang menuntut ilmu, tapi kadang-kadang kacamata kita ini yang begitu kerdil. Kadang-kadang melihat orang dari sudut pandang kita saja. Yang belum tentu pandangan itu benar adanya.

Hakikatnya ini bukan tentang siapa mereka yang mau mengaji. Kalau kamu sudah buka tempat untuk ngaji, maka siapapun orang boleh datang untuk ngaji.

Saya bikin Cahaya Hijrah (event). Kenapa Ustadzah biarin artis-artis yang nyanyi? Karena saya memang bikin wadah itu untuk artis yang tidak tau ngaji, jadi mau ngaji nantinya. Yang tidak tau Nabi, jadi mau kenal Nabi. Yang tadinya tidak kenal Allah, jadi mau kenal Allah. Kadang orang pengajian itu merasa dirinya yang paling benar saja. Ini yang sangat disayangkan.

Dari hadits ini, Nabi berkata pada Sayyidah Aisyah. Nabi menyuruh Sayyidah Aisyah. Pertanyaannya, ada tidak orang yang lebih tinggi posisinya dari Nabi? Ada tidak orang yang posisinya lebih tinggi dari istri Nabi? Tidak ada. Tapi kenapa Nabi masih pesan? Nabi yang berucap, manusia yang paling tinggi posisinya, tapi masih memperhatikan posisi orang lain, masih menempatkan kedudukan orang lain, dan berpesan kepada istrinya bahkan untuk menempatkan manusia pada tempatnya. Hebat. Walaupun Nabi SAW memiliki kedudukan seperti itu, Nabi tidak pernah menganggap dirinya sudah berada pada puncaknya.

Kita yang baca hadits ini sekarang diingatkan, kesombongan apa yang mau kita banggakan? Toh buktinya dalam hadits ini saja Nabi menyuruh kita untuk melihat kedudukan orang lain, jangan cuma ingat pada kedudukanmu saja, jangan cuma ingat harga dirimu saja. Jika kita masih terfokus pada diri sendiri dan kedudukan kita, itu menunjukkan bahwa kita belum benar-benar berhasil menerapkan dari ilmu yang telah kita pelajari.

Hadits yang diriwayatkan dari Jabir bin Abdillah r.a. katanya Nabi saw, mengumpulkan dua orang korban dalam peperangan uhud. Kemudian dua orang ini yang dikumpulkan sama Nabi, ditanya ke sahabat yang lain. “Dari kedua ini yang kalian tau, siapa dari mereka yang paling banyak hafal, paham, dan belajar qur’annya?”. Maka sahabat menjawab, “Dia, Rasul. Dia yang lebih paham qur’annya”. Maka saat Nabi tau dia yang lebih paham qur’annya, maka Nabi utamakan dia lebih dulu dalam urusan kuburnya. Bahkan mereka sesama mati syahid, Nabi masih bertanya, siapa dari mereka yang paling banyak belajar qur’annya.

Hidup dihormati, wafat dihormati, nanti dibangkitkan juga begitu, dihisab juga begitu, masuk surga juga begitu. Qur’an selalu menjadi penolongnya.

Riwayat dari Abu Hurairah r.a., Nabi saw bersabda, “Allah swt berfirman, barang siapa yang menyakiti wali-waliku (kekasihnya Allah), berarti orang tersebut telah menantangku untuk berperang.” Hadits Qudsi

Wali disini memiliki arti luas. Wali bisa orang yang menjadi khalifah di muka bumi. Siapa mereka? Orang yang menegakkan hukumnya Allah, yang menegakkan syariatnya Allah, yang berjalan dengan jalannya Rasulullah, mereka yang menjadi kekasihnya Allah.

Berkata Imam Abu Hanifah dan Imam Syafi’i, “sesungguhnya Nabi saw bersabda, barang siapa orang yang sholat subuh, maka orang tersebut telah mendapat tanggungan (jaminan) dari Allah SWT. Oleh karena itu janganlah kamu menyebabkan Allah menuntut pertanggung jawaban atas tanggunganNya.”

Maksudnya, kalau kamu sudah sholat subuh berjama’ah, kamu aman. Kamu sudah tidak perlu lagi nuntut apa-apa dari Allah atas apa yang sudah Allah janjikan terhadapmu.

Sebagian ulama yang menafsirkan hadits ini, sholat subuhnya itu sholat subuh berjama’ah. Tapi ada juga yang bilang, yang penting sholat subuh. Orang kalau sudah sholat subuh berarti dia berada dalam jaminan Allah. Makanya hati-hati kalau ninggalin sholat subuh.

Sholat subuh punya jaminan khusus dari Allah. Orang kalau sudah mengerjakan sholat subuh, sudah tidak usah berani mempertanyakan lagi sesuatu yang sudah Allah jaminkan untuknya. Jaminannya Allah apa?

Jaminan Allah atas orang yang mengerjakan sholat subuh :

  1. Allah jaga dia,
  2. Allah pelihara dia,
  3. Allah akan tuntun dia dalam mengerjakan taat kepadaNya,
  4. Allah jauhkan apa-apa yang dilarang olehNya,
  5. Allah memberi jaminan terhadap rizkinya.

Banyak dari kita yang seret rezekinya karena perkara tidur habis subuh. Habis sholat subuh, tidur, bikin rezeki seret. Apalagi yang tidak sholat subuh.

Ada cerita. Ada satu Habib tidur di rumah orang biasa. Nih orang ngomong, “ini Habib kok abis subuh setengah 6 tidur. Kan katanya tidur abis subuh kan gak baik.” Qodarullah, Habib abis bangun nih sarapan. Nih Habib ngomong, “ente itu kalau habis subuh jangan tidur lagi, ente kalau habis subuh keluar, ente gak boleh tidur, rezeki ente nanti seret.”

Dalam hati yang punya rumah, ‘kok saya yang dinasehati? Kan yang tidur abis subuh dia.’. dia ngomonglah ke Habib, “Bib maapin nih, ane biar gak dosa.” Kata Habib, “kenapa?”

Dia ngomong, “Habib nyuruh ane gak boleh tidur abis subuh, Habib sendiri tidur.”

Habib jawab, “ane tugasnya itu ngajar. Ulama, bukan pebisnis. Ente tugasnya nyari duit. Kalau nyari duit, bahaya tidur abis subuh. Kalau ulama, tidur abis subuh gak bahaya, ulama gak nyari duit. Ane gak punya usaha juga, ane cuma ngajar.”.  Dia tidak bisa jawab lagi. Makanya jangan pernah suudzon sama ulama.

Kalau orang habis sholat subuh tidur bisa menyebabkan rizki seret, sulit, susah, hilang barokah, apalagi yang tidak sholat subuh. Yang tidak sholat subuh, kalaupun dia dapat rezeki, misal dia dapat uang, tapi sudah pasti mereka orang-orang yang tidak punya rizki batin. Naudzubillah min dzalik.

Dari Imam Abu Hanifah dan Imam Syafi’i, mereka berkata, “jika para ulama itu bukan walinya Allah, maka sudah pasti tidak ada wali selain dari mereka.”

Sudah pasti yang namanya wali Allah itu ulama. Walinya Allah sudah pasti dari ulama.

Jadi makna ‘siapa yang menyakiti walinya Allah’, yaitu siapa yang menyakiti ulama.

Siapa yang menyakiti ulama, maka berarti dia siap diperangi Allah. Allah yang menjadi taruhannya. Hati-hati.

Dari Imam Al Hafidz, julukannya Abu Qosim bin Assakir rahimahullah, biasa dikenal dengan ibn Assakir. Beliau berkata, “ketahuilah wahai saudaraku, semoga Allah memberikan kita taufiqnya, menuntun kita selalu berada dalam ridhoNya, Aamiin Ya Rabbal Alaamiin .. selalu menuntun kita untuk senantiasa bertaqwa kepadaNya dengan sebenar-benarnya taqwa. Ketahuilah bahwa dagingnya para ulama beracun. Dan kebiasaannya Allah merobek, menutup para penghina ulama dengan kekurangannya.”

Orang yang kerjaannya menjelekkan Ulama, tungguin aja. Keburukan dia, Allah yang paling punya kebiasaan membongkar semuanya. Dia punya sesuatu yang dia tutupi, lalu orang menganggap dia “orang baik”, maka Allah bisa sekejap mata mengubah dia menjadi orang yang dikenal buruk. Sebabnya gara-gara lisan yang terbiasa mencela ulama.

Barang siapa yang lisannya sering mengejek para ulama, maka Allah akan menimpakan bala’ sebelum datangnya kematian dengan hatinya yang mati. 

Perhatikan, siapa dari kita yang susah meneteskan air mata, siapa dari kita yang susah untuk diberi nasehat, siapa dari kita yang merasa keras di dalam sikap, ini adalah tanda-tanda hati mati. Makanya jangan senang jadi orang (yang memiliki karakter) keras.

Kalau diberi tau itu susah mendengarkan, kalau diberi nasehat air matanya susah menetes, maka itu tanda-tandanya hati mati. Dan boleh jadi orang yang paling-paling kena sama penyakit ini, orang yang lisannya kepleset menjelekkan ulama.

Sudah sepatutnya kalian orang-orang yang menyimpang, yang menyalahi perintah Rasul, yang menyalahi perintah Allah, kamu sepatutnya takut akan siksanya Allah atau terkenanya fitnah.

Wallahu a’lam bi showab

*Pembahasan Kitab Nafahat Ramadhaniyah*

Selain catatan yang dicatat oleh malaikat Rakib dan Atid, ternyata Allah memiliki catatan yang lain dari amal perbuatan yang kita lakukan. Catatan yang tidak dicatat oleh Rakib dan Atid. Karena hari itu dimana Allah SWT memberikan gambaran pada kita, hari itu hari dimana mulut ditutup, mulut tidak bisa bicara. Berarti hari itu, di akhirat mulut dibungkam.

Allah punya catatan lain, dimana Allah sendiri yang menjadi pengawasnya. Karena semua apa yang dibuat oleh tangan boleh jadi tidak dicatat oleh malaikat.

Tangan bicara, kaki menjadi saksi. Kalau kata Ulama, “semua anggota tubuh kita ini memiliki memori yang merekam semua kejadian yang terjadi dalam hidup

Orang lain bersikap sama kita aja itu rekaman ada sama kita. Apalagi kita yang melakukannya sendiri. Boleh jadi kamu lupa, tapi Allah SWT tidak akan pernah melupakannya karena semua yang terjadi itu tercatat dengan rapi di dalam catatanNya.

Kalau orang belajar salah satu ilmu dunia sekarang, orang-orang yang punya penyakit mental sekarang itu kalau ditelusuri usut punya usut, maka akan ketemu masalah yang namanya inner child (masalah masa kecil). Ya, masa kecilnya punya masalah. Pada saat ditelusuri, masalah yang ada dan terjadi pada masa kecilnya ini, ada sebagian dari mereka kasusnya bukan terjadi waktu mereka lahir. Tapi terjadi waktu mereka di dalam kandungan ibunya. Ada anak lahir langsung punya trauma.

Contoh, kalau anak ketemu orang baru takut. Nah itu ada pemicunya. Salah satu pemicunya adalah waktu dia lagi di kandung, ibu bapaknya bertengkar. Bapaknya suaranya tinggi. Terjadi pertikaian antara mereka berdua, lalu terucap dari mulut si bapak, “gua nyesel nikah sama lu. Nih anak bukan anak gua.” Nah, itu disitu ada goncangan terhadap janin.

Maka, Islam mengajarkan kepada ibu hamil untuk melakukan ibadah dengan menepuk-nepuk perutnya dan mengajak anaknya untuk shalat. Bahkan saat kamu sedang bertengkar, anak dalam kandungan sudah mengetahuinya, apalagi saat sedang melaksanakan shalat.

Ini ilmu dunianya. Ilmu dunianya ditemukan sekarang. Ternyata ketika kita kaji ini dengan qur’an, relate ya.

Sebagaimana Allah mengatakan, “hari dimana mulut dibungkam, tangan kaki menjadi saksinya. Tangan bicara, kaki menjadi saksinya atas apapun yang terjadi. Atas apapun yang diperbuat.”

Wahai ibu yang hamil, begitu janinmu sudah ditiup ruh, jaga ucapan, jaga sikap, jaga semua karena anakmu sudah menyadari apapun yang kamu perbuat.

Ibu tau kenapa banyak anak lahir dengan kelainan sikap? Misal anak perempuan kenapa jadi seperti anak laki, anak laki kenapa jadi gemulai. Ada pemicunya. Saat dia dijanin, ibunya sering ngomong, “perempuan ya perempuan ya nak.” Eh ternyata yang lahir lakilaki. Begitupun sebaliknya.

Kalau mulut nanti dibungkam, tangan bicara, berarti akan ada perhitungan yang lain. Selain dari buku catatan amalmu. Artinya ada sesuatu yang Allah tanyakan pada kita. Lalu apa gunanya pengampunan Allah? Dimana letak pengampunan Allah? Jika Allah mengampuni kita, bagaimana sifat pengampunannya?

Kata ulama, “Allah SWT jika mengampuni kita di akhirat, apakah itu menghapus dosa-dosa kita yang sejatinya ada dari perbuatan kita selama hidup?” Rekamannya tetap ada. Tapi di akhirat, kamu dibuat lupa. Jadi bentuk pengampunan Allah kepadamu itu hari dimana tangan bicara disaksikan dengan berjuta manusia dari zaman Nabi Adam sampai Nabi akhir zaman, hari itu tanganmu ketika ingin bicara, tidak bisa bicara. Apa yang mau diucap? Tidak ada. Siapa yang buat jadi seperti itu? Allah SWT. Karena kuasanya ada sama Allah.”

Waktu Allah tanya kakimu, kaki yang menjadi saksi atas apa yang kamu perbuat, dibuat lupa oleh Allah. Rekamannya tetap ada. Tapi yang membuat itu terlupakan adalah Allah.

Saat Allah membuat itu terlupakan, yakni maknanya Allah mengampuni kesalahan, Allah menutupi kekurangan, Allah menutupi cacat, Allah menjagamu dari terhinanya kamu di mata orang lain. Maka penting bagi kita meraih ampunan Allah SWT. Apalagi di Ramadhan ini kesempatan kita besar. Maka jangan kita hanya terfokuskan pada catatan yang tercatat oleh Rakib Atid sampai kita lupa seolah hati kita ini banyak berkata-kata yang Rakib Atid tidak mampu melihatnya, tapi ada yang Maha Melihat, ada yang Maha Mengawasi, yaitu Allah SWT.

Kesalnya kita, tidak senangnya kita dengan siapapun, Rakib Atid tidak tau. Tapi Allah tau. Kalau tidak diucap, Rakib Atid tidak tau. Walau mata kamu sudah sinis ke orang yang kamu tidak suka, Rakib Atid tidak akan tau, tapi Allah sudah pasti tau.

Ingat pada hari ketika musuh-musuhnya Allah digiring ke neraka, mereka dipisah-pisah. Sampai begitu mereka masuk ke dalam neraka, maka pendengaran, penglihatan, kulit mereka, semua menjadi saksi terhadap apa yang mereka perbuat.

Mata di neraka bisa khianat. Hidung juga begitu, bahkan kulit bisa khianat terhadapmu. Mereka semua membongkar semua yang kamu lakukan. Allah yang menjadikan mereka dapat bicara. Semua akan nurut sama Allah.

Dialah Allah yang menciptakan kamu yang pertama kali dan hanya kepada Allah kita semua Kembali.

Disini kita diingatkan, yang dicatat oleh Allah, itu diluar dari yang dicatat Rakib Atid. Maka penting bagi kita betul-betul menghadirkan Allah dimanapun kita berada. Menghadirkan Allah dimana tempat kita berbuat, dimana tempat kita melakukan segala hal, bahwa sesungguhnya pengawasan Allah tidak pernah luput kepada kita semua. Dia Allah yang selalu mengawasi kita, maka sudah sepatutnya kita menghadirkan pengawasan Allah agar tidak seorangpun dari kita mudah berbuat maksiat.

والله اعلم بالصواب