ATTIBYAN-EPS. 05
Jika seseorang tidak menghormati Al-Qur'an, penghafal Al-Qur'an, orang yang mengajarkan Al-Qur'an, dan pengamal Al-Qur'an, maka itu menandakan bahwa hati orang tersebut tidak memiliki taqwa.

Tanggal          : Kamis, 1 April 2023
Kitab               : At Tibyan EPS. 05 . Kemuliaan Pengemban Al Quran & Larangan Menyakitinya
Karya              : Syekh Imam Nawawi & Sayyid Al Maliki
Guru               : Ustadzah Aisyah Farid BSA
Tempat           : MT Banat Ummul Batul

بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيْمِ ​

*Pembahasan Kitab At Tibyan*

Bab 3 Kewajiban menghormati orang yang menghafal Al Qur’an atau yang mengamalkan Al Qur’an,

Disini termasuk Ulama yang mengajarkan Al Qur’an untuk Menghormati para pecinta, para pengamal, para penghafal Al Qur’an, dan kita diajarkan untuk tidak menyakiti mereka.

Pertama kita diajarkan menghormati, kedua kita diingatkan bahwa hormat saja tidak cukup jika menyakiti juga. Tapi kita diminta untuk menjadi orang yang menghormati dan orang yang tidak menyakiti. Karena menyakiti mereka tentu memiliki dosa yang sangat besar.

Allah SWT berfirman, “Barang siapa yang mengagungkan syiar-syiarnya Allah, maka sesungguhnya itu tanda dari ketaqwaan di hati.

Artinya bila ada orang yang tidak menghormati Al Qur’an, tidak menghormati penghafal Al Qur’an, tidak menghormati orang yang mengajarkan Al Qur’an, tidak menghormati orang yang mengamalkan Al Qur’an, maka tandanya di hati orang itu tidak memiliki taqwa.

Karena orang yang memiliki taqwa akan muncul suatu sikap, sikapnya dia akan menghormati syiar-syiarnya Allah. Dan Al Qur’an termasuk syiarnya Allah, mukjizatnya Nabi SAW.

Maka orang yang dihatinya memiliki taqwa akan muncul satu sikap, sikapnya apa? Respect dengan Al Qur’an. Tidak meletakkan Al Qur’an di sembarang tempat, begitu melihat Al Qur’an dia peluk erat, ini bentuk dari menghormati Al Qur’an. Jika dihatinya memiliki taqwa, maka dihatinya akan muncul respect.

Makanya kita temui orang yang baru pertama kali mengaji, dia ketemu Ustadzah datar aja, cuek aja. Kadang-kadang salamannya masih di jidat, sikapnya datar. Terlihat karena dasar taqwanya tidak ada, belum ada. Coba datang kali kedua, ketiga, keempat, atau kelima. pada saat dia diiringi dengan ilmu, ada sesuatu yang bertambah dalam dirinya, yaitu tambah taqwa. Maka saat taqwa itu ada, dia mulai bisa menghargai gurunya, dia bisa menghargai ulama, dia bisa menghargai ilmu.

Cium tangan itu barokah. Cium tangan adalah bentuk dari kerendahan hati seorang murid di hadapan gurunya. Maka saat ia tau sudah mulai belajar, berubah (cara) cium tangannya.

Ada orang yang mungkin salaman niatnya untuk eksistensi saja.Tangan yang dicium yang tersentuh oleh hidung ini, akan tau mana salaman serius dan yang tidak. Mana yang mencium tangannya untuk mengalap berkah, dan mana yang mencium tangannya untuk menunjukkan eksistensi.

Yang namanya orang mengagungkan syiarnya Allah yang muncul dalam dirinya adalah ekspresi dari hasil taqwa. Maka yang muncul adalah tawadhu. Kitanya merendah, kitanya merasa rendah, kitanya merasa kerdil, kitanya merasa tidak punya apa-apa. Ini bukan diminta, ini mengalir, ini bukan dibuat-buat.

Misalnya, di tengah keramaian saat orang-orang sibuk mengalap berkah dengan mencium tangan Hubabah, mereka baru berada pada tahap ingin mengalap berkah. Namun, bagi kita, murid-muridnya, tidak lagi sebatas mencium tangan. Mengapa? Karena kita melihat keberadaan Allah dalam diri guru kita dengan cara yang berbeda. Sehingga, apa yang muncul bukan hanya rasa hormat, tetapi yang lebih kami tekankan adalah adab. Karena sosok ini bukanlah orang sembarangan.

Istilahnya, meskipun orang-orang repot untuk meminta salaman dari Hubabah, bagi kita yang berada pada tingkat mencium tangan atau tidak, itu tidak masalah asalkan adab kita benar di depannya. Hal ini bukan sesuatu yang kita kehilangan dari hubungan dengan dia. Sebaliknya, yang lebih kita tekankan adalah adab yang kita tunjukkan.

Seperti halnya orang yang sedang melakukan ibadah umroh. Ka’bah merupakan lambang kebesaran Allah. Namun, ada orang yang repot mau mendekat ke Ka’bah karena dia mau selfi. (Fenomena) ini terbilang aneh. Bentuk syiarnya dimana? (berarti) orang tersebut belum berada di level syiar, melainkan masih berada di level eksistensi

Jika seseorang mengunjungi Ka’bah dengan hati yang penuh kekhusyukan, maka dia akan menangis tanpa disadari. Namun, jika ada orang yang melihat Ka’bah namun reaksinya biasa-biasa saja, ini menunjukkan kurangnya taqwa dalam hatinya.

Melihat seseorang menangis, mungkin ada yang bingung, bertanya-tanya tentang alasan di balik air matanya. Mereka yang belum memahami mungkin tidak mengerti. Namun, bagi mereka yang memiliki taqwa, ketika memasuki Ka’bah, hati kita secara alami mengagungkan Ka’bah

Datang pertama kali, menangis, datang kedua kali juga menangis, bahkan selalu menangis saat melihat Ka’bah, itu sudah menjadi kebiasaan yang otomatis. Mengapa demikian? Karena adanya taqwa. Dari taqwa itulah timbul sikap yang tercermin dalam cara dia memandang, yang sudah membuat hatinya bergejolak. Ketika dia hendak menyentuh Ka’bah, itu dilakukan karena keinginan untuk mendekatkan diri, bukan semata-mata untuk eksistensi atau ingin difoto. Saat dia berusaha mencapai Multazam, itu bukan untuk dipamerkan kepada orang lain.

Sayyidina Umar bin Khattab saat melintas di dekat Hajar Aswad dan menciumnya, dia berkata kepada Hajar Aswad berkata, “Kamu batu. Kalau saya tidak melihat Rasulullah dan para sahabatnya menciummu, saya tidak akan melakukannya. Kamu menjadi mulia karena Rasulullah pernah menciummu.”

Kenapa kamu bisa begitu hormat sama anak penghafal Al Qur’an? Karena punya taqwa. Kenapa kamu bisa hormat sama guru? Bukan karena guru minta kamu hormat, tapi karena dihatimu ada taqwa maka taqwa itulah yang menggiringmu untuk hormat pada gurumu.

Begitu juga kamu melihat Al Qur’an, kitab, ilmu-ilmu yang diajarkan, kenapa kamu bisa begitu hormat? Karena kamu ini syiarnya Allah. Saat kamu tau ini syiarnya Allah, maka taqwa yang muncul di hatimu itu yang mencerminkan kamu mengagungkan syiarnya Allah.

Barang siapa yang mengagungkan apa-apa yang terhormat di sisi Allah, maka itu adalah lebih baginya di sisi Allah.”

Saat kamu berbuat baik kepada sesuatu yang dihormati oleh Allah, maka sebetulnya kebaikan itu bukan kembali kepada yang kamu hormati, tetapi kebaikan itu kembali kepada dirimu sendiri.

Di dalam kitab Ta’lim Muta’lim, ada seorang anak yang biasa-biasa saja, dia bukan anak dari keturunan yang pintar, bapaknya pengusaha tapi kok anaknya bisa pintar, paham ilmu agamanya pintar, menghafalnya lancar, padahal bapaknya hanya seorang pebisnis?

Ada orang bertanya, “kok bisa anak kamu begini, pintar sama ilmu agama?”

Karena ada kan yang anaknya pintar ilmu agama padahal orang tuanya biasa-biasa saja.

Maka dijawab sama bapaknya, “Saya gak pernah melakukan hal yang lebih kepada anak saya kecuali setiap saya ketemu sama ulama (orang alim), maka saya akan memberikan sesuatu ke orang alim itu. Saat saya beri sesuatu saya bilang, ‘Doakan anak saya ya Bib, anak saya lagi belajar.’ Dan orang alim itu doain. Anak saya cerdas dalam ilmu agama lantaran saya sering nemuin para Ulama, sering memberi ulama, maka Allah beri kelebihan pada anak saya.”

Sejatinya saat kita menghormati orang lain khususnya ulama (guru-guru kita), maka sejatinya penghormatan itu kelak kembali kepada kita sendiri.

Merendah diri lah kamu di hadapan orang beriman (ulama, guru).”

Maksud Allah ini di hadapan orang beriman, satu kepada guru dan yang kedua kepada orang tua.

Kepada orang tua, rendah diri lah kita, turunin ego kita, turunin kesombongan kita, turunin emosi kita di hadapan orang tua kita. Dan juga kepada para ulama.

Orang-orang yang menyakiti mukmin atau mukminat tanpa kesalahan yang mereka perbuat, maka sesungguhnya dia telah memikul kebohongan dan dosa yang nyata.”

Contoh, (kejadian) kemarin banyak orang yang musuhin Habaib, musuhin ulama, dan terkadang banyak orang yang terkesan mencintai ulama tetapi menjadi orang yang membicarakan ulama di belakang.

Ada kisah seorang murid Imam Ahmad bin Hambal atau Imam Abu Hanifah, saya lupa intinya Imam Madzhab. Murid itu yang melazimi Imam tersebut dimanapun tempat tapi sangat disayangkan saat wafat, wafatnya su’ul khotimah. Padahal mereka dekat dengan Imamnya tanpa ragu-ragu.

Sampai akhirnya ada orang yang bertanya pada imamnya, “Ya Imam, ini bukannya murid kamu? Dulu lazim banget sama kamu, dimana ada kamu pasti ada dia. Bahkan yang bawa sendal, barang-barang, mengurus kepentingan kamu semuanya dia. Kok bisa orang yang dekat sama kamu bisa begini wafatnya?”

Kata Imam tersebut menjawab, “Jangan salahkan saya. Memang terlihat jasad dekat, tapi hati tidak. Orang ini memang lazim sama saya, tapi di belakang saya dia selalu membicarakan kekurangan saya.”

Kenapa Bab Khidmah itu pahalanya besar? Karena di dalam berkhidmah itu akan ada kekurangan yang kamu lihat. Setiap waktu kamu lazimi dia, kala itu juga kamu melihat kekurangannya. Dia punya kelebihan, dia punya kekurangan. Saat kita melihat kekurangan dalam berkhidmah, disitu beratnya ujian kita. Kita harus memilih antara menjadi orang yang mengkritik (ngomongin) atau menjadi orang yang menerima (telen). Ini hanya dapat dilakukan oleh orang-orang yang benar-benar berkhidmah.

Saya dulu pernah duduk sama orang, dia dalam Khidmah dengan guru-guru saya. Eh dia certain guru saya.

Berdoalah kepada Allah untuk Allah tutup mata kita dari kekurangan guru-guru kita. Karena saat kita melazimi dia, kita akan melihat satu sikap dari dia. Sikap itu bukan untuk kau komentari. Sikap itu untuk kau ketahui saja. Saat kau tau kau harus apa untuk tidak menyakiti dia.

Sayyid Muhammad bin Alwi bin Abbas Al Maliki, beliau dikenal orangnya senang dipijat. Dan kalau mau dipijat, manggilnya murid. Kamu tau berapa durasi pijat beliau? Kalau lagi dipijat pesannya, “Jangan berhenti sampai saya suruh berhenti.

Ada satu kisah waktu itu muridnya masuk ke kamar beliau untuk pijat beliau. Pas lagi dipijat, Habib Muhamamd tidur. Sampai keringat murid itu sudah bercucuran masih mijitin Habib. Karena pesannya, “Jangan berhenti sampai saya suruh berhenti.

Hampir 4 jam muridnya mijit. Setelah itu tiba-tiba Habib Muhammad duduk dan bilang, “Marhaba Marhaba (sambil nunduk, kayak lagi ngobrol sama orang). Panggilin supir sekarang ana mau ke Madinah”.

Di perjalanan Habib nanya ke murid yang mijit tadi, “Ente tau gak tadi siapa yang ngajak ana ngomong?”. Terus muridnya jawab, “Antum lebih tau dari yang kami tau.” Lalu Habib Muhammad bilang, “Barusan Rasulullah nyuruh saya ke Raudhoh sekarang juga, ana ditungguin di Raudhoh.”

Muridnya yang mijit tadi itu cerita, sampai di Raudhoh beliau sholat, lalu ngomong sudah kayak orang yang lagi bertamu ke rumah orang, padahal tidak ada orang. Yang ditemuin Rasulullah, yang nungguin beliau di Raudhoh.

Ini adalah keadaan orang yang beriman dengan sebenar-benarnya keimanan.

Tapi demi Allah, saya juga pernah melihat itu di paman saya, Habib Nagib. Dulu saya pernah tinggal di rumah Habib Nagib 2 tahun, sebelum rumah Abah jadi di Bekasi. Waktu itu usia saya sekitar 6-7 tahun. Saya tau setiap hari beliau juga dipijat. Kalau beliau dipijat itu gak bangun-bangun santrinya, sampai beliau bangun terus beliau bilang, “Cukup”. Kalau beliau ketiduran 3 jam, ya 3 jam itu murid mijitin Habib Nagib. Bayangin. Saya dari kecil hobi mijitin dia. Karena beliau suka dipijat. Tapi semua murid yang mijitin beliau itu semua jadi ulama. Saya saksi hidupnya.

Saya kalau liat orang yang Khidmah sama Hubabah ditengah kajian itu ketiduran mah saya maklumin banget. Ya wajar orang-orang kayak gitu ketiduran. Namun, yang luar biasa adalah bahwa orang tersebut tidak pernah mengeluarkan satu pun kekurangan tentang gurunya dari mulutnya.

Kita belajar semua itu dari bawah, dari dasar. Kalau istilahnya maaf, ada orang gak sanggup misal ngadepin saya, maka kamu gak akan sanggup ngadepin yang diatas saya. kalau orang kayak saya gak bisa kamu hadapi, kamu jangan harap bisa menghadapi Hubabah Nur. Yang model kayak saya aja kamu gak berhasil, gimana kamu mau ke atas. Ini perjalanan orang untuk naik tingkatan dalam hidup.

Kita belajar semuanya dari bawah, dari dasar. Dalam istilah yang lebih ringan, jika ada orang yang tidak mampu menghadapi saya, maka dia tidak akan mampu menghadapi seseorang yang berada di di atas saya. Jika seseorang tidak dapat mengatasi saya, jangan harap bisa menghadapi Hubabah Nur. Jika tidak berhasil menghadapi orang seperti saya, bagaimana mungkin dia akan berhasil menghadapi yang lebih tinggi? Ini adalah perjalanan orang dalam meningkatkan diri dalam hidup.

Semua bentuk dari teguran atau mungkin amarah seorang guru itu hakikatnya adalah tempaan dirimu untuk menjadi seseorang.

Rasulullah pernah marah? Pernah. Rasulullah pernah marah dengan sahabat yang tidak berakhlak, tidak beradab, yang tidak sesuai dengan syariat.

Kalau ada haknya Allah yang diabaikan, maka tidak ada seorangpun yang bisa menghentikan amarahnya Rasulullah.

Kalau kita lihat Habib Hasan (kakaknya Habib Salim Asy Syatiri), dulu kalau ngajar di tengah-tengah ngajar tiba-tiba ada orang yang belum sholat dhuha (kasyaf), dia tegur orang itu di depan orang-orang. “Ente dhuha dulu, waktu dhuha udah mau abis.” Kalau kita yang kayak gitu gimana? Muka kita mau ditaro dimana ditegur orang di depan umum.

Ada juga waktu itu yang hadir majelis beliau, ada yang pegang tasbih. Beliau gulung-gulung tasbih beliau lalu beliau lempar ke orang yang pegang tasbih. “Kalau mau tasbihan, keluar.

Bahasa tegurannya seorang guru itu jangan disalah pahami. Itu bukan omelan, tapi itu arahan lebih tepatnya. Jangan pernah bilang guru “ngomel”.

Ente punya tuduhan, terutama jika tuduhan itu tidak benar terkait dengan orang-orang yang beriman, guru, ulama, atau habaib. Oleh karena itu, Habib Umar pernah mengingatkan, “Kalau ada orang menduga seorang beriman, lalu dugaannya salah, maka dia gak akan wafat sampai dia mengalami hal yang dia duga.” Tuduhanmu akan kembali kepadamu.  Laa Hawla Wa Laa Quwata Illabillah .. Ini dosa teran-terangan.

Termasuk dari yang Allah muliakan (kalau kita melakukan hal ini, maka kita memuliakan Allah). Jika kita melakukan ini, kita termasuk memuliakan Allah, yaitu:

  1. menghormati orang muslim yang sudah tua (siapapun)

jika kamu menghormati orang yang tua, maka kamu memuliakan Allah.

  • Para penghafal. Para pengajar, para pengamal Al Qur’an tanpa berlebihan dalam menjunjungnya. Jangan memuji dengan berlebihan kepada mereka.

Contoh: Anak-anak penghafal Al Qur’an. Seringkali orang-orang berlebihan memuji mereka. Makanya banyak anak-anak kecil pandai pidato, baca Al Qur’an, tapi terselip kesombongan dalam dirinya, tidak punya akhlak.

  • Menghormati pemimpin yang adil.

Kalau dia jauh dari kata adil, bahkan dzolim, maka untuk yang begini tidak ada penghormatan.

Diantara fitnahnya ulama adalah sulitnya mereka mencetak penerus yang selevel atau sebaik mereka. Meskipun banyak ulama yang ada, namun penerus yang bisa sehebat mereka jarang terjadi.

Penghafal Al Qur’an tidak begitu menguntungkan sampai menjadi pengamal Al Qur’an. Boleh hafal, tapi harus jadi pengamal.

والله اعلم بالصواب