Tanggal : Rabu, 15 Mei 2024
Guru : Ustadzah Aisyah Farid BSA
Tempat : MT Daruz Zahro, Cikupa Tangerang
بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيْمِ
PENDAHULUAN
Allah berfirman,
“Dialah Allah yang menurunkan ketenangan di hatinya orang-orang mukminin.”
Jadi orang kalau memang bermajelis, imannya nambah. Kalau iman di hati sudah nambah, Allah turunin ketenangan. Orang biasanya kalau sudah diturunin ketenangan, ibaratnya di rumahnya ada masalah, baik itu rumah tangganya, anaknya, ekonominya, bahkan apapun yang terjadi dalam hidupnya, Allah selalu turunkan ketenangan. Faktor sebab tenang, iman di hatinya.
Kenapa Allah kasih kita iman? Ada alasan.
Kenapa juga Allah kasih kita tenang? Ada alasan.
Ternyata alasannya dijawab, tujuannya buat semakin menguatkan imannya
Imannya biar tambah. Kalau udah tenang, imannya harus terus dipupuk, terus nambah, jangan turun, jangan sampai merosot, jangan sampai rusak, jangan sampai hancur.
Ciri-ciri orang kalau udah di hatinya ngerasain iman, sudah ngerasain nambah imannya, maka pelan-pelan hidupnya berubah. Kalau hidupnya pelan-pelan berubah, maka segala hal yang ada di dalam urusannya ikut berubah. Kalau kemarin urusannya perkara-perkara dunia, sekarang urusannya sudah tentang urusan akhirat.
Pada saat seseorang muncul keimanan dalam hatinya, muncul ketenangan dalam dirinya, maka dia mulai akan dialihkan dengan kesibukan yang lainnya, yaitu kesibukannya tentang dunia mulai teralihkan dan sibuklah dia tentang urusan akhirat.
Kalau lama-lama imannya nambah, di hatinya tenangnya mulai nambah. Kalau di hati tenangnya sudah mulai nambah, sibuknya sudah mulai beda, Allah alihkan dia bukan lagi mikirin tentang urusan dompet, enggak lagi mikirin urusan suami, engga lagi mikirin urusan anak, semuanya dibawa enteng. Kenapa? Karena tenangnya Allah yang kasih, tenangnya Allah yang beri, maka tiap kali dia ngadepin apapun, dia mulai merasa ada Allah di balik sulitku, karena dia Allah yang memberi sulit dia juga yang akan memberi jalannya, dia Allah yang kasih saya masalah dia juga yang akan menuntaskan masalahnya. Hatinya udah mulai tenang.
Kalau dulu sakit pusing dikit mikirnya udah ke mana-mana. Bayangannya udah, “Waduh dikirimin nih.” Perut sakit engga ke kamar mandi seminggu, “Dikirimin nih.” Padahal ada penyakitnya. Tapi dibuat lupa negatif pikirannya. Bayangannya ada orang yang jahat terus.
Tapi kalau udah punya iman, setelah punya iman punya tenang, apa yang ada di pikirannya? Perut sakit, ada ssholawat. Disholawatin aja dia tenang, baik. Kepikir juga ngga ada yang jahat sama dia. Mikirin ada orang yang mau iseng aja engga. Kenapa? Allah engga mau lagi datangin hal-hal buruk dalam dirinya karena cum yang mau dikirimin yang tenang-tenang aja dari Allah.
Kuncinya, imannya kudu ada. Kalau iman udah kudu ada, insyaallah tenangnya ada. Tapi tugas kita engga sampai di situ. Kalau udah ngerasa tenang, ingat, kita disuruh terus nambahin iman. Artinya kita tetap harus jaga iman. Imannya ditambah, tenangnya nambah, dimaintenance terus imannya.
Seorang ulama ngingetin sama kita,
“Yang sedikit bisa terlihat banyak, kalau kamu merasa cukup. Yang banyak bisa terlihat sedikit, kalau kamu tamak. Yang jauh bisa terasa dekat, kalau kamu cinta sama dia. Yang dekat bisa terasa jauh, kalau kamu benci.“
Satu sajadah bisa rasanya luas buat dua orang yang saling mencintai. Tapi dunia seisinya bisa terasa sempit untuk dua orang yang saling membenci. Sejadah dua kalau saling cinta duduk enak aja. Satu sajadah buat orang yang saling mencintai, kayak dunia seisinya. Kaga peduli lagi sama yang lain, yang penting yang dicinta ada aja. Tapi buat dua orang yang saling membenci, dunia seisinya tidak cukup luas karena mereka saling membenci.
Orang kalau duduk di majelis ilmu bawa cinta, masyaallah, mau gerah, panas, berjam-jam mau dari subuh udah duduk sampai ketemu lagi zuhur. Kenapa dia bisa begitu? Cinta, gara-gara cinta.
Saya pernah dicurhatin orang,
“Ustazah, saya berumah tangga 10 tahun, tapi saya berasa di neraka.”
Batinnya tersiksa karena suaminya begini atau mungkin orang tuanya dan seterusnya. Dia ngasih kiasan, “10 tahun rumah tangga tapi kayak di neraka.”
Saya mau bilang, ini bukan rumahnya sebetulnya yang kayak neraka. Juga belum tentu suaminya yang kayak malaikat penjaga pintu neraka. Belum tentu juga mertuanya yang tukang siksa. Tapi masalahnya terletak pada hati yang tidak suka. Makanya kita kalau duduk di satu tempat atau namanya orang dalam berumah tangga, ada aja yang kita suka, kita engga suka. Ada yang buat kita nyaman, ada yang bikin kita engga nyaman. Sebelum kita mau belajar tentang reaksi sikap, minta dulu sama Allah, buat hati kita suka, buat hati kita demen dulu, buat hati kita nerima dulu. Karena kalau di dasar hati udah kaga ada yang namanya suka, mau pakai metode apapun dengan reaksi seperti apapun, kaga bakal ketemu, yang ketemu ujung-ujungnya tersiksa.
Jadi hari ini banyak orang yang mungkin bermasalah pada rumah tangganya, itu juga belum tentu terkait urusan sikap-sikap orang-orang yang menyiksa dia, yang menurut dia tersiksa tadi. Lalu bisa jadi karena apa? Karena faktor di dasar hati, hilangnya rasa suka.
Seorang istri bukan engga suka lagi sama suaminya, tapi istri yang sudah tidak mulai suka lagi melayani suaminya. Kalau cinta ditanya. “Kamu cinta engga sama suami?”
“Cintalah. Siapa sih yang engga cinta sama suami.”
Tapi yang jadi persoalan, masih suka engga jadi bini, masih demen engga jadi istri, karena urusannya kalau udah engga suka pada statusmu sebagai seorang istri, udah pasti kita rumah tangganya jadi berantakan. Akhirnya masak mungkin yang biasanya apa jadi apa. Kamar yang biasanya rapi tertata jadi berantakan. Ngomong yang tadinya enak jadi acuh-acuhan. Mulai engga enak. Kenapa? Karena yang jadi soal bukan tentang urusan cinta kedua insan, ini tentang masih suka engga? Masih demen engga jadi istri?
Maka saya kalau ada orang datang,
“Ustazah, saya punya masalah rumah tangga.”
Sebelum saya tanya, saya enggak pernah nanya, “Kamu cinta sama laki kamu?” Enggak pernah. Tapi yang saya tanya, “Kamu suka engga jadi istri?”
Kalau suka jadi istri itu suka juga sepaket dengan tanggung jawabnya seorang istri. Suka melayani, suka memperhatikan, suka mengurus rumah tangga, suka menjaga, suka merawat. Semuanya suka aja. Jadi kalau umpamanya ada sesuatu yang berkenaan dengan part tersebut, ini udah bukan tentang, “Soalnya aku sudah tidak cinta lagi sama suami.” Enggak ada urusannya.
Sama kayak orang-orang tua yang pada ngadepin anak-anak dengan beraneka ragam. “Ustazah Ya Allah anak saya megelinnya luar biasa. Anak saya nyari masalah luar biasa. Enaknya anak saya diapain ya Ustazah? Rasanya kita pengin buntel lagi masuk ke dalam perut.”
Subhanallah, mereka semua mikirin. Saya suka nanya, “Bu masih suka engga jadi ibu?”
Ibu enggak pernah bosan jadi ibu. Ibu enggak pernah bosan ngurusin anak. Ibu enggak pernah bosan ngadapin kenakalan anak. Ibu enggak pernah bosan menyikapi semua permasalahan anak. Kenapa? Karena Ibu cinta mulu sama anak. Maka banyak para wanita bertahan mengurus anak tapi belum tentu tahan ngurusin laki. Poinnya ada di mana? Poinnya bukan lakinya, diri sendiri.
Kita majelisan, kita punya teman-teman di sekitar kita, kawan-kawan di sekitar kita, orang-orang di sekitar kita.
Ini bukan tentang orang sama kita, bukan tentang sikap orang, “Wah di sana majelisnya enggak enak, wah di sini mah majelisnya enak. Wah majelisnya di sana makannya enak, di sini makannya enggak enak.” Ini tentang pertanyaannya, “Kamu beneran suka enggak majelisan?” Kalau kamu beneran suka sama majelisan, apapun resiko kendala yang akan kamu hadapi dalam majelis, kamu akan terima.
Pada saat kita suka, kita akan sukarela melakukan apa aja yang berkaitan dengan sesuatu itu.
Begitu juga suka majelis, makanya ada yang begitu suka sampai rela jarak tempuh jauh pun dijabanin. Kalau ditanya, “Kenapa nyampai?” Suka, cinta sama majelis, dia demen sama majelis, suka dia datangin.
Yang namanya jauh jadi terasa dekat kalau udah diiringi sama suka atau cinta. Tapi yang dekat jadi jauh, kalau udah sifatnya kagak suka.
Kalau yang namanya kebencian yang semakin terpupuk, maka kita bakal temukan hidupnya jadi enggak tenang, majelisnya jadi enggak tenang, rumah tangganya jadi enggak tenang, ngurus anaknya jadi enggak tenang, bahkan bersahabatnya pun jadi enggak tenang. Disebabkan apa? Karena salah yang terpupuk. Maka kita sekarang mau benar-benar mupuk. Yang dipupuk apa? Imannya. Yang dipupuk takwanya, yang mau dipupuk itu keyakinan kita kepada Allah dan Rasulnya. Agar dengan itu semua semakin tambah kuat lagi keyakinan kita di dalam menjalankan perintahnya Allah dan perintah Rasulullah.
KAJIAN KITAB AR RISALATUL MUDZAKAROH
Al Imam Al Haddad beliau mengutip daripada firman Allah,
“Ingat, pahala Allah itu tidak datang berdasarkan angan-angan kita. Sesungguhnya pahala itu datang sesuai dengan perbuatan kita. Siapa diantara kita yang mengerjakan suatu keburukan, maka niscaya keburukan itu akan diberikan balasan atas kejahatan itu ada dan orang itu sekali-kali tidak akan lagi dapat perlindungan dari Allah.”
Tapi siapa di antara kita yang mengerjakan amal-amal sholeh, baik laki maupun perempuan beriman, maka Allah akan masukkan kepada mereka semua ke dalam surga. Mereka sedikit pun tidak akan pernah teraniaya atau terzalimi.
Cuman mikir-mikir doang, kiranya pahala gede atau berdasarkan mau-maunya kita, baik itu kita maupun ahli kitab. Tapi datangnya dari mana? Ini bentuk keadilannya Allah.
Ibaratnya orang nyolong masuk penjara. Ada orang jahat ngambil hak orang ada hukumannya. Apa yang Allah berlakukan kepada hambaNya juga sejatinya adalah bentuk keadilan Allah kepada kita. Pada saat orang berbuat buruk, maka Allah ingin memberikan suatu balasan akan keburukan itu karena perbuatan kita, maka itu bentuk keadilan.
Kenapa ayat ini menjadi penting untuk kita ingat diri kita masing-masing bahwa perbuatan buruk itu engga ada yang kelewat. Hanya luasnya rahmat Allah yang menyebabkan setiap keburukan yang kita lakukan itu tidak serta merta balasannya segera datang dari Allah. Kenapa? Karena Allah masih mengharapkan adanya kebaikan yang pada akhirnya menggugurkan dosa-dosa kemaksiatan kita yang lalu.
Maka dalam sebuah hadits Nabi bilang,
“Takwalah kamu kepada Allah di mana pun kamu berada. Iringi setiap keburukan itu dengan kita bergegas mengerjakan kebaikan. Karena kebaikan yang kita lakukan itu boleh jadi menjadi sebab Allah menghapus keburukan kita yang kemarin.”
Itu dari luasnya rahmat Allah.
Padahal kalau Allah itu mau balas kontan semuanya bisa. Orang habis ghibah, naudzubillah, tiba-tiba mulutnya gagu, bisa. Tapi Allah engga lakuin itu.
Orang habis namimah, habis ngadu domba, tiba-tiba mulutnya kelu, lisannya engga bisa lagi berucap atau mungkin kenapa, tapi Allah engga lakuin itu.
Kita mungkin yang habis mandang orang dengan pandangan rendah, pandangan hina pandangan mengejek atau pandangan prasangka buruk dan lain sebagainya, bisa aja Allah bikin mata kita kemudian kabur, rabun, engga bisa lihat, tapi Allah engga buat itu.
Kenapa? karena kita masih diharapkan berbuat baik setelah itu. Karena Allah masih berharap istigfarnya kita, Allah masih berharap adanya kebaikan yang mau kita perbuat.
Makanya diingatin kalau ada orang berbuat keburukan, maka niscaya pembalasan Allah akan keburukan itu ada dan orang itu sekali-kali enggak bakalan lagi dapat perlindungan dari Allah. Ini untuk orang-orang yang jelas-jelas kafir, yang jelas-jelas menentang Allah. Enggak akan ada pelindung selain daripada pelindungnya Allah, dia enggak bakal dapat apa-apa.
Jadi kalau hari ini ada yang suka nanya,
“Ustazah, saya punya tetangga kebetulan dia non muslim tapi baik banget ya baik banget itu dia sama anak yatim baik, sama kita tetangga muslim baik baik banget. Itu gimana Ustazah, masa dia wafat tetap di neraka?”
Kalau di agama kita, untuk orang non muslim yang baik, peduli kepada kesejahteraan orang-orang yang membutuhkan, menghormati agama Islam dan lain sebagainya. Apa balasan Allah kepada mereka? Allah balas mereka di dunia mendapatkan kehidupan yang baik. Di dunia hidupnya sejahtera, baik, senang. Artinya karena di akhirat engga mungkin ada, satu hal yang pasti. Kalau syahadat engga, ya engga bisa. Tapi di dunia sama Allah, Allah dekatkan orang-orang baik itu sama orang baik lagi. Kalau yang notabenenya non muslim aja ada balasan kebaikan dari Allah di dunianya, apalagi kita mukmin.
Orang beriman tapi punya hati baik, orang beriman punya hati nolong, orang beriman punya hati bersih, orang beriman punya hati saling saling memuji, saling menjaga, saling menutupi kekurangan satu sama lain. Sholatnya benar, ngajinya benar, ibadahnya benar, jaga hatinya benar, dari laki maupun perempuan, mereka orang yang beriman, apa balasan Allah untuk mereka yang beramal sholeh? Allah akan masukkan kepada mereka semua ke dalam surga. Mereka sedikit pun tidak akan pernah teraniaya atau terzalimi.
Allah Maha Adil, mana mungkin orang benar, orang baik, orang rajin ibadah mau disamain sama yang malas, mau disamain sama yang santai-santai.
Atheis nanya begini,
“Kenapa sih Allah katanya yang punya nama rahman, yang punya nama rahim. Kenapa Allah itu enggak bikin semua orang rata aja udah masuk ke surga, kan surga neraka punya dia. Tapi kenapa dia masih sanggup masukin orang ke neraka kalau dia punya nama rahman atau dia punya nama rahim.”
Orang atehis ada yang begitu tuh, “Kenapa kita enggak semuanya aja udah masuk surga, Kenapa harus ada neraka?”
Sama kayak hari ini, yang nyolong, yang maling, yang ngambil hak orang, haknya disamain sama orang yang baik. Adil apa enggak?
Hari ini negara kita kebijakan presiden enggak ada penjara, umpamanya. Negara kita bikin aturan enggak ada penjara. Kenapa? Karena semuanya tertanggung sejahtera, dijamin sama negara. Maka dia yang tinggal di negara ini, ada yang maling, ada yang baik, ada yang bersih buang sampah pada tempatnya, ada yang kagak bersih buang sampah sembarangan, tapi tiba-tiba mau dapat kesejahteraannya sama. Kira-kira adil apa engga yang begitu?
Di sana ada yang tukang malakin orang di jalanan, yang satu di sini enggak, hidupnya baik-baik aja, enggak pernah malakin orang jalanan. Terus mau dapat kesejahteraan yang sama, kira-kira kalau kita lihat, adil apa kagak?
Tiba-tiba ada orang rajin sholat, ada orang rajin ngaji. ada orang rajin majelis, ada orang sedekah terus, ada orang jaga hatinya bersih, mau disamain sama orang yang hatinya dongkol mulu, mau disamain sama orang yang sholatnya on off, kalau lagi banyak urusan sholat, kalau enggak, enggak. Mau disamain sama orang yang subuhnya kesiangan mulu, sama orang yang jam empat sudah bangun, mau disamain? Terus tiba-tiba ngarep, “Kenapa Allah enggak masukin aja ke surga kenapa harus ada neraka?
Pertanyaannya, jika Allah membuat itu, apakah itu sesuai dengan namanya al adlu, enggak adil. Jadi kalau umpamanya ada orang yang hari ini menerima perbedaan nasib, sejatinya itu bukan karena Allah enggak sayang sama kita, ini adalah bentuk kesetaraan yang Allah bagikan kepada nasibnya setiap orang di antara kita. Mungkin ada orang hari ini kaya punya segalanya, dia mampu membeli apa-apa, tapi ada satu nikmat yang Allah cabut tanpa mereka sadari, ketenangan jiwa dalam hatinya. Tapi di sini ada orang yang dicabut nikmat hartanya, harta enggak banyak, dikasihnya serba ala kadarnya, tapi sama Allah dikasih kesehatan rohaninya hatinya tenang, jiwanya tenang, tidurnya tenang, semuauanya tenang, enggak dikejar-kejar sama apa-apa.
Tapi kamu enggak sadar. Kenapa? Karena cara kita memandang, dengan cara Allah memandang itu enggak akan pernah sama. Tapi kalau ditanya, “Apakah Dia selalu berlaku adil?” Dia Allah yang punya nama al-adlu, maka semua apa yang terjadi pada kita tidak lekang dari keadilan yang Allah ratakan untuk kita para hamba-hambanya.
Jadi kalau orang berbuat sholeh, amal baik masuk surga dan kemudian ada orang ahlu maksiat yang harus masuk ke dalam neraka itu bukan bentuk Allah tidak adil, tetapi justru karena Allah begitu adil sampai itu semua harus menjadi sesuatu yang perlu kita pahami bersama. Ada surga ada neraka bukan karena Allah enggak adil.
“Barang siapa di antara kita yang berbuat kebaikan seberat zarah, maka baik baginya.”
Artinya sekecil itu pun kebaikan yang kita lakukan, tidak akan terlewat dari keadilan yang Allah akan berikan kepada kita. Begitu pun kebalikannya, siapa ibaratnya di antara kita yang berbuat keburukan kemaksiatan walaupun seberat zarah, sekecil itu, maka tak lekang juga dari keadilan Allah. Balasan Allah ada di situ yang akan Allah balas kepada kita. Ini bentuk keadilannya Allah.
Siapa aja orang enggak baik sama kita, siapa aja orang yang suka nyinggung perasaan kita, siapa aja orang yang mungkin pernah mengambil hak kita, tidak usah galau, tidak usah gelisah, tidak usah bimbang. Kenapa? karena setiap perbuatannya akan ada balasan yang setimpal untuknya yang takkan lepas dari keadilan Allah.
Maka kita jangan gelisah sampai repot-repot doa,
“Biar Allah balas.” Enggak guna.
Ada orang enggak adil sama kita, siapa aja, enggak menunaikan haknya kepada kita, baik muslim sesama muslim, baik suami kepada istrinya, tidak menunaikan hak yang benar kepada kita, enggak usah sedih. Ingat firman Allah, kita gak perlu repot ngedoain sikap orang sama kita, peduli amat tentang balasan Allah kepada mereka yang bersikap sama kita. Kenapa demikian? Karena semuanya sudah ada perhitungan yang matang dari sisi Allah.
“Allah tidak akan membebani seseorang melainkan sesuai dengan kemampuannya, sesuai dengan kesanggupannya.”
Ayat ini memang pelipur lara, ayat ini seolah-olah menguatkan kita untuk kita itu selalu sadar seberat apapun ujianmu hari ini, kamu sanggup, kamu bisa. Siapa yang bilang kamu enggak kuat? enggak ada.
Artinya selagi kamu yang hari ini ditimpa satu ujian, lalu kemudian kamu bilang kamu enggak bisa, itu bukan emang kamu gak bisa, mulut kamu aja yang bilang enggak bisa. Tapi kalau bicara tentang hakikat, hakikatnya kamu bisa karena Allah tidak akan menimpakan satu beban ujian kepada seorang hamba kecuali Allah juga iringi kesanggupannya, Allah iringi kemampuannya, Allah iringi juga kesabarannya untuk dia bisa bertahan melalui setiap rintangan ujiannya.
Karena kalau ada orang yang enggak sanggup sama satu ujian, dia akan hilang akalnya, dia akan gila.
Ibu kalau lihat hari ini ada orang stres, gila, ini bukan gila karena depresi, gila hilang akal, lupa rumahnya di mana, ngomongnya ngelantur, apa segala macam, seolah-olah kemudian kita dapati pakai baju enggak pakai baju bagi dia enggak ada bedanya, orang gila ini orang yang di luar kemampuannya, Allah sudah angkat derajatnya rufiatil aglam. Kalau ada ujian yang enggak sanggup dia lakuin, maka untuknya rufiatil aglam, orang gila malaikat berhenti bertugas, udah kagak nyatat apa-apa lagi.
Makanya hukum negara pun kalau ada orang gila yang mukul, kagak bisa dihukumi. Umpama terjadi ada orang gila membunuh orang, apa hukum yang berlaku pada mereka? Enggak bisa dituntut, akalnya hilang. Makanya akal itu harta yang paling berharga. Kalau secara jika ada beban Allah berikan kepada kita dan kita tidak menyanggupi itu, hari ini kita sedang tidak bersedih, enggak nangis. Selagi kamu masih nangis, “Ya Allah berat banget” artinya kamu masih sanggup.
“ya Allah sakit banget” kamu masih sanggup.
“ya Allah perih banget kamu” masih sanggup.
“ya Allah banyak banget” kamu masih sanggup.
Karena kalau secara tidak sanggup, dengan betul-betul enggak sanggup, hilang akalmu, enggak kuat.
Dari sini kita ingat semua berarti termasuk perintah kewajiban ibadah, sholat, nutup aurat, menuntut ilmu, sejatinya itu sanggup apa kagak kita ini?
Ada orang diperintahin sholat, dia bilang, “Ana gak sanggup. Gimana orang kita nih sibuk, orang kita nih begini.”
Allah gak mungkin wajibin kamu satu tugas, satu tanggung jawab, begitu juga perannya istri, perannya ibu, tiba-tiba seorang istri, “Aduh ana gak sanggup ngadepin suami saya yang begini model.” Entar dulu.
Bahasa enggak sanggup kadang-kadang suka terlalu cepat.
Yang ibu bilang sama anak, “Ana Enggak sanggup punya anak begini model.” Entar dulu. “Saya Enggak sanggup megang tanggung jawab ini.” Entar dulu.
Bagi orang yang bertanggung jawab misalnya dimintai tolong untuk ngurus kebaikan, ngurus majelis ilmu, ngurus apa, terus bilang, ada masalah, “Ana enggak sanggup.”
Masalah itu datang berarti ada sesuatu. Maka sebabnya cari. Dibalik itu semua, Allah selalu jawab kamu sanggup. Jadi jangan bilang enggak sanggup. Bisa enggak bisa, sanggup enggak sanggup, semuanya bisa.
Ada orang nanya, “Monyet bisa berenang enggak?”
Monyet bisa berenang, ada. Tapi pertanyaannya, apakah itu sebetulnya kemampuannya monyet? monyet punya keahlian bergelantungan.
Pernah lihat ikan loncat? Pernah.
Pernah lihat ikan gelantungan? Enggak.
Tapi pernah lihat ikan loncat tinggi, makanya sampai bilang ada ikan terbang bahasanya gitu. Apakah keahlian ikan itu loncat?
Pertanyaannya, apakah keahliannya ikan? Berenang.
Sejatinya kalau kita mau bicara kemampuan atau kebisaan, enggak ada yang enggak kita bisa lakuin di dunia ini. Ini tentang keahlian aja.
Ibu kalau yang hari ini enggak bisa masak, bukan emang dasaran Ibu emang dari lahir kagak bisa masak sampai mati, enggak. Ibu aja yang kagak mau masak. Karena sebetulnya keahlian ibu-ibu kan tukang masak.
Jadi sebenarnya ibaratnya kayak ketemu monyet misalnya yang kagak mau gelantungan, monyet mau jalan aja misalnya, enggak salah juga tapi keluar dari kebiasaannya. Sama kayak kita ketemu ikan, ikan punya kebiasaan renang. Terus tiba-tiba ikan maunya loncat aja kayak katak, salah? enggak lazim ikan ini tapi enggak salah juga.
Hakikatnya setiap manusia bisa melakukan semua apa yang Allah perintahkan kepada dia, apa aja yang Allah perintahin sama dia. Walaupun masing-masing orang punya kemampuan yang berbeda-beda, ada orang memang kuatnya puasa, ada orang yang kuatnya sholat, ada orang yang kuatnya sedekah, ada orang yang kuatnya mungkin jaga hati dan perasaan, beda-beda. Tapi sebetulnya, manusia ini dari awal sudah diberikan sama Allah lahir paket komplit kesanggupannya dalam menjalani perannya seorang hamba. Artinya apapun yang Allah perintahkan kepada dia, hakikatnya dia sanggup dan dia bisa untuk menjalani perannya.
Jadi kalau hari ini kita dengar ada kewajiban, ada perintah, ada sesuatu yang perlu dijauhkan, ada sesuatu yang perlu dilarang, itu udah dikasih paket komplit sama Allah. Apalagi Allah sudah ingatkan sama kita setiap balasan-balasan yang ada.
“Barangsiapa mengerjakan amal sholeh maka pahala untuk dirinya sendiri.”
Kenapa Allah bilang fali nafsih? Karena Allah enggak butuh amal kita. Enggak ada yang namanya amal itu walaupun sifatnya lillah, tapi sejatinya kebaikan itu kembalinya kepada kita. Karena Allah Dia yang maha berdiri tegak sendiri, Allah tidak butuh apapun dari kita. Yang sholat benar, kebaikannya balik ke dia. Yang puasa benar, kebaikannya balik buat dia. Yang jaga hatinya benar, kebaikannya balik buat dia. Yang nutup auratnya benar, kebaikannya balik buat dia. Yang jaga lisannya benar, kebaikannya balik buat dia. Yang jaga mata telinganya benar, kebaikannya balik buat dia.
Begitu juga orang berbuat buruk, maka keburukan itu akan kembali pada dirinya. Kita buat jahat, balik sendiri.
Nabi pernah bersabda, hadits maupun beberapa warad yang diriwayatkan dari beberapa sahabat, beberapa kitab, disebutkan gini bunyinya,
“Barang siapa orang yang menggali satu lubang (tapi gali lubangnya tujuannya untuk membuat orang terjatuh, untuk nyakitin orang), dia yang bakal masuk ke lubang itu sendiri.”
Kapan Nabi ngomong ini? Pada saat seorang Abu Lahab gali lubang buat nyeblosin Nabi. Akhirnya keceblos dirinya sendiri.
Siapa yang bikin lubang, dia bakal jatuh sendiri. Siapa yang cari masalah, dia yang bakal terlilit masalahnya sendiri. Begitu istilahnya kurang lebihnya.
Allah sekali-kali tidak pernah berbuat dzolim kepada hambanya, tidak pernah menganiyaya hambanya.
Hari kiamat itu adalah hari ketika setiap dari kita mendapati segala kebaikan yang kita perbuat selama di dunia, dihadapin di depan kita. Nih dulu sholawat, dulu sedekah, sholat, puasa, zakat, haji, umrah, senyum, ngasih makan orang, nolongin yatim, nolongin janda, nolongin kaum dhuafa, semua kebaikan itu nanti bakal dihadapkan sama Allah di depan muka kita. Itu kapan? Hari akhirat. Kita bakal lihat semuanya depan muka kita.
Begitu juga setiap keburukan yang telah kita perbuat. Pada saat itu apa yang bakal muncul? Kita kepengin kalau sekiranya di antara kita dengan hari itu ada masa yang jauh, “Ya Allah coba kiamat enggak datang sekarang. Coba saya masih punya kesempatan. Coba saya masih ada waktu.” Padahal Allah udah ngingetin kamu jauh-jauh hari.
Hari ini kita kembali diingetin, jangan mau nyesalnya di sana. Jangan mau ngerasa ruginya di sana, tapi sekarang masih ada kesempatan dijaga kesempatan itu dengan baik.
Allah yang punya nama arrauf, maka dialah juga yang sangat penyayang kepada hamba-hambaNya. Allah ingatin sama kita. Kenapa diingatin? Biar kita hati-hati, jangan nyesal. Nanti di sana apa yang kamu lakuin tuh bakal begini. Dikasih tahu semuanya sama Allah tanpa terkecuali. Makanya jangan sampai kita nyesal.
Dalam sebuah riwayat,
Dan kita diminta jaga diri dari hari di mana nanti Allah berikan kepada para hamba-hambanya azab, murka. Hari di mana semua orang bakal kembali kepada Allah. Semuanya bakal balik kepada Allah. Jaga diri kamu di sana.
Disuruh sama Allah jaga. Semua di antara kita bakal terima setiap balasan yang sempurna dari apa yang pernah dia perbuat.
Kata guru saya Hubabah Nur bilang,
لَا يُغَادِرُ صَغِيۡرَةً وَّلَا كَبِيۡرَةً
Yang sogir apa? yang kabir apa?
Shogir, senyum. Ini nanti ada balasannya.
Kabiroh? Ah, ada ketawa ada bunyinya. Ini juga ada hitungannya.
Kalau ketawa yang nyengir senyum dengan ketawa yang bunyi ada hitungannya, gimana dengan yang lainnya. Gimana dengan bisikan kita, “Si itu tuh, si itu tuh.”
Dengan praduga prasangka penilaian cara kita melihat dan Allah tidak pernah zalim kepada semua hambanya, artinya tidak akan pernah salah di dalam Allah membalas para hamba-hambanya.
Dalam sebuah riwayat Nabi Sallallahu Alaihi Wasallam dalam Hadis Qudsi, ngingatin sama kita, yang mana Allah subhanahu wa taala berkata kepadanya,
“Muhammad kamu mau hidup, hiduplah sesukamu semaumu, tapi ingat yang nama hidup pasti ada mati.
Hidup aja sesukamu, kamu bebas. Tapi ingat yang namanya orang hidup pasti ada mati.
“Cintai siapun orang yang kamu mau cinta, tapi ingat sewaktu-waktu kamu bakal pisah.
Secinta apapun kita sama anak, sama suami, sama sahabat, sama orang tua, sama siapa aja bakal misah. Kalau enggak kita duluan, kalau enggak mereka duluan, bakal pisah. Artinya Tiap orang yang merasakan cinta akan merasakan penderitaannya berpisah.
“Berbuatlah sesukamu karena apa yang kau perbuat, kau akan terima balasannya.”
والله اعلم بالصواب