Tanggal : Sabtu, 15 April 2023
Kitab : At Tibyan Ep.11 & Nafahat Ramadhaniyah
Karya : Syekh Imam Nawawi
Guru : Ustadzah Aisyah Farid BSA
Tempat : MT Banat Ummul Batul
بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيْمِ
Menjadi orang baik itu adalah cita-cita kita semua. Menjadi orang yang bersih hati adalah cita-cita kita semua. Menjadi orang yang tidak memiliki dendam di hati adalah cita-cita kita semua. Karena itu adalah cita-citanya kaum solihin, mereka ingin hidup di dunia bukan tentang mendapatkan apa yang mereka inginkan, tetapi mereka lebih mengutamakan apa yang Allah inginkan.
Jika kita hidup di dunia mengutamakan apa yang kita inginkan, maka kita sama-sama tau bahwa keinginan kita tidak sepenuhnya benar. Tetapi jika kita mengutamakan apa yang Allah inginkan, maka dapat dipastikan semua yang Allah inginkan terhadap kita itu semua sudah pasti benar.
Oleh karena itu hanya orang-orang yang beruntung yang bisa menjadikan keinginannya adalah keinginan Allah. Tidak ada di dalam dirinya keinginan, kecuali sesuai dengan apa yang Allah inginkan.
Disini kita belajar begitu juga. Bahwa kita ingin menjadi seseorang bukan tentang yang kita inginkan, tapi kita ingin menjadi seseorang seperti yang Allah inginkan.
Allah ingin kita menjadi orang yang baik, Allah ingin kita menjadi orang yang bersih hati, Allah ingin kita menjadi orang yang tidak memiliki dendam dalam hati, maka disitulah letak cita-cita kita semua untuk menjadi hamba Allah seperti yang Allah inginkan.
Jika kita membaca dalam Al Qur’an, salah satu ayatnya berbunyi, “Jika Allah memuji hamba-hambaNya, Allah puji dengan pujian-pujian yang baik.”
Allah senang kepada mereka yang jika berjalan di bumi itu pelan, tenang, menundukkan kepalanya lebih sering daripada diangkat. Makna lebih dalam menundukkan kepala itu adalah mereka menundukkan pandangan dari memandang orang lain lebih rendah darinya, karena dia akan melihat orang lain akan selalu lebih mulia darinya.
Orang yang seperti ini, mereka orang-orang yang jika diajak berdiskusi oleh orang bodoh, mereka lebih memilih minta maaf tidak ingin ikutan.
Ada pepatah berkata, “Orang-orang hebat, mereka jika dudukan, yang dibicarakan itu adalah gagasan/ide. Yang mereka diskusikan tentang bagaimana mengevaluasi diri. Orang yang level dibawahnya, diskusinnya itu tentang action yang belum tentu dikerjakan. Orang yang level paling bawah, diskusinya tentang apa yang dikerjakan orang lain.”
Nah, kita ada di level yang mana?
Kalau duduk dengan teman, diskusinya yang baik-baik. Kalau diajak sama orang yang tidak penting, bilang saja “saya tidak mau ikut-ikut“.
*Pembahasan Kitab At Tibyan* EP.11 Adab Pelajar & Pengajar Al Quran Part 5
Kita diingatkan lagi tentang memperbaiki niat/tujuan untuk pelajar dan pengajar.
Terutama itu yang berkaitan dengan urusan akhirat. Mengajar agama, mengajar Qur’an. Belajar agama, belajar Qur’an.
Hendaknya seseorang di dalam mencari ilmu atau di dalam mempelajari atau di dalam memiliki ilmu, jangan sampai hanya untuk mencapai kesenangan di dunia.
Makanya saya selalu tekankan, ibu-ibu kalau anaknya mau jadi dokter, mau jadi insinyur, mau jadi apapun, kalau yang ingin dicapai sukses di dunia, ibu akan menyesal. Karena sesuatu yang dibanggakan di dunia akan sampai senyumnya di dunia saja, di akhirat senyum itu tidak akan sampai. Tetapi kalau ibu “nikahkan” pendidikan mereka dengan agamanya, ibu akan senang.
Segala bentuk profesi bisa dinikahkan dengan ilmu agama kita. Saat dinikahkan dengan ilmu agama, kamu tidak pernah lupa tujuanmu dalam hidup.
Kalau yang dicari kesenangan dunia, maka dari awal sudah salah niat.
Jangan sampai ada dari hati kita untuk mencari ketenaran, kedudukan, keunggulan atas orang lain. Yang begitu akan selalu bertemu titik jenuh, capek, letih, lelah. Kenapa begitu? Karena tiap kamu mengejar satu posisi, perhatikan akan selalu ada posisi yang lebih tinggi. Saat kamu mengejar satu apresiasi, akan ada apresiasi yang jauh lebih tinggi. Dan itu semua tidak akan pernah ada habisnya. Semuanya hanya akan mengecewakan kita.
Hendaknya seorang guru tidak pernah mengharap sesuatu dari apa yang dia ajarkan.
Kita liat para guru atau alim ulama kita, atau kita belajar dari Al Habib Abdullah bin Umar As Syatiri (ayah dari Habib Salim As Syatiri).
Al Habib Abdullah bin Umar As Syatiri memiliki seorang murid yang belajar dengan dia. Dari yang tidak mengerti jadi mengerti, dari yang tadinya bukan siapa-siapa menjadi siapa-siapa.
Kemudian saat dia menjadi siapa-siapa ini yang kadang paling bahaya dari diri seseorang.
Kita tadinya bukan siapa-siapa lalu berubah menjadi siapa-siapa, disini letak ujian kita. Ujian terberat kita adalah bagaimana hubungan kita dengan guru kita.
Al Habib Abdullah bin Umar As Syatiri melihat berangsur-angsur muridnya makin pintar, makin menonjol, makin terlihat oleh orang lain, tiba-tiba orang banyak belajar dari dia.
Yang disayangkan, orang ini masih dalam pengawasan gurunya. Artinya bukan sudah dilepas oleh Habib Abdullah gini, “Ente pulang ke negerimu belajar/dakwah/ngajar”. Belum. Masih di tempat belajar gurunya, masih di dalam pengawasan gurunya, tiba-tiba orang banyak datang nanya-nanya pelajaran sama dia.
Makin banyak yang datang mau belajar ke dia, dia pikir ya sudah belajar ya belajar saja. Dia lupa saat satu kali dia tidak meraih restu dari guru, pintu bagi setan untuk masuk menjadi sangat mudah. .
Dari awal dia mikirnya “cuma ngajarin orang, ngajarin orang kan baik”.
Lupa kalau kita jadi murid, siapa yang memutuskan untuk kita itu sudah bisa mengajar orang? Kan guru yang memutuskan.
Dulu waktu kita belajar di Hadramaut, kita tidak ada yang pulang ke negeri kita sebelum dapat izin dari guru kita. Guru kita bilang boleh, ya pulang. Kalau tidak boleh, ya tidak pulang. Hatta anak Darul Musthofa.
Kalau belum ada yang memberi izin untuk dakwah di kampung, tidak ada yang tiba-tiba dakwah sendiri di kampungnya. Karena merasa diri belum pantas.
Tapi konsep begini tidak semua orang paham. Ada yang mikir bahwa saat mereka sudah mengerti, mereka bisa menjalani apapun yang mereka mau.
Murid ini, seiring dengan bertambahnya orang yang datang untuk belajar, tidak pernah meminta restu dari gurunya. Akibatnya, ketika namanya semakin terkenal, orang-orang semakin memperhatikan, dan perhatian semakin besar, dia menjadi lupa akan kedudukan sebenarnya.
Tau-tau datang seorang yang mengundang dia ke Mukalla waktu itu.
Subhanallah, ada orang yang datang ke Habib Abdullah. Orang itu bilang, “Bib ente tidak dengar ada murid ente yang sekarang namanya sudah tenar?”
Habib Abdullah senyum saja.
Orang itu bicara lagi, “Ente MasyaAllah bib bisa mencetak murid yang begitu. Ana dengar dia mau ceramah di Mukalla.”
Habib Abdullah jawab, “Oh ya? Ana belum tau.”
Orang ini yang nyampein beritanya kaget, “Bib, ente tidak tau?”
Habib Abdullah, “Iya, ana ga tau.”
Orang tadi bicara lagi, “Tapi sudah menyebar Bib kemana-mana kalau orang ini akan ceramah di Mukalla.”
Habib Abdullah, “Ya kita liat saja, sampai detik ini sih belum ada omongan apa-apa. Dia kan lagi ada di rubath.”
Setelah itu sampai menjelang murid ini harus berangkat ke Mukalla, tidak kunjung juga menghadap ke Habib Abdullah.
Habib Abdullah bilang, “Kalau dia pergi tanpa izin dariku, maka saat dia pergi, ilmunya akan tinggal di Rubath.”
Sampai hari dia pergi ke Mukalla, dan apa yang dikatakan Habib Abdullah terbukti.
Saat murid itu sampai di tempat dimana dia mau bicara, begitu dia mau ceramah, mic di depan, orang di depan sudah ribuan, tapi mulutnya tidak bisa berkata-kata. Dia blank. Seolah-olah di dalam memorinya tak ada satu ilmu pun yang menetap. Kosong.
Apa yang terjadi setelah itu? Dari sumber yang saya ketahui, dari guru-guru yang bercerita tentang kisah ini, orang ini kemudian tidak mendapat restu dari gurunya.
Dari semua murid Habib Abdullah bin Umar As Syatiri, semuanya jadi orang sukses, berhasil, semuanya jadi, tapi hanya untuk satu orang ini yang sampai akhir hayatnya menjadi orang yang hanya duduk di pinggiran Mukalla. tidak ada apa-apa di kepalanya, kosong.
Saat kita mencapai tahap ketenaran, disitulah seorang murid diuji bagaimana hubunganmmu dengan gurumu.
Bagaimana kamu dalam memposisikan dirimu di hadapan gurumu.
Murid lebih tenar dari guru itu banyak. Sudah ada dari zaman dulu.
Imam Malik itu gurunya Imam Syafi’i. Imam Syafi’i bisa menyetarakan diri dengan guru. Bahkan bisa memberikan paham sendiri tentang ijtihadnya.
Saat Imam Syafi’i melakukan itu, apa Imam Syafi’i lupa dengan gurunya? Tidak.
Mereka tidak lupa daratan. Mereka tidak lupa sumber.
Makanya kita tidak boleh temukan dalam diri kita tujuan untuk pujian, pengakuan, kedudukan, ketenaran, keunggulan. Karena kalau sifat itu ada, itu salah dalam niat.
Maka seorang guru tidak boleh mengharap sesuatu dari pelajaran yang dia ajarkan pada murinya. Artinya guru diajari jangan berharap apa-apa dari murid.
Tidak ada dalam kamus guru, guru ketakutan kehilangan murid. Tidak ada dan tidak boleh ada. Mau harapan pengakuan terhadapmu sebagai gurunya atau harapan imbalan yang perlu diberikan muridmu kepada kamu.
Saya himbau kepada semua pengajar. Menerima sesuatu dari apa yang kamu ajarkan itu boleh. Yang tidak boleh itu minta.
Lalu agar niat kita tidak menyimpang, maka saat kamu menerima sesuatu, upayakan yang kamu terima, kamu tidak benar-benar tau siapa yang memberimu.
Kalau kita tau siapa orang yang memberi kita dengan nominal atau pemberian yang besar, maka kita akan merasa tidak enak terhadap murid. Dan itu tidak boleh. Terbalik, harusnya kan murid yang tidak enak terhadap guru.
Jika ingin memberikan sesuatu kepada guru, sebaiknya jangan terlihat bahwa kita yang memberi. Lebih sopan jika pemberian tersebut disampaikan melalui tentengan (tas bingkisan), bukan diberikan langsung di tangan. Cara seperti itu lebih menghargai guru.
Kalau kita tidak memberikan sesuatu itu lewat tangan, itu kita tidak sedang merendahkan harga diri guru kita, tidak. Kasih, masukkan, letakkan ke dalam bingkisan. Atau titipkan ke yang mengantar guru.
Jangan sampai kita sebagai murid ini kita merasa kita bisa memberi guru.
Orang-orang saleh di masa lalu banyak mendirikan sekolah gratis karena mereka tidak ingin mengharapkan apapun. Mereka ingin menjaga hati para guru dan menyadarkan setiap murid akan nilai dirinya sendiri. Mereka percaya bahwa orang yang kesulitan tidak perlu merasa rendah diri di hadapan yang lebih mampu, karena semua orang sama dalam upaya menuntut ilmu.
Zaman menodai putihnya masa. Orang-orang yang hidup di zaman seterusnya, mereka seolah meninggalkan bintik-bintik noda hitam pada putihnya kain masa sehingga masa-masa ketulusan di zaman dahulu sirna.
Rasulullah saw berkata, “Sebaik-baiknya masa adalah masanya saya.”
Sedekah yang paling utama adalah kepada guru. Saya bicara disini bukan karena ingin minta disedekahin. Tapi kita lagi belajar.
Ada orang yang bertanya pada saya, “Ustadzah kenapa banyak orang sekarang yang mengaku muhibbin (pecinta dzurriyat), tetapi hakikatnya mereka tidak benar-benar muhibbin?”
Karena orang dulu megnajari anak-anaknya benar untuk bagaimana bersikap pada dzurriyat.
Para Habaib dulu itu benar mengajarkan bagaimana kita harus bersikap pada dzurriyat.
Adapun orang sekarang, karena rusaknya peradaban dan zaman, akhirnya salah niat, tidak lurus, tidak banyak pembicara sanggup membicarakan hal semacam ini.
Kenapa? Tidak enak sama muridnya. Bingung karena banyak merasa hutang budi.
Kita diingatkan saat kita jadi orang tua, saat kita jadi guru, jangan berharap apa-apa dari orang yang kita besarkan atau yang kita ajarkan.
Allah swt berfirman, “Barang siapa yang menghendaki keuntungan di akhirat saja, Kami (Allah) akan menambahkan keuntungan untuk kamu. Tetapi siapa dari kita yang mencari keuntungan di dunia, maka Kami berikan kepadanya sebagian dan di akhirat tidak ada baginya satu bagian pun.”
Kalau kamu berani jual akhiratmu untuk duniamu, mungkin kamu dapat sebagian, kamu akan merasa haus tidak pernah puas, kamu akan mencari-cari lagi, dan naasnya di akhirat kamu tidak memliki apa-apa.
Allah swt berfirman, “Barang siapa yang menghendaki kehidupan dunia yang sekarang, maka Kami (Allah) akan segerakan di dunia apa yang Kami kehendaki dan bagi yang Kami kehendaki.”
Tidak ada satu pencapaian yang kita capai dalam hidup, kecuali semua itu sudah menjadi garis yang ditetapkan oleh Allah.
Imam Haddad berkata, “Yang bukan menjadi takdirmu, yang bukan menjadi kedudukanmu, yang bukan menjadi hartamu, itu sudah pasti tidak akan sampai kepadamu. Tapi apa yang sudah Allah gariskan untukmu, itu sudah pasti akan kamu peroleh.”
Kami tentukan bagi mereka neraka jahanam, mereka yang hanya mengejar dunia.
Allah itu tidak tiba-tiba masukkan kita ke neraka. Ada surga, ada neraka. Pilihan ada di kita, kita mau jadi orang yang masuk mana.
Orang yang target hidupnya itu hanya dunia, maka dia akan bertemu penyesalan dan kehinaan di akhirat. Tapi orang yang target hidupnya akhirat, maka dia akan menemukan keberuntungan, kebahagiaan, dan keselamatan di akhirat.
Orang yang beruntung, bahagia, selamat, tempatnya di surga. Orang yang tercela dan terhina, tempatnya di neraka.
Kalau ada niat kita dalam mengajar atau belajar karena dunia, ketenaran, dan sebagainya. Maka hati-hati tidak bisa mencium bau surga. Sementara surga itu baunya bisa tercium dari jarak seperti menimpuh perjalanan 500 tahun. Baunya saja tidak kecium, sbagaimana sampainya ?.
Orang berilmu, tapi ilmunya tidak diamalkan, maka orang-orang begini nanti di akhirat lebih dulu di siksa daripada orang yang menyembah berhala.
Memiliki ilmu itu penting untuk kita tidak salah melangkah dalam hidup. Jangan kita sudah tau, tapi kita salah melangkah, itu yang bahaya.
Ilmu agama, ilmu akhirat yang kita pelajari, disitu ada berupa nasehat, saran dari Allah, pilihan, ketentuan yang tidak bisa diubah lagi, diingatkan, tinggal kita jalani. Makin kamu ngerti, makin kamu selamat.
Nabi saw bersabda, “Barang siapa yang mencari ilmu untuk mencari kemenangan dalam berdebat dengan orang-orang bodoh atau untuk bisa membanggakan diri di depan ulama atau untuk orang lain tertarik pada dirinya, maka siap-siap orang tersebut seperti memesan tempat tinggal di neraka.”
Luruskan niat saat kita belajar, nuntut ilmu, mengajar, semua niat yang kita lakukan tidak ada yang lain niatnya kecuali untuk Allah dan Rasulullah. Kecuali untuk diri kita yang harus dibenarkan lebih dulu.
*Pembahasan Nafahat Ramadhaniyah*
Nabi Muhammad SAW takut akan siksa Allah, meskipun beliau berada dalam keamanan. Keselamatan dan jaminan utuh diberikan kepada Nabi Muhammad SAW..
Allah mengampuni dosa Nabi di masa lalu, sekarang, dan mendatang. Dan yang memegang kunci pintu surga adalah Nabi, tapi beliau tidak pernah merasa aman dari murkanya Allah, dari siksanya Allah swt.
Nabi selalu mengingat ancaman dan siksa Allah. Tapi kita tidak memiliki jaminan, bahkan menyadarinya pun tidak?
Di ingat-ingat sama Nabi bagaimana kalau seandainya Allah murka dengan dia.
Ada orang nanya, “Ustadzah, bukankah Allah itu Maha Pengasih dan Maha Penyayang? Lalu apa yang ditakutkan dari Dzat yang pengasih dan penyayang? Rasa takutnya seperti apa? “
Jawabannya adalah, seperti kita merasa sayang dan takut membuat ibu kita marah, begitulah keterangan yang sederhana.
Ketakutan Nabi dan para Salafus Soleh terhadap murka Allah bukanlah karena Allah kejam, bukan itu maksudnya. Melainkan karena mereka sangat mengasihi dan mencintai Allah, sehingga mereka tidak tahan jika perilaku mereka menyakiti Allah. Sama halnya ketika kita sebagai anak merasa tidak enak jika membuat orang tua marah. Kita tidak ingin menjadi anak yang durhaka atau tidak menyenangkan bagi orang tua. Jadi, rasa takut itu muncul karena cinta yang besar kepada-Nya.
Orang alim, mereka semua takut kepada Allah swt.
Siapa orang yang tidak memiliki rasa takut pada Allah, maka dia adalah orang bodoh.
Nabi saw menghidupkan malam 10 terakhir ramadhan dengan penuh rasa khawatir dan takut sampai kaki Nabi itu bengkak.
Orang yang rajin ibadah itu yang kakinya bengkak, bukan yang dahinya hitam.
Kaki Nabi bengkak karena banyaknya beliau berdiri, banyak beliau sholat, banyak sujud, banyak duduk diantara dua sujud.
Ramadhan hanya tersisa beberapa hari saja, maka perbanyak dari kita ibadah. Sholat, dzikir, baca qur’an. Jangan sampai kita menyesal karena tidak memaksimalkan waktu yang ada
والله اعلم بالصواب