Tanggal : Selasa, 14 Maret 2023
Kitab : Mukasyafatul Qulub
Karya : Imam Al Ghazali
Guru : Ustadzah Aisyah Farid BSA
Tempat : MT Banat Ummul Batul
بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيْمِ
PENDAHULUAN
Pernah tidak sekali-sekali kita merasa rindu? bukan kepada orang, tetapi berdoa kepada-Nya. Banyak diantara kita, saat berdoa bingung mau doa apa. Saat kita berdoa kita bingung, sehingga kita kehabisan kata-kata, ingin berbicara apa ya? Ingin minta apa ya? Perasaan, di hati penuh tapi tidak bisa diucap. Akhirnya kita mengatakan, “Allah Yang Maha Tahu deh.”
Terkadang kita cukup menyebut nama-Nya, “Yaa Allah”. Allah itu sudah paham maunya kamu, seperti kamu memahami anakmu. Allah yang menciptakan kita, Allah yang mengetahui isi hati kita. Jadi apapun yang ada di dalam hati, Allah Maha Tahu. Kamu cukup panggil saja, Allah sudah tahu.
Tetapi, kenapa merangkai ucapan dalam doa itu penting? Karena Allah senang orang yang memang terkesan membutuhkan-Nya. Kita dalam berdoa diperintahkan untuk khusyuk. Saat tidak meneteskan air mata, berlagaklah meneteskan air mata untuk-Nya.
Kamu bisa saja mengucap “Yaa Rabb, aku ingin ini”. Tetapi lihat perbedaan anak yang membutuhkan ibunya “Mah, aku ingin ini”, ibunya hanya akan menjawab, “Iya”. Tetapi berbeda ketika anak itu menguraikan keinginannya, dia meminta dengan sungguh-sungguh, dia menangis, dia mengiba, ibunya akan lebih cepat memenuhinya.
Mungkin saja dengan adanya permohonan khusus, penjabaran khusus, maka disitulah Allah mempercepat ijabahnya. Karena Allah selalu bilang kepada kita, “Minta kepada-Ku, maka akan aku berikan“. Allah juga senang dengan hamba-Nya yang memelas.
Contohnya saat hadir Hadroh, mungkin di awal membacanya biasa saja. Tapi ketika kita sudah serius dan melihat satu per satu arti dari Hadroh tersebut, kita menjadi lebih khusyuk dalam membacanya. Kita fokus dengan doa yang diucapkan. Apalagi jika sudah masuk untaian para orang sholeh yang indah, bagus, dan tertata dengan rapi. Bahkan kita tidak terpikir untuk mengucapkan kata-kata tersebut sampai akhirnya kita mengikuti doa tersebut.
Selain kita bisa dengan rangkaian indah, kita dapat merasakan rindu meminta. Kita rindu dengan berdoa, rindu maulid, rindu membaca hadroh, rindu membaca burdah. Jika orang yang tidak punya, orang berdoa berat mulutnya berucap, berat ingin ikut hadir.
Seseorang jika rindu, dia akan mencari. Tapi jika tidak rindu, dia tidak akan mencari.
Jika orang-orang sholeh, setelah mereka membaca apa yang mereka rindukan, saking rindunya mereka selalu menambahkan bacaan lainnya.
Setelah itu kita berdoa, kita munajat di mana tempat kita merasakan nikmat. Mau di rumah, di pengajian, rasanya tentu beda. Ketika kita ingin menekuni diri di tempat-tempat kebaikan, kita harus memiliki prinsip dalam hidup. Karena jika kita sudah punya prinsip, kita tidak mudah goyah. Maka dari itu, jangan jadikan majelis ta’lim sebagai selingan.
Majelis ta’lim itu bukan selingan di saat kamu senggang. Kamu bisa datang dan pergi sesuka hati. Saat butuh dicari, saat banyak masalah dicari, saat hati gundah dicari. Tapi saat hati bahagia, senang, banyak kerjaan, banyak urusan, lupa.
Inilah orang-orang yang akan mendapat syafa’at majelis ilmu. Pengajian itu harus dijadikan salah satu rangkaian acara kehidupan kita. Bahkan itu harus kita prioritaskan. Segala hal tentang Allah itu harus diprioritaskan. Apapun tentang Allah itu nomor satu, tentang Allah itu di atas segala-galanya.
Jika kita pilih Allah, pasti akan ada yang berubah dalam hidup kita. Jika seseorang ingin masuk ke fase ini, banyak godaannya. Masing-masing orang diberikan oleh Allah porsinya penghambat dia dalam menekuni suatu kebaikan. Tapi itu cuma tembok yang bisa diruntuhkan saat kita konsisten. Jika tembok sudah runtuh, tidak akan ada lagi yang menghalangi kamu untuk terus berjalan.
Ulama mengatakan,
“Jika kita punya prinsip hidup, jangan pernah ruwet. Ikuti saja apa yang Allah firmankan.”
Prinsip Hidup
- Memaafkan Kesalahan Orang
Kenapa Allah awali dengan kata maaf? Karena jika seseorang ingin jalan yang lurus, harus diawali dengan dirinya. Saat kamu memiliki salah dengan seseorang dan sudah terselesaikan, maka jalan kamu mulus. Karena terkadang hambatan-hambatan ini adalah tentang urusan kita dengan orang.
Dan semua kebaikan yang Allah berikan kepada kita, semua urusannya itu terkait dengan orang. Maka jadilah kamu orang yang mudah memberi maaf.
- Mengajak Kebaikan
Jangan hanya berdiam diri, tapi ajak orang untuk berbuat kebaikan. Misalnya ada teman sedang sedih, maka ajak mengaji.
Mengajak orang kepada kebaikan itu tidak semudah mengajak orang kepada kelalaian.
Jika kepada kelalaian kita tidak perlu tarik urat, tidak perlu strategi. Jika tidak diajak dia ingin ikut, bahkan akan ngambek.
Tapi jika mengajak ke pengajian (kebaikan), tidak ada yang mengatakan “Kok ngga ajak saya?“. Bahkan boleh jadi jika setannya banyak, dia akan berkata, “untung nggak diajak“. Jika tidak diajak ke pengajian, dia tidak ngambek.
Kelalaian itu seperti gula bagi semut dan kita manusia sebagai semut yang mudah mendatangi hal-hal lalai.
Maka dari itu, ketika kita ingin mengajak orang kepada kebaikan, tidak perlu menunggu kita menjadi Wali Qutub.
- Berpaling dari orang-orang bodoh
Orang yang ingin melangkahkan dirinya kepada kebenaran tidak bisa diawali dengan perasaan bahwa dirinya benar. Jika sudah merasa dirinya benar, pasti ada yang kurang walaupun belajarnya sudah benar.
Allah ajarkan kepada kita untuk memaafkan orang dan mengajak orang lain pada kebaikan. Jika tidak bisa mengajak orang lain secara lisan, maka bisa dengan membagikan catatan kajian ke media sosial, akan menjadi berkah karena ini adalah ilmu. Tanpa disadari, kesan-kesan yang ditulis dapat menarik orang yang membacanya ingin tahu ilmu yang didapat. Ini adalah bagian dari mengajak kebaikan. Orang mau bicara apa, biarkan. Itu prinsip. Jika mau selamat, pegang itu.
Jangan sampai ada dari kita sudah memaafkan, tapi tidak mau mengajak orang lain pada kebaikan. Orang yang seperti ini ketika ada yang mengejek, mem-bully, dia akan rapuh. Kenapa? Karena tidak diawali dari maaf. Teman-temanmu yang mungkin pernah mengajakmu kepada kelalaian, maka maafkan. Atau jika kamu yang mengajak kepada kelalaian, maka minta maaflah kamu kepadanya.
Bentuk permintaan maaf atas ajakan kita kepada kelalaian yaitu dengan sekarang kita mengajaknya kepada kebaikan.
“Aku ingin tebus atas kesalahan dulu yang mengajak orang lain pergi kesana kemari menjauh dari Allah. Sekarang aku mau tebus.” Itu adalah bentuk pengabdiannya kita kepada Allah.
Jadi orang yang masa bodo itu penting dalam agama. Masa bodo terhadap apa? Terhadap orang-orang bodoh yang menghambat kita. Orang-orang yang justru mengejek kita ketika dalam kebaikan. Insyaallah Allah pelihara kita dan Allah lindungi kita.
KAJIAN KITAB MUKASYAFATUL QULUB
Imam Ghazali kembali mengingatkan kepada kita tentang pentingnya meninggalkan dunia dan segala bentuk celaannya. Imam Ghazali mengatakan ayat-ayat al Qur’an yang mencela tentang dunia itu sangatlah banyak. Allah berfirman,
“Dunia ini tidak ada yang lain kecuali tempat senang-senang yang menipu“.
Ayat-ayat yang mengajarkan kepada kita, yang menerangkan kepada kita bahwa dunia ini sifatnya celaan. Tidak ada dari dunia yang bisa dibanggakan.
Kita harus ingat bahwa semua makhluk ini diperintahkan oleh Allah untuk menjauhkan dunia. Dan itu adalah tugasnya para anbiya. Dari awal mereka diutus untuk menyembah Allah agar kita tidak tertipu dengan dunia. Agar kita tidak salah dalam mencintai dunia. Maka di sini sangat jelas perannya dunia dalam hidup kita itu apa.
Perannya apa? Hanya sebagai sarana berjalan, sarana untuk sampai ke satu tujuan. Bukan untuk mukim, bukan untuk berlama-lama. Dia hanya sarana seperti jembatan sebagai penghubung antara satu dengan satu lainnya. Satu sisi kepada sisi lainnya. Tanpa itu kita tidak sampai, prosesnya seperti itu.
Jika kita tahu dia hanya sebuah jembatan, sebuah penghubung, maka destinasi kita bukan di sini (dunia), tujuan akhir kita bukan di sini. Jangan terlampau berlebih dalam mencintai sesuatu di sini. Jika mau cinta itu di sana (akhirat). Jika mau menyimpan banyak itu di sana. Jika ingin berjaya itu di sana. Tolak ukurnya seperti itu, di sana bukan di sini.
Imam Faqihil Muqoddam dalam doanya, “Bantu agama kami ya Allah dengan dunia“
Karena dunia ini jembatannya. Bagaimana orang bisa menghidupkan agama tanpa dunia? Contohnya, majelis ta’lim saja butuh dunia, bangun butuh dunia, makan butuh dunia. Itu semua kan tentang dunia, uang. Tetapi,
Dunia jika hanya dibutuhi untuk agama tanpa diiringi dengan takwa, maka dia akan bisa mengantarkan pelakunya pada binasa.
Sudah punya dunia, kita harus bertakwa. Mau punya dunia tidak salah, karena dunia ini jembatannya. Tapi jika kita punya dunia tapi tidak punya takwa, ini yang bahaya. Seperti orang yang tidak punya amanat tapi dititipkan uang, maka bahaya, bisa salah guna.
Oleh karena itu, kita semua pada saat menyikapi dunia harus tahu terlebih dahulu bahwa dunia itu kecil di mata Allah. Jika tahu dunia itu kecil di mata Allah, maka kita melihat dunia harus kecil. Jangan pernah melihat dunia itu besar.
Kisah Sayyidah Fathimah Membuang Kalungnya
Lihat bagaimana Rasulullah SAW dalam sebuah riwayat melihat Sayyidah Fathimah memakai kalung. Saat Rasulullah melihat Sayyidah Fathimah memakai kalung, Rasulullah SAW menunjukkan wajah yang tidak suka.
Sayyidah Fathimah ketika melihat Rasulullah SAW menunjukkan wajah ketidaksukaannya, beliau peka dan langsung melepaskan kalungnya. Ketika Rasulullah SAW bertemu lagi dengannya, kalungnya sudah tidak ada sehingga Rasulullah bertanya, “Kemana kalung yang kau pakai, wahai Fathimah?“. Lalu dijawab oleh Sayyidah Fathimah, “Sudah ku buang di tempatnya“.
Rasulullah SAW bertanya kembali, “Dimana tempatnya?“
Sayyidah Fathimah menjawab, “Di kamar mandi”
Rasulullah SAW ketika mendengar jawaban itu tersenyum bangga karena anaknya tahu nilainya dunia tidak ada artinya.
Terkadang kita itu silau, punya satu mau lebih. Punya, lupa diri. Punya, tujuannya untuk membanggakan diri. Punya untuk dipandang dan dihargai. Jika hanya ingin pakai, selesai. Jangan diiringi dengan alasan lainnya. Itu godaan syaithon yang luar biasa, cinta dengan dunia.
Imam Ghazali mengingatkan kepada kita selama kita hidup di dunia, ancaman dunia akan tetap terus ada untuk kita. Dia musuh yang tidak pernah beranjak dari kita. Dia tetap terus ada sehingga kita harus menjaga diri dengan takwa. Salah satunya membangkitkan takwa dalam diri kita adalah kita terus mengkonsistenkan diri pada tempat-tempat kebaikan.
Jika bukan karena majelis, jika bukan karena mendengar tausiyah, jika bukan karena cinta kita kepada orang sholeh, mungkin mata kita sejak dulu hingga sekarang masih tertutup oleh dunia.
Karena kamu sudah mendedikasikan dirimu untuk terjun kepada kebaikan, maka buktikan bukan hanya dirimu yang ada di dalam kebaikan. Karena dunia punya ancaman selalu ada. Dia ada hingga kita menutup mata.
Jika kita ada niat untuk memberikan sekian kepada orang lain, maka akan ada keinginan untuk mengurangi jumlahnya. Godaan itu akan terus ada. Sifatnya dunia memang mengajarkan orang untuk cinta dengannya.
Kisah Orang Sholeh Berjuang untuk Berhenti Ghibah
Ada orang sholeh yang ingin mengelola jiwanya agar tidak selalu membicarakan orang (ghibah). Akhirnya dia membuat peraturan, setiap kali dia ghibah, dia puasa. Dia jalani sekian lama, setiap kali ghibah dia puasa. Tapi ghibahnya tidak selesai-selesai, masih tetap dilakuakn. Menurut dia, puasa tidak bisa menghilangkan ghibah.
Kemudian dia mengerjakan lagi sholat sekian roka’at. Tapi tidak hilang juga ghibahnya. Akhirnya dia keluarkan uang setiap kali ghibah. Ibaratnya dia membuat peraturan jika setiap kali ghibah, dia harus mengeluarkan uang Rp 1.000.000. Subhanallah, ternyata itu ampuh. Kenapa? Karena ternyata dia lebih cinta uang daripada ghibah.
Maka dari itu kita harus hati-hati dengan dunia. Yang harus kita lakukan adalah tinggalkan dunia.
Dunia itu lebih hina di sisi Allah daripada bangkai kambing
Imam Ghazali mengutip dalam sebuah Riwayat, Rasulullah SAW pernah melewati bangkai kambing. Rasulullah SAW mengatakan, “Kamu lihat tidak bangkai kambing ini tidak ada nilainya dimata yang punya?”
artinya sebelumnya dia bernilai (dia seekor kambing, dia bisa menghasilkan), tapi begitu dia berubah menjadi bangkai, dia dibuang. Sebelumnya ada nilai (berharga), tapi saat dia menjadi bangkai, dia dibuang karena begitu hinanya bangkai. Akhirnya dia tidak lagi bernilai.
Rasulullah SAW bersabda,
“Demi Dzat yang nyawaku berada pada genggaman-Nya, sesungguhnya dunia itu lebih hina di sisi Allah daripada kambing ini di sisi pemiliknya.”
Siapa yang masih mau punya? Allah ciptakan dunia di awal, tapi sejak Allah ciptakan dunia, Allah tidak melihat dunia. Dari sekian ciptaan-Nya yang kita lihat, Allah punya Arasy, langit-langit dengan bentuk lapisannya, dan sebagainya Allah telah jelaskan, tapi dunia tidak dilihat oleh-Nya, dibencinya dunia hingga tidak dilihat.
Bayangkan di kepala kita nilainya dunia tidak lebih dari bangkai kambing. Saat ada sifat pelit dalam diri kita, sayang untuk mengeluarkan sesuatu, itu artinya kita ingin menyimpan bangkai? Jika kita menyimpan bangkai, kita ikutan bau walaupun kitanya masih hidup. Tapi baunya menyengat seperti bangkai.
Cinta dunia seperti itu. Dia hidup, dia ada, mungkin terlihat terhormat, tapi hakikatnya banyak hal busuk yang ada pada dirinya. Naudzubillah mindzalik.
Nabi Muhammad SAW mengatakan,
“Seandainya dunia itu ada nilainya di sisi Allah, maka setara dengan satu helai sayap lalat“.
Lalat punya dua sayap, bukan satu. Satu helai saja, kita lihat lalat saja tidak ada nilai. Lalat itu berada di tempat yang amis, bau, dan kotor. Lalat saja sudah jijik.
Tapi Rasulullah SAW mengatakan,
“Dunia itu nilainya seperti satu sayap lalat. Allah tidak akan memberi minum walau satu teguk kepada orang kafir jika dunia itu berharga“.
Jika dunia ada nilainya, Allah akan meminta bayaran atas kenikmatan yang diberikan kepada orang kafir yang tidak menyembah Allah. Tapi karena dunia tidak ada nilainya, semuanya boleh mengambil dunia. Allah memberikan dunia kepada yang dikehendaki-Nya, yang mau ataupun tidak, Allah bagikan secara gratis. Tapi Allah tidak akan berikan akhirat kecuali kepada orang yang dia cinta. Beda dengan dunia yang dibagi untuk orang yang Allah cintai maupun tidak.
Imam Syahrowi mengatakan,
“Dunia atau harta yang kamu punya tidak bisa membuat kamu terhormat di mata Allah. Bukan karena kamu punya banyak harta maka Allah memandang kamu terhormat, Tidak. Begitu juga orang yang tidak punya apa-apa belum tentu hina di mata Allah.”
Allah tidak mengukur dari harta, Allah punya cara pandang yang lain. Berbeda cara pandangnya Allah dengan kita. Oleh karena itu, saat kita melihat dunia, kecilkan pandangan kita terhadap dunia.
“Ah dunia, dunia doang”, Mau apa lagi?
“Saya mau punya rumah”, Kecil, mau apalagi?
“Mau punya uang untuk umroh”, Kecil.
Lalu apa yang membuat kita pelit? Apa yang menipu kita selama ini sampai kita sangat takut dia hilang, dia habis. Padahal dulu dia tidak ada digenggaman kita. Apa yang membuat kita sangat takut dia hilang?
Hingga terkadang ada orang diuji oleh Allah, jatuh karena terkena serangan jantung. Setelah tertipu, dia kena stroke. Itu penyakit dari Allah. Ada pemicu yang membuat dia seperti itu.
Apa kamu mau membiarkan tubuhmu bahkan pikiranmu diperbudak oleh dunia?
Dunia memperbudakmu, dia bisa mengatur pikiranmu. Jika waktunya dia sedang tidak dimatamu, dia datang menakut-nakutimu, “Kamu miskin setelah ini, kamu tidak punya apa-apa.”
Tidak adanya hati yang menerima itu yang paling bahaya. Dunia mengatur kamu semua. Bahkan dia tidak perlu berubah menjadi wujud manusia, dia sudah bisa mengontrol pikiranmu, dirimu, bahkan sakitmu.
Kenapa Rasulullah SAW meletakkan cinta dengan dunia itu pangkalnya segala kerusakan? Karena dia (dunia) yang paling pintar merasuki pikiran.
Dunia tidak merasuki yang lainnya, tapi merasuki pikiran dulu. Jika sudah pikiran yang dirusak, maka hati ikut rusak. Jika sudah hati rusak, maka seluruh tubuh ikut rusak.
Dunia tidak ada nilainya disisi Allah, diberikan gratis oleh Allah. Masa sesuatu yang Allah berikan gratis kamu takut kehilangannya? Mau orang beriman atau tidak, diberikan oleh Allah.
Jika kamu ingin dunia, jangan datangi dunia tapi datangi Allah yang punya dunia.
Kita kan selama ini salah.
Seperti kita punya permen didalam toples. Lalu tertulis gratis ditoplesnya. Tapi perumpamaannya toplesnya digembok. Bisa diambil tidak? Tidak. Maka untuk mendapatkannya kamu harus datang kepada yang punya kunci gembok toplesnya.
Selama ini, orang datangnya ke toples bukan datang ke yang punya toples, maka saat kamu usaha sendiri, kamu hanya dapat satu. Oleh karena itu, jika ingin permen maka datangi yang punya toples jangan datang ke toples.
Seperti halnya dengan dunia. Mau dunia, datangi yang punya dunia. Bukan mau dunia, lupa dengan yang punya dunia. Bukan mau dunia, tapi mengabaikan haknya yang punya dunia.
Maka dihati kita tidak boleh ada perasaan takut,
“Aduh nanti gak punya, nanti kalau saya kasih kesana bagaimana?”
Jangan pernah menganggap dunia itu dalam kendalimu. Tidak ada dunia dalam kendalimu karena dunia itu ada yang mengendalikan yaitu Allah.
Segala yang ada padamu sebelumnya tidak ada, maka saat kau ingin mengeluarkan yang ada padamu untuk yang Maha Ada, jangan pernah takut. Di ajak sedekah, diajak kebaikan, mikir mikir, “Masalahnya, saya tidak punya Ustadzah.”
Padahal rezeki itu punya Allah, yang membagikan Allah. Kita hanya diminta usaha, berdoa, dan memohon kepada Allah. Jalannya pasti ada.
Kemarin kita sudah membahas tentang tawakal. Selebihnya jangan pernah meletakkan cinta kepadanya (dunia) karena kamu akan hina, celaka, dan dibuat lupa olehnya. Naudzubillahimindzalik.
Nabi Muhammad SAW pun bersabda,
“Dunia itu penjara bagi orang beriman tapi surga bagi orang kafir.”
Bagi orang yang tidak beriman (orang kafir), dunia ini surga untuknya. Dia bebas berbuat apa saja. Dia mau melakukan apa saja seolah tidak ada batasannya, ini boleh itu boleh. Orang kafir seperti tidak ada aturannya. Adapun bagi kita orang beriman, ini tidak boleh itu tidak boleh, namanya juga dipenjara.
Nabi Muhammad SAW memberi perumpamaan. Saat kamu lagi dipenjara, masa bebasmu itu belum ada. Kenapa kamu merasa seolah terkurung karena kamu mau menjadikan dia (penjara) sebagai istana?
Sudah diberikan gambaran, ini hanya penjara, tempat sesaat, bukan tempat yang perlu kamu iming-imingi dengan berbagai macam angan-angan yang tinggi.
Maka setiap ada orang yang meminta doa,
“Ustadzah doain dong, saya punya tempat biar laku biar kejual.”
Kamu juga harus niatkan. Karena jika hanya doa saya saja, tidak berguna. Niatkan saat kamu mau jual tempat, niat baiknya untuk Allah apa?
“Ustadzah doain dong mau ini biar bisa begini nih”.
Niatkan yang baik, mau berikan apa untuk Allah?
Saat buka usaha meminta doa biar laku,
“Ustadzah doain dong biar laku”
Saya doakan, tapi kamu mau memberikan apa untuk Allah?
Mau dibukakan pintu rezeki oleh Allah, mau memberikan apa untuk Allah?
Jika kamu tahu nilai ini, kamu paham dunia boleh dicari. Tapi yang kamu berikan untuk Allah bagaimana? Karena itu adalah tabunganmu yang paling benar. Itu bekal kita sampai akhir hayat, maka jangan pernah takut dengan dunia. Jangan pernah berpikir, “Jika saya kasih segini, tidak ada lagi tabungan saya”
Berpikirnya seperti ini saja, “Tabungan saya tadinya gaada. Kalau sekarang bisa ada angka segini, nanti Allah kasih angka lebih jika saya kasih segini”
Pertanyaannya adalah kamu berani ngasih angka berapa ke Allah?
Bangun dalam diri kita jiwa-jiwa kaya, bukan orang kaya tapi jiwanya dulu dikayakan. Jiwanya dibangkitkan menjadi orang kaya, jangan menjadi orang pelit.
Menjadi orang pelit itu adalah upaya syaithon dalam menakut-nakuti kita. Salah satunya menakuti kita agar takut miskin.
Syaithon mengatakan,
“Jangan semua, kan ada besok. Nanti minggu depan kasih lagi”
Tapi pertanyaannya, apa kita nanti sampai?
“Tapi Ustadzah, ada orang yang dikasih melunjak, sudah dikatakan saya akan kasih sekian tapi terus terusan meminta seolah kita tempat ATMnya saja. Lalu bagaimana? Kasih tidak, Ustadzah?”
Kamu saja tidak seperti itu kepada Allah, bagaimana dia bisa seperti itu ke kita? Maka jangan mau jika dia menjadikan kita ATMnya.
Ada orang datang kepada kita meminta bantuan,
“Saya bantu, kamu butuh berapa? Saya akan support setiap minggu sekian.”
Datang lagi, minta bantuan lagi berbagai macam.
Alihkan permintaannya saat itu kepadamu, berikan kepada yang lebih membutuhkan darinya. Karena sebenarnya, kamu bisa membaca orang ini butuh atau tidak.
Orang butuh itu tahu diri, punya malu. Tapi jika ada orang yang selalu minta-minta, itu artinya urat malunya sudah putus. Karena orang butuh itu punya malu, harga dirinya dipertaruhkan.
Jika kamu terus biarkan dia meminta, kamu hanya akan menciptakan generasi orang-orang yang kedepannya terus menjadi peminta-minta.
Di Tarim banyak orang pendatang biasanya pagi-pagi minta uang kepada kita. Awalnya kita kasihan. Tapi suatu saat ditegur oleh salah satu muridnya Habib Umar. Habib Umar tidak senang jika kita memberikan sesuatu kepadaa mereka. Walaupun mereka dengan caranya memohon meminta, tapi tidak seperti itu caranya. Karena orang butuh itu punya malu, malunya terlihat, “Malu sebenarnya minta, saya tidak ingin seperti ini” Dan ini tidak diulang berulang kali. Jika diulang kembali, berarti dia tidak punya malu. Lalu jika kita biarkan, maka akan tumbuh generasi seperti yang kita takutkan (meminta-minta tidak ada nilainya, hanya minta terus minta).
Lalu siapa generasi yang kita mau wujudkan? Generasi yang mana mereka menjadi orang yang memberi bukan yang meminta.
Mencetak generasi sadar diri untuk memberi
Saat kita mempunyai anak, ajarkan kepada mereka untuk menjadi orang yang memberi.
“Nak jika kamu punya barang, temanmu minta berikan. Tapi jika kamu bisa, jangan pernah kamu meminta kepada teman-temanmu.”
Kita tempa anak kita untuk mempunyai jiwa memberi. Didalam pikirannya, jika mau sesuatu itu bukan meminta tapi memberi.
“Jika kamu ingin sesuatu, bilang ke mamah. Yang bisa mamah kasih, mamah kasih. Yang tidak, kita sama-sama doa minta kepada Allah.”
Suatu saayt anaknya bercerita,
“Tadi temanku makan cokelat”
Lalu Ibunya bertanya,
“Kenapa kamu nggak minta?”
Jangan seperti itu. Tapi kita seharusnya mengatakan,
“Cokelat apa? nanti kita beli ya, InsyaAllah.”
Saat dia mempunyai cokelat, ingatkan dia, “Kamu kalau makan jangan sendiri, ingat teman, kasih temanmu.”
Jika demikian, artinya kamu itu sedang mencetak generasi sadar diri untuk memberi.
“Cokelatnya hanya satu, makannya diem diem ya. Kasihan temanmu”
Jangan ajarkan seperti itu. Iya, benar baik kasihan temannya, tapi didalam hati kecilnya dia menangkap sesuatu dari ajaranmu,
“Tidak usah berbagi, yang kamu punya habisi sendiri.”
Jika orang tua bijak, sejak awal di bangku sekolah (sejak kecil), dia sudah diajarkan berbagi dan memberi, sehingga dia tidak akan mempunyai sifat menguasai apa yang dia punya.
Nabi Muhammad SAW mengatakan,
“Dunia ini beserta isinya terlaknat sama Allah, kecuali yang dijadikan untuk Allah”
Bagaimana kamu menyimpan sesuatu yang Allah laknat?
Yang kamu jadikan itu untuk Allah maka itu tidak terlaknat.
Misalnya,
“Saya punya rumah besar, tapi rumahnya saya niatkan untuk menyambut tamunya Allah dan Rasulullah”
“Ingin punya rumah bagus, agar orang yang duduk dirumah gembira, orang tua bahagia, untuk kebaikan, untuk majelis ta’lim”
Tapi jika kamu hanya punya ini itu tapi tidak ada sesuatu yang dikontribusikan untuk Allah, maka yang kamu punya terlaknat.
Didikan Ibu Habib Ali bin Muhammad Al Habsyi kepada Anaknya
Kita dari kecil sudah dididik oleh ibu-ibu kita orang-orang sholeh. Saat kita ingin keluar rumah, ibu selalu memberikan titipan pesan.
“Ini uang jajan. Tapi jika nanti kamu melihat ada orang susah dan butuh, bantu ya nak. Jika kamu jalan dan mau menyebrang hati-hati. Tapi jika nanti saat kamu mau menyebrang kamu melihat ada orang tua atau teman yang kesulitan menyebrang, bantu ya nak. Jika kamu melihat ada duri, paku, atau batang pohon yang menghalangi jalan, ambil, singkirkan, dan jauhkan dari jalan agar yang berjalan mudah.”
Kami dari kecil sudah terbiasa untuk memiliki jiwa peduli, berbagi, dan memberi, dari ibu yang selalu mendidik, mengingatkan, dan memesankan kami untuk kami berbuat seperti itu.
Walaupun tidak bertemu dengan orang fakir, tapi karena sebelumnya sudah niat mau memberikan, dia sudah mendapat pahala orang sedekah.
Kami belum tentu bertemu dengan hal-hal itu, tapi ibu selalu mengingatkan sebelumnya.
Berikan pesan-pesan baik kepada mereka yang mengajarkan suatu nilai kehidupan, keperdulian, dan nikmat yang Allah berikan kepada kita.
Itu semua penting dan sepatutnya adalah ilmu yang diajarkan bukan dibangku sekolah tapi itu semuanya diajarkan oleh ibu yang ada dirumah, yang melahirkannya, yang mengandungnya, karena pesanmu itu sebetulnya adalah pesan yang berarti untuk mereka.
Sedikit apa yang kita pelajari dari untaian nasihat Al Imam Al Ghazali, InsyaAllah ini bisa membuat kita sadar agar kita tidak betul-betul mencintai dunia dari hati kita ini.
والله أعلم بالصواب