MQ EPS 67
Orang yang berhijrah adalah orang yang pindah dari keburukan menuju kebaikan

Tanggal           : Selasa, 06 September 2022
Kitab               : Mukasyafatul Qulub
Karya              : Imam Ghazali
Guru                : Ustadzah Aisyah Farid BSA
Tempat            : MT Bannat Umul Batul

بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيم

PENDAHULUAN

Saat kita menyebut nama orang sholeh walaupun hanya satu orang, maka akan turun rahmat Allah. Jika satu nama orang sholeh rahmat turun, maka tidak terhitung berapa banyak orang-orang sholeh yang namanya kita sebut, panggil, dan baca, sepanjang kita baca hadroh tadi.

Mudah-mudahan dengan kemuliaan dan keberkahan mereka, Allah swt. tidak hanya membuat lisan kita dapat menyebut namanya tapi kita juga berharap bisa menjadi orang-orang yang berbudi pekerti seperti mereka, yang dapat punya amalan seperti mereka, dan yang dapat berbuat kebaikan seperti mereka.

Kita mungkin tidak bisa menjadi wali. Saat kita bercermin, kira-kira pantas tidak kita menjadi wali? Ingin nisbatkan kita sebagai wali saja malu dan bingung.

Jika kita bercermin lagi, pantas tidak kita bilang jika kita adalah orang alim?

Karena pengetahuan kita, diatas kita pasti selalu ada orang yang lebih berilmu daripada kita.

Tidak pantas jadi orang alim atau wali. Jika lihat pantas tidak pantas, maka tidak ada yang pantas.

Oleh karena itu, Nabi Muhammad SAW meringankan kita dengan tidak menyuruh kita menjadi mereka.

Ada orang-orang yang Allah beri kemudahan bisa menjadi wali, ulama, tinggi ilmunya, banyak ibadahnya, dan lain sebagainya. Tapi dari sekian yang banyak menjadi ulama atau menjadi wali, lebih banyak yang tidak menjadi ulama atau menjadi wali.

Nabi meringankan kita dengan sabdanya,

“Seseorang nanti akan dikumpulkan dengan orang yang dia cintai”

Hanya modal cinta, berarti tidak disuruh menjadi mereka. Kita cinta terlebih dahulu, maka nanti kita dapat masuk ke golongan mereka.

Imam Syafi’i menyampaikan,

Kita disuruh memiripkan diri kita sebagai orang-orang yang mulia. Jika melihat orang yang baik, alim, berilmu, tingkah lakunya baik, maka kita ikuti dengan memiripkan diri kita dengan mereka.

Jika kita tidak dapat menjadi mereka, maka kita disuruh menyerupai diri kita seperti mereka. Karena orang yang memiripkan dirinya dengan orang sholeh, maka orang tersebut beruntung.

Selain mencontoh atau mengikuti, tahap pertama yang harus kita lakukan adalah memiripkan diri. Disuruh ikuti gayanya, tingkah lakunya, dan perbuatannya. Mirip-mirip in tidak apa-apa, Insyaallah dengan kita menyerupai mereka, kita dapat masuk ke dalam kelompok mereka.

Nabi Muhammad SAW bersabda,

“Siapa orang yang menyerupai suatu kaum, maka mereka akan dibangkitkan bersama orang-orang tersebut (mereka termasuk dari kelompok tersebut)”

Kita disuruh memiripkan pakaian kita dengan pakaian muslimah, gamis dan kerudung. Hal tersebut adalah yang paling dasar.

Pakaian kita tidak seperti pakaian orang Yahudi, Nasrani, penyembah berhala, atau orang modern yang tidak jelas.

Pakaian kita disuruh sama dengan orang-orang muslimin yang sebenarnya. Kita sudah pakai pakaian yang rapih. Kita belum menjadi muslim sejati, tapi pakaian kita sudah seperti itu. Mudah-mudahan kita menjadi muslim sejati akibat pakaian kita tersebut.

Maka dari itu, selain kita disuruh menyerupai, kita disuruh mengikat diri. Yang diikat apanya? Hati.

Pentingnya mengikat hati kita dengan apa yang kita cerminkan didalam diri.

Jadi bahasanya apa? Kita lagi mentransfer diri kita. Jika sedang ngaji, kita lagi mentransfer diri kita menjadi orang yang lebih baik lagi. Kita kirim setiap hari sinyalnya ke hati kita. Sehingga jika kita memberi sinyal ke hati kita, maka nanti hati yang akan memancarkan aturan kepada tubuh kita. Jadi kaidahnya, sebenarnya hati itu yang punya kuasa dalam badan. Jangan dibalik. Badan saja yang kita suruh pintar dan rapih, tapi hati kita tidak pernah rapihkan.

Kenapa banyak orang yang hijrah, mereka hanya fokus hijrah dengan pakaian? Kenapa hanya sebatas hal itu kata hijrah? Padahal hijrah itu luas.

Nabi Muhammad SAW bersabda,

“Kamu mau tahu orang yang berhijrah? Orang yang berhijrah adalah orang yang pindah dari keburukan menuju kebaikan”

Mereka yang meninggalkan keburukan, maka mereka yang disebut orang yang berhijrah.

Orang yang merubah pakaiannya, mereka hijrah juga. Tapi terkadang kenapa kita masih menemukan ada orang pakai pakaian syar’i tapi tingkah lsayanya tidak syar’i, tingkah lakunya tidak mencerminkan muslim/ muslimah, tingkah lakunya tidak sesuai. Kenapa kita masih menjumpai hal tersebut? Karena yang hijrah hanya badannya, hati nya tidak. Yang berubah hanya badan, hati tidak.

Saat kita belajar atau saat kita ingin berubah menjadi orang baik, kita harus tahu kita adalah orang yang berada di level rendah ingin mendekat kepada yang Maha tinggi. Jadi teorinya apa? Jika kita ingin berubah menjadi lebih baik, kita harus tahu bahwa kita adalah orang yang berada di level bawah ingin naik ke atas.

Jalannya Hijrah

Imam Ghazali mengatakan jalannya hijrah ada dua.

  1. Membersihkan hati dari sifat-sifat buruk (tercela)
  2. Menghias diri dengan segala sifat yang terpuji

Adab, akhlak, kesantunan, dan budi pekerti perangai seseorang, dzatnya sudah indah. Tapi jika indah disatukan dengan sesuatu yang kurang baik, maka tidak jadi indah.

Contoh
Punya rumah dihias dengan bunga mawar tapi rumah berantakan. Kira-kira jadi indah atau tidak? Tidak.

Dalam kajian dimanapun tempat kita belajar, kita perlu menjaga dua hal tersebut. Selain kita berusaha menghias diri dengan sifat terpuji, tapi yang lebih utamanya adalah kita perlu membersihkan segala kotoran yang ada di hati kita. Jika dihatinya sudah bersih, maka yang diluar juga ikut baik.

Jika seseorang hijrah dengan komitmennya dari hati, maka akan istiqomah. Tapi jika datangnya dari mulut, maka tidak akan istiqomah.

Kita belajar datang ke majelis ilmu karena kita ingin berubah, ingin ada sesuatu yang didapat dan dibawa pulang. Bukan hanya pahala, karena pahala itu umum. Duduk dirumah bisa dapat pahala. Streaming dirumah juga mendapat pahala tapi pasti beda. Duduk dirumah streaming dengan orang yang datang kesini, pahalanya 1:1000. Dia tetap dapat pahala belajar, menjenguk orang sakit, mengantar jenazah, tapi tidak sama dengan yang datang ke majelis. Seseorang yang datang, mendapat 1000x lipat perbedaannya.

KAJIAN KITAB MUKASYAFATUL QULUB

Syukur adalah salah satunya nikmat. Kita dapat mengucap syukur juga nikmat. Tidak ada kebaikan yang kita kerjakan kecuali kebaikan tersebut adalah nikmat dari Allah, ketaatan yang kita buat juga nikmat dari Allah. Karena kebaikan kita ini makhluk, diciptakan oleh Allah.

Duduknya kita dimajelis ilmu, bukan tentang hebatnya kita atau kemauannya kita, tapi itu ada campur tangannya Allah yang juga menginginkan kita. Saat kita sedekah bukan tentang kita yang mau sedekah. Itu ada campur tangannya Allah yang ingin kita menjadi orang yang bersedekah. Saat kita menolong orang, bukan tentang kita ringan membantu orang, tapi karena Allah yang memberikan kita kemudahan ingin menolong.

Maka ketaatan kita ini makhluk, diciptakan Allah, bukan karena kita. Oleh karena itu kalau kita ingin bicara syukur dengan Allah, memang tidak bisa kita syukur karena sejatinya ungkapan syukur juga nikmat dari Allah.

Hal tersebut menandakan kepada kita bahwa semakin kita mengenal Allah maka akan semakin baik kualitas yang ada didalam diri kita. Namun, semakin sedikit kita tahu tentang Allah, maka semakin minim pula kita membentuk jati diri kita. Tidak bisa kita jadi hamba, Tidak bisa kita menjadi orang yang taat, tidak bisa kita menjadi orang yang bertakwa. Kenapa? Kita tidak kenal kepada siapa kita mengabdi, kepada siapa kita menghamba, kepada siapa kita menyembah. Tidak paham tentang hal tersebut.

Jika ilmu tentang ketuhanan (Allah) mengakar di hati kita dan sudah kokoh, maka sudah timbul pengakuan seseorang tentang dirinya. Pengakuan bahwa dirinya adalah hamba yang mengabdi kepada Allah. Jadi yang timbul adalah kesadaran. Seseorang jika dihatinya tahu maknanya menyembah, maka dia akan sadar bahwa dia hanya hamba.

“Saya hanya hamba, saya bukan siapa-siapa, bukan apa-apa, saya hanya seorang hamba”

Maka yang timbul adalah pengakuan. Jika kita tahu siapa Allah, maka kita akan mengakui bahwa kita hanyalah hamba. Jika kita tahu siapa Allah, maka kita akan menyadari bahwa apa daya diri kita? Tidak ada. Kita tidak punya apa-apa. Oleh karena itu saat kita sedang baca,

لَا حَوْلَ وَلَا قُوَّةَ إِلَّا بِاللهِ العَلِيِّ العَظِيْمِ

Tidak ada kemampuan dan tidak ada kekuatan kita, kecuali datangnya dari Allah

Semua dari Allah. Kita tidak punya daya upaya dan kekuatan apapun, kecuali semua itu datangnya dari Allah. Maka jika hal tersebut datang, maka yang datang adalah sadar.

“Saya adalah manusia yang lemah dan miskin dihadapan Allah”

Karena jika sudah disandingkan antara kita dengan Allah, siapa kita? Ingin mengakui menjadi pasir saja tidak bisa. Kita tidak bisa menyifati seberapa besar kita punya peran dihadapan Allah yang menciptakan segalanya.

Jika sudah mengakar dihati, pasti sadar.

“Saya hanya hamba, saya tidak bisa apa-apa”

Jadi kita mengabdi. Jika kita sudah punya pengabdian seperti itu, berarti iman telah tertanam dihati. Kenapa ada orang yang mengaku tahu Allah, ngerti kepada Allah, tapi bahkan dia tidak bertingkah layaknya seorang hamba? Ternyata memang ada masalah dengan iman nya.

Jika kita belajar hadits, Nabi Muhammad SAW sering menyampaikan kepada kita tentang keimanan yang belum sempurna.

  • “Tidak dianggap sempurna iman salah seorang diantara kalian”
  •  “Tidak dianggap beriman diantara kalian yang tidak mencintai saudaranya seperti mencintai dirinya sendiri”
  •  “Tidak dianggap salah seorang diantara kalian itu beriman sampai saya lebih dicintai baginya melebihi dia mencintai ayahnya, ibunya, orang tuanya, anaknya, saudaranya, dan semua manusia yang ada”
  •  “Tidak akan dianggap imannya sempurna sampai hawa nafsunya ikut dengan apa yang Saya bawa ajarannya”

Jika hawa nafsu masih bertentangan, berarti belum benar. Ukur hawa nafsunya mau kemana? Arahnya kemana?

Saat kita menemukan dorongan hawa nafsu ke arah kebaikan, maka mulai timbul kesempurnaan iman. Tapi jika dorongan hawa nafsu masih yang bertentangan, maka jangan mengaku iman sempurna.

Jika seseorang sudah mengerti arti sebuah ketuhanan (menghamba kepada Allah), maka yang timbul adalah iman. Taat mulai kepada Allah, iman ada dihatinya.

Jika ketaatan kepada Allah sudah tertanam dihati, maka pasti perintah Allah akan dijalankan.

Imam Ghazali, mengatakan.

Kenapa seseorang susah meninggalkan dosa? Kenapa seseorang dalam mengerjakan ketaatan juga masih berat? Karena ada masalah di dalam imannya.

Masalah utamanya tentang pengetahuannya kepada Sang Pencipta nya. Dia tidak kenal siapa Allah, Dia tidak tahu siapa Allah, dia tidak tahu bahwa Allah segalanya, dia tidak tahu bahwa Allah yang mengatur segalanya. Tidak mengerti, dia tidak paham. Bagaimana jika tidak mengenal Allah punya iman? Bagaimana ingin punya iman jika Allah nya tidak dia kenal.

Pembagian Iman

Iman ada dua,

  1. Dzohir
    Iman yang terucap dari lidah (lisan). Mengaku beriman hanya terucap dari lisannya.

Jika orang Betawi biasa baca Aqidah Mujmalah tapi jika di Hadramaut disebutnya Aqidah Sakran. Mengungkapkan kata keimanannya kepada Allah, rasul, malaikat, sampai akhir. Jika kita hanya baca itu saja, maka kita hanya mengaku keimanan secara dzohir. Di Hadramaut, aqidah tersebut menjadi dasar untuk belajar tauhid tentang iman.

  1. Bathin
    Keyakinan dalam hati. Jika bicara tentang iman, ini bukan tempatnya di lisan, tapi tempatnya dihati (adanya dihati).

Seperti percaya pada waktu, padahal waktu tidak kelihatan. Sepatutnya kita juga punya keyakinan kepada Allah seperti itu.

Kita lihat beda antara ulama Hadramaut dengan ulama selain dari Hadramaut. Ulama Hadramaut, hadits dhoif dipakai dan masih diamalkan. Hadits dhoif yang berbicara tentang keutamaannya amal shaleh, dikerjakan. Tapi ulama selain dari Hadramaut tidak memakainya dan berkata “Bid’ah, tidak boleh, tidak ada hadits shahihnya”

Kenapa? Karena kadar keimanannya orang Hadramaut lebih tinggi. Mereka tidak butuh dalil Qath’i untuk melakukan suatu amalan. Sejatinya orang yang mengaku iman, tidak butuh dengan dalil terus-menerus.

Kisah Raja Harun Ar Rasyid

Seorang Harun Ar-Rasyid, raja dari tabi’in

Ada seseorang datang ke istana nya membawa sandalnya Nabi Muhammad SAW.,

Seseorang itu berkata “Wahai Harun, saya datang membawa sandalnya Rasulullah SAW.”

Harun Ar-Rasyid yang sedang duduk di singgahsana nya kemudian langsung menghampiri sandalnya Rasulullah dan di cium.

Kata penasihat-penasihat kerajaan “Wahai raja, memang kamu tahu betul sandal-sandal Nabi? Bisa saja dia bohong”

Kata Harun “Untuk pecinta tidak butuh itu. Cukup orang tersebut mengatakan punya Rasululah SAW, maka saya percaya ini punya Rasulullah SAW”

Karena keyakinannya itu dari hati bukan dari lisan.

Tingkat derajat hadits dhoif (lemah), berarti perawinya tidak banyak, yang meriwayatkan hadits tersebut tidak banyak, atau perawinya adalah orang-orang lemah yang ucapannya belum bisa dipegang benar.

Perawi hadits adalah ulama, bukan sembarangan orang. Jika seseorang punya iman, saat dia baru sekedar mendengar ada hadits Nabi dhoif akan percaya karena ada kemungkinan Nabi berbicara. Tapi jika sudah dibilang hadits palsu, maka kita tidak memakainya.

Semua hadits walaupun dhoif dipakai untuk amal-amal sholeh tapi tidak bisa dijadikan dasar hukum utama. Fiqih tidak ada hadits dhoif dan perkara sholat tidak ada hadits dhoif. Oleh karena itu, kita belajar, iman pakai hati.

Orang yang beriman memiliki tingkatan kedekatan dengan Allah berbeda-beda. Kamu harus paham. Ada yang kelihatannya biasa, tapi ternyata adalah orang yang sangat dekat dengan Allah. Ada yang kelihatannya taat, tapi ternyata jauh dari Allah. Dan juga bertingkat-tingkat derajatnya mereka dari ketaatan, masing-masing tergantung imannya. Semakin kita punya iman benar, semakin tinggi kita punya kedudukan. Semakin jauh kita daripada keimanan, semakin jauh pula kita daripada kedekatan dengan Allah.

Maka kita harus paham. Allah menyebut firmannya,

وَٱلسَّٰبِقُونَ ٱلسَّٰبِقُونَ أُو۟لَٰٓئِكَ ٱلْمُقَرَّبُونَ

Assabiq artinya orang-orang yang mendahului. Mereka yang mendahului antara satu sama lain diantaranya adalah mereka yang paling dekat kepada Tuhannya, mereka yang paling dekat kepada Allah.

Kisah Habib Salim Asy-Syatiri dengan Muridnya

Habib Salim Asy-Syatiri dahulu pernah didatangi seorang murid,

“Habib, saya berdua belajar bersama tapi kenapa  yang satu hafalan kuat namun yang satu lainnya tidak kuat?”

Orang tersebut mengaku sama dalam belajar, waktu, kadarnya, dan hafalannya. Yang satu cepat, yang satu lama menghafal. Apa karena soal otak? yang ini pinter, yang itu lebih bodoh.

Habib Salim bertanya,

“Saat menghafal, kamu menghadap kemana?”

Yang satu jawab duduknya menghadap kiblat, yang satu lainnya menjawab tidak menghadap kiblat.

Yang menghadap kiblat pintunya oleh Allah dibuka lebih cepat. Adapun yang tidak, bukan tidak dibuka tapi beda cepatnya. Orang yang lebih sungguh-sungguh dengan orang yang santai berbeda.

Maka yang satu unggul hanya dari perkara menghadap kiblat walaupun keduanya sama-sama memakai wudhu.

Jika kita orang mukmin, kedekatan kita dengan Allah sesuai dengan kadar ketaatan yang kita ingin terus berusaha mendekat kepada Allah.

Iman menyatukan orang-orang mukmin sesuai dengan kadar yang dimilikinya dari setiap orang. Diantara mereka orang beriman ada yang mendapat karunia sehingga mereka mendapat tingkatan tertinggi.

Mereka yang mendapat tingkat tertinggi dari orang-orang yang beriman adalah orang-orang yang ikhlas dalam ibadah, mereka menempatkan derajat paling tinggi.

Ada mereka yang unggul, ibadahnya ikhlas. Derajat ikhlas adalah derajat yang tinggi. Jika kita menunggu sampai ikhlas, kita tidak akan beramal-amal. Jadi, kita adalah orang-orang yang belajar ikhlas.

Kenapa kita harus jadi orang ikhlas? karena orang ikhlas adalah orang yang punya derajat paling tinggi. Orang yang ikhlas adalah orang yang berada ditingkatan paling tinggi. Jika seseorang ikhlas maka dia akan tawakal kepada Allah. Jika sudah ikhlas, maka selanjutnya adalah tawakal kepada Allah. Setelah tawakal adalah ridho dengan ketetapan Allah.

Orang yang mempunyai derajat paling tinggi adalah orang yang ikhlas, tawakal, dan ridho dengan hukum dan ketetapannya Allah.

Ini yang disebut dengan ikhlas, berserah, dan menerima. Sholatnya ikhlas, yang dikerjakan ikhlas tidak mengharapkan pahala, tidak mengharapkan apa-apa selain daripada untuknya.

Muamalah ikhlas tersebut sepatutnya ada pada setiap individu hamba. Pada setiap seorang hamba, dia sepatutnya dalam berbuat kebaikan taat kepada Allah yang ada hanyalah ikhlas. Jangan bicara tentang pahala, balasan, dan dampak terlebih dulu.

Derajat ikhlas adalah derajat paling tinggi. Orang-orang beruntung yang bisa dikaruniai Allah rasa ikhlas didalam hatinya didalam berbuat taat. Jangankan ikhlas karena Allah, sesama manusia yang kita anggap cinta tulus saja susah. Tetapi kita perlu belajar untuk menjadi orang ikhlas, kita harus berusaha untuk sampai ke derajat ikhlas.

Jadi kalau orang ikhlas, dia tidak mengharap balasan perbuataannya dari Allah. Dia hanya tahu Allah yang menciptakan dia dan Allah juga tahu apa yang kita kerjakan.

Dia lah Allah yang menciptakan kita dan tahu apa yang kita kerjakan. Jika ketaatan dilakukan hanya mengharap pahala atau takut terhadap siksa, maka kita tahu disitu bukan ikhlas atau artinya ikhlasnya tidak sempurna.

Hanya orang-orang pilihan Allah saja yang dipilih menjadi orang-orang ikhlas dengan derajat paling tinggi. Jika kita ingin punya derajat tinggi, maka pilihannya ada sama kita. Kita mau berusaha tidak?

Belajar ikhlas dari Habib Ali Al Habsyi dan Syekh Abu Bakar bin Salim

Habib Ali Al Habsyi,

“Saya tidak ingin surga karena dzatnya surga atau saya tidak beramal karena agar masuk surga. Tapi saya ini merindukan surga hanya karena kekasih hati saya ada didalam surga. Jika seandainya kekasih hati saya tidak ada disana, saya tidak mau disana.”

Syekh Abu Bakar bin Salim,

“Ya Allah, siksa bagiku adalah saat saya terhalang dari Mu ya Allah. Walaupun saya berada ditengah kenikmatan sekalipun, tapi jika saya terhalang dari Mu maka bagiku itu siksa. Jika Engkau ridho terhadapku, maka cukup saya tidak peduli walaupun saya harus berada ditengah api neraka. Saya hanya butuh ridho Mu, saya tidak peduli jika saya harus terbakar, tersiksa, terjeblos ke neraka. Yang penting saya tahu disitu ada ridho Mu, ya Allah”

Ibadahnya bukan tentang surga neraka. Itu adalah contoh ikhlasnya para aulia. Kita pelan-pelan belajar ikhlas dalam mengerjakan ketaatan. InsyaAllah, Allah jadikan kita semua orang yang ikhlas.

والله أعلمُ ﺑﺎ ﻟﺼﻮﺍﺏ