Minggu, 26 Desember 2021
MT Banat Ummul Batul
Kitab : Ta’lim Muta’allim
Karangan : Syekh Az-Zarnuji
Bab : Ukuran dan Urutannya
Guru : Ustadzah Aisyah BSA
بِسْمِ اللهِ الرَّحْمٰنِ الرَّحِيْمِ
***
Alhamdulilah limpahan syukur kehadirat Allah SWT pada hari ini Allah kumpulkan lagi kita bersama ditempat ini.
Semoga Allah memberikan kita semua yang hadir, al futuh wal munuh, InsyaAllah Allah membukakan hati kita semua untuk dapat menerima nasehat, sehingga dapat menerima ilmu dan mudah-mudahan juga bukan hanya menerima ilmu, tapi juga Allah membimbing kita, menuntun tuntun kita untuk menjadi orang-orang yang bisa mengamalkan ilmu. Baik ilmu yang kita dengar dan maupun yang kita dapat .. Amin ya Rabbal Alamin.
Belajar Menyampaikan Risalah Nabi Klik disini
***
Lanjutan Pembahasan Kitab
Memberi Guru dengan Kerendahan Hati
وكنا ابو الثيج الامام اْلاجل ثمس اْلائمة الْحلْوني فقيْرا يبيْع اْلحلْواء وكان يعْطى الْفقهاء من اْلحلْواء ويقوْل : ادْعوْا لابْنىْ! فببركة جوده واعْتقاده وثفقته وتضرعه نال ابنه ما نال. ويثْتري بالْمال الْكتب ويسْتكْتب فيكوْن عوْنا على التعلم والتفقه
Ayah Syaikh Samsul Aimmah Al-Halwani itu adalah seorang fakir. Kerjanya menjual manisan. Dia suka memberikan manisan itu kepada fuqaha (ahli fiqih) sambil berkata kepada mereka. “Doakanlah anakku!”. Berkat kemurahan hatinya kemantapannya belas kasihannya dan kerendahan hatinya maka putranya berhasil mencapai apa yang dicita-citakan.
***
Syaikh Samsul Aimmah Al-Halwani adalah seorang Ulama. Dulu, Ayahnya seorang yang fakir miskin, penjual manisan. Tapi dia suka memberi manisan kepada Ulama. Walaupun sedikit, walaupun kecil, dia akan datang pada gurunya, Ulama, Ustadz yang ada disitu dia kasih kepada mereka. Lalu dia berkata, “Wahai imam, saya punya anak, doain anak saya agar jadi anak soleh, jadi anak manfaat“.
Tujuan Memberi Guru
Tujuan dia memberikan manisan itu kepada para Alim Ulama mendoakan anaknya.
Walaupun dia susah sekalipun, berkat kemurahan hatinya keberkahan turun. Dengan memberikan gurunya sedikit,
Apapun pemberiannya, tapi dia masih memaksakan diri memberi hadiah untuk Ulama, dengan harapan agar Allah memberikan futuh keberkahan untuk anaknya. “Doakan anak saya, Doakan anak saya“. Maka dengan keberkahannya itu, kedermawannya , keyakinannya dan cintanya dia kepada Guru dan kepada putranya dan juga kerendahan dirinya.
Memberi guru bukan karena merasa “Saya bisa ngasih“. tapi yang muncul kerendahan karena mengharapkan berkah, doa, dan ridho.
Bukan karena bisa memberi, tapi tingkah lakunya serta merta. Jika sikap gurunya tidak sesuai dengan hatinya, tidak menyenangkan harapannya, maka dengan mudah dia meninggalkan para alim Ulama.
Artinya apa yang hilang? Kesantunannya hilang. Maka saat dia memberikan hadiah pada Ulama,yang muncul dibenaknya adalah keangkuhan. Ini yang tidak boleh.
Kalau seorang Ayah memberi Ulama lalu mendapat keberkahan pada si anak. Lantaran prasangkanya yang kalau memberi Ulama, maka anaknya jadi anak soleh . Lalu bagaimana seorang murid penuntut ilmu, berlomba-lomba ingin memberi yang sedikit yang dia punya kepada Gurunya?.
Tujuan Menuntut Ilmu
Dulu Al Habib Kwitang pertama dakwah kesini (Jakarta), zaman Sekelas Habib Ali Kwitang yang ilmunya tinggi, beliau mengajarkan Al Fatihah pada orang-orang awam. Bukan yang seperti zaman sekarang, guru dan murid berasa pinteran murid, karena murid merasa intelek.
Lalu, kenapa orang zaman dulu ngaji di Kwitang keberkahannya tidak putus? Karena mengajinya penuh harapan agar mereka dapat keberkahan ilmu.
Namun, ada sebagian dari mereka mau datang ngaji, tujuan mereka ingin melihat apa yang disampaikan, mengena atau tidak, nasehatnya apa? masuk atau tidak diakal pikiran saya ? Kalau tidak bisa diterima, maka saya tidak bisa (mengikuti guru), karena kurang luas penjabarannya.
Niat Belajar vs Niat Berguru
Niat belajar untuk berguru dengan niat belajar untuk belajar itu berbeda.
Jika niat belajar sekaligus berguru dia tidak akan memiliki banyak guru. Dia hanya akan fokus kepada satu guru yang minta dia yang menjadikan dirinya wasilah untuk mengerti (mendapat) ilmu.
Tapi kalau niatnya belajar, dia akan belajar pada Guru siapapun. Disana sini dia belajar. Disini dia mendengar naseehat, disana dia mendengar nasehat.
Adakah kesulitan yang dihadapi oleh orang itu? Ada.
Kesulitannya apa ? Jika Guru yang satu dengan lainnya menyatakan statement yang berbeda, maka dia akan diambang kebingungan, “Saya harus mengikuti yang mana ?”.
Maka qaidah di pesantren, Gurunya satu ,dan Guru di bawahnya banyak tapi tidak bertentangan. Tapi kalau kamu mencari Syekh lainnya (diluar pesantren), maka kamu akan berbentur dengan kebimbangan.
Lalu fatalnya, si murid (jika dia belajar dengan niat belajar), mendatangi Guru dan bertanya dengan membanding-bandingkan argumen guru yang satu dengan guru lainnya.
Jika membandingkan dibelakang guru saja tidak boleh, lalu bagaimana membandingkan guru didepannya langsung?
Kisah
Dahulu ada Ulama, Habib Salim bin Jindan dkk (tiga serangkai) saling mengamati perkembangan zaman.
Ada orang hidup dizaman ke tiga ini datang untuk bertanya ke Habib Ali Kwitang. Si Murid bertanya, “Wahai Habib, apa hukumnya pelihara anjing?”.
Kata Habib Ali bilang, “Haram, ga boleh. Kalau kamu pelihara anjing satu hari berlalu dari hidupmu, pahala yang kamu timbun selama ini berkurang sebanyak satu qirath (sebesar gunung Uhud) selama anjing itu ada di rumahmu. Sayangi amalmu“.
Tapi dia (murid) ga seneng dengan jawaban itu, “Duh ga ngena nih.., Saya senang dengan anjing“.
Lalu ia datangi Habib Ali Bungur Al Athas, “Bib, hukum pelihara anjing apa Bib?“. Habib Ali Bungur bilang, “Ga boleh, setiap hari amalmu hilang. Belum lagi najisnya. Imam Syafii mengemukakan najisnya begini.. begini…“.
Memang dia bukan penuntut ilmu yang serius, hatinya tidak sreg juga apa yang dikatakan Habib Ali Bungur.
Lalu iseng-iseng bertanya ke Habib Salim bin Jindan. ” Bib, hukum pelihara anjing apa ?”. Habib Salim Ulama kasyaf , menjawab pertanyaan itu. “Kalau buat ente halal.”
Lalu hatinya berbunga-bunga . “Ente memang Habib hebat. Ana tanya sama yang 2, Habib Ali Kwitng bilang ga boleh. Habib Ali Bungur ga boleh. Giliran ana tanya ama ente, tepat . Kenapa Bib, ente bilang boleh, soalnya yang 2 bilang ga boleh“.
Lalu dijawab Habib Salim, “Karena ente sama anjing, sama.”
Lalu dia kaget, mukanya merah, dan berkata “Ini pengejekan, Kenapa ente bilang ana sama anjing sama?”.
Lalu dijawab Habib Salim, “Ga ada manusia yang perlu diingatkan akan suatu hukum seperti ente yang bertemu 3 Ulama hanya untuk membenarkan hawamu. Apa bedanya ente sama anjing. Ana hanya ngomong berdasarkan apa yang Allah sebut.”
Tujuan Belajar
Jika tujuannya menuntut ilmu hanya belajar, maka boleh belajar kemana-mana (banyak guru).
Tapi jika tujuannya berguru, maka tidak bisa belajar kepada semua guru.
Berguru itu dengan 1 Guru. Bukan mengikuti banyak pendapat.
Kata Habib Salim, “Kamu, kalau begitu apa bedanya sama anjing? Sama seperti firman Allah. Berkali-kali diingatkan, dinasehatkan, dibimbing, tapi belum sreg, mereka itu serupa dengan binantang ternak, bahkan lebih dari itu. Saya nyamain kamu dengan anjing masih wajar.”
Orang yang seperti itu di zaman beliau udah ada, apalagi di zaman sekarang.
Mengidolakan banyak Guru bagus, bahkan wajib menghormati setiap Ulama. Tapi kalau konteks nya berguru, tidak bisa seperti itu.
Misal, anak yang belajar di Trisakti apakah bisa ujian di UI ?
Karena ketika kamu sedang berguru, kamu sedang merajut rantaimu. Maka sanad itu harus jelas.
Cara Berguru Pada Banyak Guru
Imam Syafii punya banyak Guru. Imam Malik juga punya banyak Guru. Tapi mereka berguru dengan berguru satu guru. Kalau sudah tuntas berguru dengan yang satu, setelah itu berguru dengan guru yang lain. Itupun dengan persetujuan dan Ridho dengan gurunya (terdahulu). Ini adalah adab dan etika.
Tanyakan pada gurumu, “Ya Imam, Syekh, kalau saya ingin memperdalam ilmu nahwu kita-kira sama siapa ya ?”.
Minta gurunya yang memilihkan untukmu. Kamu jalannya pakai ridho Guru. Diridhoin sama guru, didoain. Jangan tau-tau gurunya dapat kabar, dia belajar sama si ini sekarang.
Bukan menyalahkan penuntut ilmu yang niatnya belajar saja, tapi kalau niatnya serius dalam belajar. Tidak ada orang belajar yang tanpa mendedikasikan dirinya pada guru.
Saya punya Paman juga Guru yaitu Habib Nagib. Saat mau belajar pada Habib Umar saya izin dan disetujui.
Kunci Sukses Anak
Lihat keberkahan dari Ayahnya Imam Al Halwani. Dengan tekad dan kerendahan hatinya. Walaupun dia hanya punya manisan, orang miskin, orang susah, tapi ketika memberi (Guru), memberi dengan penuh kerendahan hati, bukan keangkuhan dan kesombongan. Artinya, merasa dirinya bisa “Ngasih” bisa “Nolong” bisa “Bakti” . Tapi dia “Ngasih” dengan harapan dan kerendahan hatinya. Akhirnya puteranya yang minta didoakan, berhasil. Imam Halwani pun menjadi ulama yang dicita-citakan Ayahnya.
Jika kamu ingin anakmu menjadi sesuatu, Kuncinya terletak pada alim ulama lainnya. Doa Ulama jangan diremehkan, bisa jadi untaian dari doa mereka menjadikan anak kita seseorang yang dicita-citakan.
Ada yang bilang, saya punya doa Ibu. Ketahuilah, Ibu punya jalur, Ulama punya jalur. Kita tidak tau jalur yang mana yang Allah terima. Jangan pelit minta doa (dengan Ulama).
Jika punya uang, harta, maka penuntut Ilmu harus rajin beli kitab. Dibaca, dipelajari. Jangan belajar tidak punya kitab. Jangan pelit beli kitab.
Buku akan menjadi warisan dan akan dibaca oleh orang-orang setelahmu.
Habib Salim Asy-Syatiri punya perpustakaan besar yang isinya kitab semua. Pernah orang masuk ke ruangannya dan bertanya “Ini kitab banyak, apakah sudah dibaca semua?“. Lalu dijawab oleh Habib Salim, “Ente salah tanya, Mestinya ente tanya, udah hapal semua apa belum ?”. Karena itu beliau dikenal dengan julukan Sulthonul Ilm, Rajanya Ilmu.
Setelah memiliki kitab, selanjutnya menulis ilmu agar membantumu dalam belajar, dan mengkaji ilmu.
Semoga kita bisa jadi orang dermawan, dengan kerendahan hati, terkhusus (dermawan) pada Ulama. Jika ada Ulama yang sedang membuat Masjid, maka ikutsertalah kamu walau nilaimu tak seberapa. Semoga setelah ini kita dapat berkontribusi apapun dalam kebaikan, baik dari sisi harta, ilmu, tenaga, keahlian apapun itu sifatnya. Jadikan apa yang kita punya, untuk dedikasikan kepada Rasulullah melalui Gurumu.
والله أعلمُ ﺑﺎ ﻟﺼﻮﺍﺏ